Gina berjalan di sepanjang jalan yang rindang. Angin berhembus pelan. Setelah seminggu yang lalu kencan pertamanya bersama Verril, hari ini mereka berjanji untuk bertemu lagi. Gina merona jika mengingat kembali percakapan mereka di telpon dua hari yang lalu.
"Halo, kak Verrill?"
"Halo, Gina, maaf apa kamu lagi sibuk?"
"Gak kok kak, sekarang lagi break makan siang juga. Ada apa ya?"
"Oh gitu, mmm... Gina akhir pekan ini ada janji gak?"
Gina otomatis tersenyum mendengar pertanyaan itu.
"Eh, bentar ya kak aku periksa jadwal aku dulu."
Gina menahan telponnya untuk beberapa detik, sambil melihat catatan jurnalnya.
Sabtu:...
Minggu: Merry & Gina time!
"Sabtu kosong nih kak." Jawab Gina beberapa saat kemudian
"Oke Sabtu pagi gimana? jamnya kaya kemaren aja."
"Boleeh... Dimana?"
"Citypark, Roundroad, oke?"
"Okeee.."
"Can't wait to see ya, beautiful..."
Gina menutup telpon dan langsung memegang pipinya yang merona semerah buah tomat.
Pipinya memerah lagi mengingat kalimat terakhir Verril. 'kok ada sih laki-laki se gombal dia' pikirnya dalam hati.
Jalan masuk menuju taman itu tidaklah jauh. Tapi Gina memperlambat laju jalannya. Jalan ini terlalu sejuk untuk dilalui dengan tergesa-gesa.
Di sisi jalan pohon-pohon Ketapang tumbuh dengan subur dan besar, dipangkas hingga menyisakan dahannya yang paling atas membuatnya berbentuk payung daun raksasa. Garis-garis dari cahaya matahari yang menembus celah dedaunan membentuk titik titik oranye di paving jalan. Ditambah semilir angin yang berhembus pelan, membuat Gina merasa sangat nyaman lama-lama berjalan disana.
Di ujung jalan ini, berdirilah siluet lelaki tinggi dengan kaki jenjang yang mempesona, berdiri menyamping dengan satu tangan disaku celananya.
Gina berjalan mendekat.
Rambut hitamnya bergoyang-goyang dihembuskan angin. Celana bahan hitam, kemeja motif garis berwarna krem yang longgar dan lengan baju yang di lipat hingga sikunya. Garis garis urat terlihat jelas di sepanjang lengannya yang panjang. Siapa pun yang melihat lelaki ini pasti mengira dia adalah Dewa.
"Kak Verrill selalu datang lebih awal ya.."
Verrill yang sedari tadi terlihat sedang melamun menatap kejauhan, dengan dahi yang sedikit dikerutkan membuat alisnya yang tegas dan tebal terlihat... Seksi.. langsung menoleh menatap Gina, tersenyum.
"Kamu sudah datang, yuk kesana."
Verrill menunjuk kearah belakang dengan kepalanya, dia juga mengulurkan tangannya untuk Gina.
Gina yang sedang terpesona dengan visual lelaki itu, hanya mengangguk dan tanpa sadar menerima uluran tangan Verrill.
Mereka berjalan menuruni anak tangga kebawah menuju taman bunga yang indah. Bunga-bunganya di tanam berbaris sesuai dengan jenis dan warnanya masing masing. Ada jalan jalan kecil untuk lewat di setiap baris nya. Hangatnya sinar mentari yang menyinari sehangat genggaman Verrill yang menyelimuti jari jemari Gina.
'Loh sejak kapan kita pegangan?' ujarnya dalam hati mulai sadar akan genggaman itu, tapi tidak rela melepaskannya. Pipi Gina mulai merona lagi.
Walaupun berjalan berpegangan tangan, tetapi Verrill selangkah lebih maju di depannya, seperti menuntun nya ke suatu tempat. Verrill berjalan melihat ke depan sambil sesekali tersenyum berbalik ke arah Gina. Perempuan cantik itu membalas senyumannya, tersipu malu.
"Oh iya kak, kok gak ada orang lain ya disini, ini kan weekend."
Akhirnya Gina bersuara, mereka kini berada ditengah-tengah taman bunga itu.
Mereka tampak seperti sedang menyusuri gelombang lautan bunga. Sedari tadi, sejak Gina berada di depan gerbang taman hanya ada satu orang yang menyambut nya setelah itu tidak ada siapa-siapa. Saat ini hanya mereka berdua yang terlihat sejauh mata memandang.
"Hmmm... Aku mau kita berdua aja yang disini."
"What? Tunggu dulu kakak mesan tempat ini? Taman ini?"
Gina tercengang langkah nya terhenti.
"Iya.. kenapa? Kamu gak suka begini?"
Verrill berbalik menatap kearahnya, pandangannya sangat mengintimidasi tapi juga sangat mempesona.
"Su..suka siih... Jadi nya tenang banget." Gina mengalihkan pandangannya melihat bunga di sekitarnya...
Verrill tersenyum dan melanjutkan langkah kakinya. Dia berjalan pelan dan melangkah sedikit dari biasanya agar Gina bisa mengimbanginya.
Akhirnya mereka sampai di ujung gelombang-gelombang bunga itu. Ternyata ada empat anak tangga lagi menuju ke bawah. Di sana terdapat danau kecil yang di kelilingi pohon - pohon Ketapang dan bunga bunga putih kecil merambat di sekelilingnya.
Verril membawa Gina ke salah satu kursi taman kayu dari jati dengan lengan kursi meliuk dari besi padat berwarna hitam.
"Waaaah... Tempat ini benar-benar cantik. Aku suka banget."
Gina tersenyum lebar melihat pemandangan ini. Mood memang jadi lebih baik jika melihat pemandangan yang indah dan sejuk.
"Kamu belum pernah kesini?"
Verrill duduk bersandar disamping Gina yang masih bersemangat melihat kesana kemari. Dia tidak mau satu sudut pun terlewat dari pandangannya.
"Iya.. aku gak pernah kesini..."
Tiba- tiba Gina sedih jika mengingat selama setahun pertama dia berada tinggal di kota ini tapi sekalipun tak pernah mengunjungi taman-taman yang ada di kota disini.
Sebenarnya, selain karena sibuk dengan dua pekerjaannya waktu itu, Gina masih takut keluar sendirian. Merry yang sangat sibuk hanya bisa menemaninya jalan paling banyak dua kali dalam sebulan. Gina hanya berbelanja keperluannya di minimarket dekat apartemen Merry.
Dua tahun kemudian, ketika sudah menyewa apartemen sendiri, barulah Gina mulai berani berjalan ke pusat perbelanjaan dan mengunjungi cafe terdekat, gym atau sekedar jalan-jalan santai melepas penat.
"Kalo gitu kamu bisa sepuasnya melihat tempat ini, gak akan ada orang yang ganggu."
Verrill mendengar nada sedih Gina, menghiburnya. Gina memang tidak nyaman berada didekat kerumunan banyak orang.
"Yey, makasih kak Verrill."
Gina tersenyum lebar, kembali riang lagi.
Entahlah. Gina merasa sangat nyaman bersama Verrill, dia merasa Verrill akan selalu melindunginya. Wangi vanilla yang samar milik Verrill membuatnya tak ingin pergi jauh-jauh dari lelaki yang baru dikenalnya seminggu yang lalu itu. Tapi entah kenapa dia merasa sudah mengenal Verrill selama bertahun - tahun di hidupnya. Tidak ada satupun perilaku Verrill hingga saat ini yang membuatnya tidak nyaman, malah sebaliknya.
Gina memaksa insting waspada nya bekerja. Tapi tidak berhasil, instingnya malah mengatakan pria ini tidak berbahaya dan akan melindunginya.
"Sebenarnya aku mau kasih tau sesuatu.."
"Ya...?"
"Alasan aku kencan buta, bukan hanya untuk cari teman kencan seperti biasa, tapi aku mau nyari istri."
"Uuuh uh.. okeey..??"
"Dan kamu adalah orang yg aku cari."
"Ahahahaha..."
Gina tertawa terbahak-bahak tetapi Verrill menatapnya dengan bingung.
"Ya ampuun, Kak, tadi habis makan apa sih? Mana ada orang mau nikahin orang yang baru dia temui, baru satu minggu pula??"
Gina tidak habis pikir, tapi setelah dia balik menatap Verrill, tidak ada keraguan sedikit pun di wajah lelaki tampan itu, yang ada hanya raut wajah yang serius.
"Aku serius. Gina, apa kamu mau menikah denganku?"
"Uhuk, uhuk!" Gina tersedak air liur nya sendiri.
"Jadi kakak lagi ngelamar aku sekarang?" Gina menatapnya tidak percaya. Orang ini pasti sedang bercanda, pikir Gina.
"Iya. Aku mau seorang istri yang menemaniku dan aku yakin kamu butuh seseorang untuk melindungi mu."
Gina terdiam mendengar kalimat Verrill. Melindungi. Itu memang yang sangat dia butuhkan.
"Tapi... Kita gak bisa menikah tanpa cinta..."
"Cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Kita menikah atas dasar saling membutuhkan."
"Gimana kalo kakak gak butuh aku lagi? Kita cerai?"
"Itu gak mungkin untukku. Tapi mungkin untukmu. Aku ingin kamu selalu menemani aku, mengisi hari-hari bersama."
Gina tidak menjawab. Mungkin untuknya? Apa mungkin maksudnya dia tidak butuh perlindungan dari Verrill lagi?
"Kamu boleh gak jawab sekarang. Tapi aku minta tolong untuk dipikirkan secepatnya."
"Ya, aku gak bisa jawab sekarang Kak. Aku harus berpikir dulu...."
Gina, apa yang akan kamu lakukan? Menerimanya? Pernikahan macam apa yang tidak didasari cinta? Hanya saling membutuhkan? Apa ini simbiosis mutualisme? Menolaknya? Tawaran Verrill tentang perlindungan terdengar sangat meyakinkan. Gina selalu ingin hidup dalam rasa aman damai dan nyaman. Tapi akan kah dia damai dalam pernikahan yang didasari saling membutuhkan saja?
Pikiran-pikiran itu bergelayut dalam otak Gina, yang saat ini sedang memasak makan malam nya. Ayam yang digorengnya hampir gosong karena dia melamun terlalu lama. Lamaran mendadak Verrill siang itu membuat hatinya kacau balau. Dia ingin memberitahu Merry, tapi dia juga tidak ingin membuat sahabatnya itu ikut-ikutan galau, risau terlebih itu akan mengganggu pekerjaannya. Tapi apakah Gina sahabat yang jahat jika tidak memberitahunya apapun?
Gina berjanji pada Verrill akan memberitahunya 3-4 hari kedepan. Verril menyetujuinya dan berharap Gina menerima lamarannya atau lebih tepatnya lagi...tawarannya. Ini bukanlah lamaran romantis ala film - film drama. Ini adalah 'tawaran pernikahan' yang tidak ada romantis-romantisnya.