--------------------------------------------
"Tapi Nyonya… Bagaimana bisa Anda menyuruh saya melakukan hal itu? Saya keponakan Anda!"
"Ya, dan kamu adalah keponakan yang tidak tau diri! Sudah diberi tempat tidur, diberi makan, bahkan menyekolahkan mu hingga kuliah?! Dan sekarang tidak mau membantu bahkan hal kecil begini saja!"
"Hal kecil? Bagaimana kau bisa mengatakan ini hal kecil? Kalau memang se sepele itu, kenapa tidak menyuruh kedua anak mu yang genit dan manja itu? Sepertinya hal kecil seperti ini lebih cocok untuk mereka."
PLAK!!
Selanjutnya yang Gina rasakan adalah rasa panas di pipi kirinya. Air matanya yang sedari tadi di bendung akhirnya mengalir deras. Hatinya seperti ditusuk ribuan jarum.
"Jika kau berani bicara sembarangan, aku bersumpah demi Tuhan Gina Hollen, aku akan membawakan neraka untukmu!" Jane Alliston berjalan keluar menuju pintu.
"Dan aku tidak ingin ada bantahan. Dua hari lagi, Hotel Berlian.
"Mengenal dan tinggal bersama kalian adalah neraka bagiku!"
BRAK!!
Bibi nya pergi tanpa menghiraukan ucapan Gina. Lagi pula apa yang akan diresponnya? Itu memang benar. Rumah ini adalah neraka. Mereka berempat adalah setan yang bertugas menyiksa gadis itu.
Gina duduk di atas kasurnya di lantai. Menangis tanpa bersuara. Sampai kapan dia harus begini? Orang tuanya meninggalkannya dan sekarang harga dirinya pun akan direnggut juga.
-----------------------------------------------------
Verrill menatap cemas wajah Gina yang tampak gelisah. Bulir bulir keringat muncul di ujung hidungnya yang mungil.
"Apa kamu bermimpi buruk?" Verrill mengusap lembut tangan Gina yang masih belum sadar dan menyeka keringat dingin Gina dengan tisu.
Sudah 4 jam sejak Verrill menerima kabar Merry yang pulang ke apartemen nya. Saat itu Dia sedang mengurus pengasingan Adrian Lee keluar negeri.
'Sudah cukup aku memberi toleransi orang itu membuat ulah disini dan sekarang dia mau mengganggu Gina? Tidak akan kubiarkan.' batin Verrill.
Entah sudah yang ke berapa kalinya dia mencium lembut tangan Gina, mengendus aroma gadis itu. Menatapnya setiap detik, berharap Gina bisa cepat bangun dan mendengar suaranya.
Terdengar ketukan pelan di pintu, seseorang masuk.
"Kenapa dia belum bangun?" Verrill bertanya tanpa melepaskan pandangannya dari Gina.
"Seharusnya sudah, selain terluka dia juga kelelahan. Apa kau pikir kau tidak terlalu mengganggunya?"
"Apa kau pikir aku mengganggu?"
"Jika aku ingin beristirahat dan ada yang mengendus dan memegang tanganku begitu. Sangat mengganggu."
"Jika lawan jenis yang memegang tidak akan."
"Tergantung."
" Tentu saja, jika gadis mu itu yang melakukannya, aku bisa melihat mu tertidur tanpa menutup matamu."
"Sialan."
.....
"Ah, bagaimana perkembangannya?"
"Merry? Tentu saja itu ulah Siska Alliston. Aku sudah memindahkannya ke apartemen yang baru."
"Dia bersedia?"
"Tentu saja dia tidak tau."
"Sampai kapan kau menyembunyikan perasaanmu? Bukankah terasa menyakitkan bila dia diambil orang?"
"Apa kau tidak bisa mendoakan yang baik – baik? dan sejak kapan kita berbicara formal begini?"
"Sejak calon istri ku belum sadar padahal dirawat di rumah sakit yang katanya terbaik di kota ini."
"Hei....apa? calon istri? Sejak…" pertanyaan Philip terhenti. Gina mulai bergerak dan mengerutkan dahinya.
"Gina? Akhirnya kamu bangun juga." Verrill segera bangkit dan menatap Gina lebih dekat.
Philip segera mendekat dan melakukan pemeriksaan melihat fokus matanya dan detak jantung Gina.
"Bagaimana? Apa kepalamu masih terasa sakit?" Philip bertanya
Gina mengangguk, tidak hanya kepala yang sakit. Tapi dunia juga berputar.
Verrill dan Philip mengangkat bantal Gina menjadi agak tinggi.
Gina melihat sekeliling. Ini dimana? Ruangan berwarna putih? Bau disinfektan yang menyengat semakin meyakinkan Gina bahwa ini benar rumah sakit.
Ada dua orang dengan wajah buram menatapnya. Salah satunya yang ber jas putih ini pasti dokter. Gina merasakan ada jari-jari yang besar dan hangat yang meremas lembut tangannya.
"Kak Verrill?"
"Ya? Gimana rasanya? Masih pusing?"
"Iya… kok aku disini? Kenapa?"
"Bukannya aku yang harus tanya kenapa?" Verrill menyelipkan sisa rambut yang terurai ke belakang telinga Gina.
"Aku….Aku gak tau.. aw! sshh..." Gina merasakan denyut di kepalanya, sakit sekali.
"Oke pertama – tama sebaiknya mengingat belakangan saja, Tuan Pierce." Philip melirik ke arah Verrill dengan tatapan 'yang benar saja'.
"Perkenalkan saya Philip Keenan, dokter disini…"
Verrill menyela "Dokter pemilik rumah sakit ini."
"dan teman dari pacar anda…ya ya… kebetulan saya mengelola rumah sakit ini." Philip tersenyum ke arah Gina.
"Halo dr. Philip." Pacar? Dalam hatinya Gina tersenyum.
"Philip saja, ku mohon, aku juga berteman dengan Merry, by the way."
"Merry? Oya Merry dimana? Dia kerja disini juga kan?"
Verrill dan Philip saling bertatapan.
"Sebaiknya kamu minum obat dulu nanti aku ceritakan." Verrill mengambil obat yang sudah disediakan oleh Philip.
"Ya betul. Gina, Verrill, aku pergi dulu ada yang harus aku kerjakan." Philip tersenyum dan berbalik dibalas dengan anggukan Gina dan Verrill.
"Thanks Phil." Ucap Verrill sebelum pintu menutup.
Kini Verrill hanya berdua dengan Gina di ruangan itu. Setelah Gadis cantik itu meminum obatnya, kepalanya menjadi sedikit lebih baik. Dia berusaha pelan-pelan mengingat kejadian sebelumnya.
"Kepala aku sakit dan di perban gini, aku kenapa sih?" tanya Gina menyerah dia menyenderkan kepalanya ke bantal
"Yakin Cuma kepala aja yang sakit?" Verrill menatapnya dengan kedua mata indah itu, Gina sepertinya akan tersesat disana.
"Iyaa… iyakan?"
Tiba tiba Verrill meraih tangannya dan membuka lengan piyama rumah sakit yang longgar itu. Kedua bahu lengannya membiru.
"Hah? Kok?"
Verrill merapikan lagi bajunya.
"Gak cuma disini aja."
Gina berusaha menyambung lagi rantai ingatannya.
"Kan aku mau pulang ke rumah habis dari kantor…"
"Hmm… terus?" Verrill mendengarkan dengan seksama.
"Terus… aku turun sampai lantai bawah, keluar kantor… terus…"
"Dapat chat dari aku?" Verrill membantunya.
"Ah iya… trus aku balas kan… teruus.."
"Gak ingat lagi?"
"Terus aku bangun disini deh." Gina benar – benar bingung bagaimana dia bisa sampai disini?
"Kepala kamu kebentur waktu mau naik taksi." Akhirnya Verrill memecah keheningan
"Kamu ngomong sama aku atau sama jendela?" Gina tau Verrill berbohong.
Bagaimana mungkin hanya terbentur biasa? Seluruh badannya mulai merasakan sakit.
Verrill masih menatap jendela yang jauh di samping ranjang Gina.
"Kalau aku ceritain kamu harus janji satu hal."
"Apa?"
"Jangan takut aku di sini."
Sekali lagi, Gina sudah lama tidak merasakan perlindungan dari orang lain selain Merry semenjak orang tuanya meninggal. Berada di dekat pria ini membuat perasaannya semakin hangat yang membuat Gina semakin takut.
"Oke.." Setelah ragu – ragu sejenak Gina menjawab.
"Aku ketemu kamu di perpustakaan kecil pinggir kota. Dalam keadaan… yah... udah gak sadar and luka-luka terutama dibagian kepala." Verrill menceritakan dengan hati-hati.
"Lagian ngapain kamu disitu? Kalo mau ke perpustakaan yang di pusat kota aja. Kamu nyari buku?" Lanjutnya cepat.
"Oya..? Mungkin? Kok aku sampai luka ya?"
"Waktu aku datang yang menjaga udah… ya gitu deh… kata pihak kepolisian mungkin waktu kamu berkunjung mereka kerampokan."
"ah… iya…"
Verrill merasa perlu berbohong kali ini. Gina tidak boleh terlalu cemas atau syok. Suatu saat dia akan mengetahuinya dan Verrill akan menjelaskan sedetail mungkin.
"Merry? Merry kemana?"
"Merry punya masalah sama apartemenya. Kata nya unit nya dibobol orang." Verrill menjelaskan dengan tenang.
"Apa?!!" Merry…" Gina menoleh kesana kemari seperti mencari sesuatu.
"Eh jangan gerak – gerak gitu, nanti infus nya ke ganggu, terus tangan kamu sakit." Verrill menghentikannya.
"Hape aku, Hape aku mana?"
Verrill berjalan menuju lemari yang ada di seberang ranjang tepat disebelah televisi. Mengambil sesuatu dari sana dan berjalan kembali ke sisi Gina.
"Ini."
"Makasih."
Gina langsung menghubungi kontak Merry Cerewet di ponselnya yang masih diawasi oleh Verrill.
Terkadang Gina takut juga melihat tatapan Pria ini. Ada sesuatu dari tatapan nya yang mengintimidasi sekaligus mempesona.
Dua kali berdering, langsung diangkat.
"Gina! Kamu sudah sadar? Syukurlaaah.. oh Tuhan.."
"Merry kamu gak apa – apakan?"
"Aku gak apa-apa sayang, perfectly fine! Justru kamu yang harusnya ditanya begitu!"
"Aku udah mendingan. Merry katanya apartemen kamu di bobol orang, kamu sekarang dimana? Gimana?" Gina tak sabaran.
Verrill mengatakan, 'pelan-pelan' tanpa suara yang dibalas anggukan Gina.
"Iya Gin, maaf ya ninggalin kamu di rumah sakit. Aku di telpon Tuan Yuko kalau apartemen ku ada suara berisik gitu dari tetangga. Yah…. Jadinya begini ternyata. Tapi ternyata ada ansuransi dari pihak Tuan Yuko, jadi aku dipindahkan ke unit lain. Sebenarnya gak ada yang hilang sih… Cuma barang – barang ku dihancurin…"
Merry terdengar sedih. Setidaknya dia ada di tempat yang baru pikir Gina. Setidaknya Merry gak apa – apa.
"Syukurlah kalo kamunya gak apa –apa Mer… Ya udah kamu urus aja dulu disitu, nanti kalo udah mendingan aku bantuin kesana."
"Enak aja kamu! Kamu masih baru sadar udah mau kemana – mana aja. Udah gak ada yang dikerjain sih Gin, semua barang – barang aku udah di pindahin sama anak buah Tuan Yuko. Aku lagi nenangin diri aja. Dua jam lagi mungkin aku di rumah sakit, ada yang mau aku ceritain juga ke kamu."
Merry masih cerewet jadi dia benar baik-baik saja.
"Oke deh aku tunggu."
Gina menutup telpon nya, menaruh ponsel di atas meja samping ranjang dan menoleh bingung ke arah Verrill.
"Sekarang makin marak perampokan ya, tapi untungnya mereka gak sempat ambil barang – barang Merry."
"Dia gak nyari barang Merry."
"Terus?"
"Dia nyari kamu. Orang yang membongkar unit apartemen Merry mau cari tau kamu tinggal dimana."
"Darimana kamu tau?"
"Apa yang gak aku tau?"
Mendadak seluruh tubuh Gina dingin. Hatinya seperti tertusuk jarum lagi. Itu artinya orang yang mencari nya kenal dengan Merry dan tau bahwa Gina tinggal di kota ini bersama Merry. Maka tidak lain itu Alliston….
"Oke, aku mau.." Gina duduk tegak, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan selain ini.
"Mau?.."
"Aku mau terima tawaran pernikahan yang kamu bilang kemarin."
Verrill tersenyum menyeringai.
'Yes, aku berhasil.' Batinnya.