Banten, Maret 2019
"Bagaimana praktikum hari ini, Ann?" tanya Lala sembari menyuap makanan.
"Alhamdulillah, menyenangkan, La." Anna menyendok sayur ke piringnya. Mereka sedang makan malam bersama.
"Kegiatannya apa saja hari ini di Lab?" tanya Lala penasaran, karena ia usai melihat raut muka sahabatnya begitu ceria.
"Banyak, La." Anna menceritakan dengan semangat tentang kegiatan praktikum selama seharian tadi. "Nanti ada pendaftaran asisten lagi tahun depan. Aku mau ikut lagi La...," Lala tersenyum tipis. "Kita lihat saja tahun depan, dan semoga kau bertemu jodoh di Laboratorium." Bibir Anna sedikit maju.
"Udah istirahat dulu, Ann. Nanti saja menyelesaikan laporannya," lerai Lala. "Kamu pasti capek seharian ini baru pulang."
Anna mengangguk pelan. Ia memang lelah. Tubuhnya terasa remuk redam.
"Aku duluan, La." Ia pamit seraya membawa piring kotor ke bak cuci piring.
Sampai di kamar Anna langsung menghempaskan tubuh di kasur. Ia menggeliat pelan. Ketika hendak memejamkan netra, tiba-tiba teringat sesuatu. Dengan sisa tenaga ia menurunkan kaki dari petiduran dan beranjak berdiri menuju meja belajar.
Anna duduk dan membuka laci, mengungkap buku bersampul merah muda yang terletak paling atas. Hati-hati ia mengambil buku tersebut dan meletakkan di meja. Ia membuka halaman pertama.
Anna tersenyum kecil. Sejak masuk kuliah ia memutuskan untuk membawa buku kecil itu ke tempat perantauan, bukan tanpa alasan di dalam buku itu banyak sekali coretan kenangan di masa putih abu-abu. Isinya sekedar membuat cerita tentang kegiatan di sekolah, di rumah, tentang sahabat, dan cerita tentang sosok yang ia kagumi. Bisa jadi ini adalah sebuah tulisan yang memuat kejadian penting dalam hidupnya termasuk curahan hati.
Ia membuka halaman yang masih kosong, mengambil pena, dan mulai menulis.
***
'Pertama kali mengikuti kegiatan Asisten laboratorium dan sekaligus menjadi ketua projek bukan hal yang mudah. Senangnya. Banyak ilmu yang aku dapatkan, kakak tingkat yang baik yang sangat membimbingnya dengan baik, juga teman baru dari kelas lain dan adik-adik tingkat. Mudah-mudahan bisa menjadi aslab lanjutan tahun depan.'
Anna bertopang dagu sembari mengetukkan pena beberapa kali ke meja. Ia melanjutkan menulis.
'Selama di Laboratorium banyak orang baik yang membantuku, khususnya kak Nafis, ia begitu tulus dan selalu meringankan pekerjaan selama di Lab. Aku bersyukur bisa mengenalnya, tapi apakah sikapnya padaku terlalu berlebihan, dan sungguh membuatku kurang nyaman. Benarkah itu tandanya ia sungguh-sungguh sedang mengejarnya? Sampai sekarang masih belum tahu perasaannya padaku. Yang ku tahu dengan perasaanku padanya hanya sebatas kakak tingkat yang baik.'
Jemari Anna berhenti. Ia menarik napas panjang. Apa perlu ia mencari tahu?
"Kau sedang apa, Ann?" tanya Lala menghampiri Anna dari arah luar sembari merebut kertas yang sedang Anna tulis.
"Aku sedang menulis," beritahu Anna pada Lala sambil merebut kembali kertasnya dengan senyum malunya.
Anna bersyukur Lala tidak selesai mebaca tulisannya itu.
"Alhamdulillah." Lala sumringah.
" di tulisan mu aku melihat sebuah tulisan kak Nafis, ada apa denganmu, Ann? Siapa tahu kamu berjodoh dengan supupuku."
Anna mendengus pelan. Ia memang selalu menceritakan pada sahabatnya itu perihal kejadian di Lab beberapa waktu lalu.
"Bercanda, Ann." kilah Lala seraya tertawa pelan. Ia tahu sahabatnya itu masih menyimpan penasaran. "Ya udah, tidurlah, malam sudah larut." sahut Lala.
Anna dan Lala dan bersiap untuk tidur.
"Baiklah." ucap Anna.
Setelah meletakkan buku, Anna beranjak ke meja belajar untuk mengambil teleponnya hanya untuk sekedar mengecek, sekiranya ada pesan dari seseorang yang ia tunggu, tapi nyatanya tidak ada sepotong kata pun pesan di malam ini. Anna mematikan telepon dan menyimpannya kembali di atas meja belajar.
***
Di Laboratorium ...
Anna membereskan kertas dan alat tulis yang berserakan. Ia menarik napas panjang ketika mendengar suara pintu dibuka dan ditutup dari ruang alat. Kak Nafis sudah pergi. Ia menghentikan aktivitas merapihkan Alatnya, merenungkan perubahan sikap Kakak tingkatnya itu.
Sejak beberapa hari ini kak Nafis tidak pernah lagi menghubunginya.Tidak satu kali pun. Membuat Anna cemas karena ia merasa selama ini selalu bersikap cuek padanya. Anna sadar bahwa apa yang dirasakan tidak boleh ia pupuk hingga tumbuh subur. Sikap Anna seperti itu hanyalah sebatas kekaguman pada sosok kak Nafis seorang Kakak tingkat yang baik padanya, bjaksana, sopan tetapi cukup membuat dirinya tidak merasa nyaman bila berada di dekatnya, karena cara ia menatap sungguh memiliki arti lain.
Anna peduli dengan kakak tingkatnya itu. Melihat Kak Nafis menjaga jarak seperti saat ini, membuat Anna tafakur. Ia khawatir ada perbuatan yang terasa kurang pantas atau terlalu mengabaikannya, sehingga kak Nafis menjauh. Ia segan untuk bertanya secara langsung. Ia berharap dengan instensitas rapat yang semakin sering, kak Nafis akan kembali seperti yang dulu. Ia menunggu telepon di rumahnya kembali berdering saat pagi.
***
Kak Nafis menutup matanya dengan tangan. Duduk dengan punggung bersandar ke dinding Laboratorium, ia hendak mengeluh, Sekuat tenaga ia berusaha menjauhkan pikiran dan hatinya yang sedang memikirkan seorang perempuan yang ia kagumi. Ia hanya ingin bertemu dengannya hanya sebatas praktikum saja. Kak Nafis mengembuskan napas berat. Ia mengingat perbincangan dengan Lala kemarin perihal masal lalu Anna. Dan ia baru mengetahui jika Anna masih mencintai seseorang di masa lalunya. Dan justru ini yang membuatnya tersadar untuk memberi celah bagi Anna untuk pergi dari hatinya. Pantas saja ia selalu menjauh ketika ku mendekatinya. Benak Kak Nafis. Ia sangat menginginkan seseorang yang mendampinginya kelak sosok yang baik dan bersinergi, mengemban amanah bersama. Ia butuh seseorang yang kuat dan mandiri, karena perjuangan tidak akan pernah berkesudahan. Kak Nafis pernah berharap itu Anna. Hatinya dipenuhi dengan nama itu. Namun ia sudah tahu bahwa ia telah hanyut dalam rasa cinta buang bertepuk sebelah tangan. Sementara Anna sedang menunggu orang lain yang sangat ia nantikan. Malu rasanya.
Tekadnya untuk menyirnakan Anna di hati membuahkan hasil. Kak Nafis memilih menjaga jarak dengan Anna ketika di laboratorium, hari-harinya dipenuhi dengan wajah kusam dan tak berkarisma seperti biasanya. Ia tidak lagi memikirkan hal lain. Prioritasnya kali ini sangat jelas sebagai asisten Laboratoriumbdan wakil ketua setiap projek praktikum.
Jodohnya sudah Allah tetapkan. Ia tidak ambil pusing untuk sesuatu yang sudah pasti. Tidak pandang siapa pendampingnya kelak, Kak Nafis yakin itu yang terbaik yang Allah berikan. Ia hanya perlu memperbaiki dirinya, karena Allah tidak pernah salah timbangannya. Ia akan mendapatkan apa yang pantas ia dapatkan.
Ketika bertemu Anna saat rapat di Lab, kak Nafis sudah bisa mengendalikan diri. Tidak ada lagi debar itu. Ia lebih fokus pada agenda rapat. Memang itu tujuannya. Pembinaan di Lab harus mendapat prioritas, dan itu tidak bisa dilakukan bila pikirannya terpecah.
***
________________
To ... Be ... Continue ....