Banten, Maret 20219
Tiga bulan berlalu. Semester enam akan berakhir. Kegiatan praktikum sudah selesai sekitaran seminggu yang lalu. Sosok kak Nafis yang semakin asing di mata Anna. Tapi anehnya Anna selalu penasaran dan mengharapkan sebuah sapaan dan telepon di pagi hari darinya.
***
Selama berbulan-bulan, Anna menjadikan Awan sebagai teman bicara dan berbalas pesan lewat telepon. Semakin berinteraksi, ia semakin yakin, laki-laki itu yang tepat untuk dirinya. Penilaiannya tidak pernah salah. Keinginan itu kembali hadir, menjadikan Awan pendamping hidup suatu saat nanti. Cepat atau lambat ia perlu menyampaikan ini, pikirannya ingin tahu apakah laki-laki itu mempunyai rasa yang sama.
Kelas sudah ramai ketika Anna masuk. Pekan ini adalah momen terakhir di kelas, karena sebentar lagi dilaksanakannya ujian akhir semester. Selama kelas berlangsung, hanya secarik kertas yang ia perhatikan bertuliskan nama seseorang yaitu Awan. Tiba-tiba sosok laki-laki yang sudah sangat ia kenali dari ujung rambut sampai kaki, ia mengusik hatinya. Anna terkejut ternyata mata kuliah terakhir ini digantikan oleh kak Nafis karena dosennya berhalangan hadir.
Kelas sudah dimulai.
Jam pelajaran sudah hampir berakhir, tiba-tiba kak Nafis menitipkan sesuatu pada salah satu teman kelas Anna"Tolong berikan ke Anna," ujarnya lirih seraya mengangsurkan lipatan.
Walau tidak paham untuk apa, laki-laki itu menerima kertas dan meneruskan ke orang di hadapannya dengan pesan yang sama. Begitu seterusnya sampai Anna menerima.
Anna membuka kertas tersebut, ia menoleh ke arah kak Nafis ketika pandangan mereka bertemu, tatapan Anna terkunci. Namun tidak lama,
Kak Nafis tidak bisa membaca isi hati Anna. Apakah Anna senang atau tidak? Hanya datar yang menggambarkan sosok Anna pada saat itu. Ia yakin Anna akan menanyakan kepadanya nanti, apa maksud isi pesan yang dikirimnya.
"Maaf, Ann aku harap kamu bisa menemuiku setelah jam pelajaran ini di Laboratorium!"
-Kak Nafis-
Apa maksudnya?
Anna kembali membaca tulisan tangan yang rapi itu. Mencoba memahami.
Anna penasaran kenapa harus mengirimkan pesan lewat secarik kertas, dan ada masalah apa soal praktikum bukannya semua kegiatannya sudah selesai. Tidak ada yang perlu dibahas lagi. Sikap yang aneh. Masa hanya karena ingin bertemu harus di Laboratorium?
Apakah ia perlu menanyakan hal tersebut ke Kak Nafis? Namun untuk apa? Sebaiknya tidak, toh ia kan nanti akan bertemu dengannya di Laboratorium.
Cukup sudah hatinya terombang-ambing tidak jelas dalam pesona seorang Awan, dan sekarang harus bertambah dengan keanehan kak Nafis. Ia bahkan sempat curhat ke Lala perihal prilaku kak Nafis yang akhir-akhir ini amat berbeda. Perlahan Anna bangkit, dan menuju arah Lab. Ia harus memandang kak Nafis sebagai seniornya di kampus, partner Asisten. Mereka bekerja untuk menambah pengetahuan, pengalaman dan memberikan arahan kepada adik tingkatnya yang melakukan praktikum. Hanya itu.
Anna menarik napas panjang. Berusaha meredam sebuah rasa yang masih tertinggal jauh di sudut hati. Ya ... memang masih tersisa, tersimpan rasa penasarannya pada kak Nafis, rapi di sudut hati. Namun ia tengah berjuang, walau tidak mudah. Memupuk dan mempertahankan sebuah rasa yang pernah hadir memenuhi kalbu untuk seorang Awan.
Kak Nafis belum bisa mengeluarkan Anna dalam pikirannya sepenuhnya. Semakin kuat ia berusaha, semakin kuat rasa itu menancap. Cinta dalam diam. seIain tidak tahu harus diapakan dorongan batin ini?
Ia mengembus napas berat. Bukan pilihan yang sulit sebenarnya. Ia tahu mana jalan yang terbaik harus ia tempuh. Jika belum waktunya, ya harus dilepaskan. Tetapi perasaannya semakin tak menentu rasanya dorongan kuat itu mengikatnya sangat kuat. Kadang ia bisa menahan diri, tetapi lebih banyak tidak. Apalagi bila berhadapan langsung dengan Anna yang notabennya amat sering berjumpa di Laboratorium. Hatinya lemah, ketika mengingat Anna.
Teringat ia pernah memberikan sebuah cokelat kepada Anna. Entah, apa yang mendorongnya untuk melakukan hal itu. Sungguh, kak Nafis sudah kehabisan rasa malunya pada saat itu.
Sesampainya Anna di Lab, ia melihat kak Nafis yang tengah menyambutnya di pintu dan tersenyum semringah. "Sudah bisa dimulai rapatnya?"
"Iya, bisa," sahut Anna, yang masih diselimuti kebingungan.
Anna tidak terlalu fokus dengan rapat yang berlangsung. Ia sibuk memikirkan sikap kak Nafis yang semakin aneh, mengapa ia tadi tidak mengirimi pesan lewat pesan singkat WhatsApp, mengapa harus di secarik kertas. Dirinya hanyut dalam keheranan.
Rapat sudah selesai, namun ketika Anna hendak melangkahkan kaki ke arah pintu untuk segera pulang ke rumah, namun kak Nafis seketika memanggilnya dan menghentikan langkah Anna, "Ann ... maaf sebelumnya kakak nggak tahu kenapa bisa begini. Dulu aku berusaha menjaga jarak dengan kamu, tapi sekarang kok malah berubah semakin bertambah suka."
Hening selama lima detik yang terasa bagai selamanya.
Kak Nafis menepuk dahinya pelan. Ia langsung menyesali ucapannya. Kenapa ia bisa menyampaikan hal tabu itu. Memang yang disampaikan adalah kejujuran, tetapi ia khawatir dengan tanggapan Anna akan pernyataannya barusan. Apa yang akan dipikirkan adik tingkat nya itu tentang dirinya?
Anna terpaku....
Debar di dada Anna masih menyisakan bekas, ketika rapat usai. Ia tertegun saat mendengar pernyataan kak Nafis yang membuat geger hatinya. Apa maksud dari ucapan laki-laki itu tadi?
Ia berusaha menolak kemungkinan kak Nafis menyukainya. Tidak, rasanya tidak mungkin. Lagi pula Anna sedang belajar tidak berdekatan dengan laki-laki lain selain dengan Awan.
Anna menarik napas panjang. Ia butuh teman bicara saat ini. Hatinya kembali bimbang.
Anna menundukkan kepala, setelah selesai menceritakan isi hati kepada Lala, Puas rasanya ia menceritakan semuanya, termasuk kalimat menggelegar yang disampaikan ka Nafis.
"Sampai kapan kamu akan menunggu Awan, sampai sekarang ia tidak pernah menyatakan sesuatu, kan?" tanya Lala hati-hati.
Anna mengangguk.
"Apakah kamu tahu alasannya kenapa?" tanya Lala kembali.
"Tidak mengikat janji sebelum waktunya?" aku pernah melihat status yang Awan buat di WhatsApp, dan aku merasa itu tertuju padaku.
"Lalu, kenapa kak Nafis sampai berkata seperti itu ke kamu, kau mau tau alasannya, ia sungguh-sungguh mencintaimu, Ann? Belum lagi pesan yang kerap dia kirim padaku setiap hari, yang isinya selalu bertanya tentangmu."cecer Lala.
Anna kembali mengangguk. "Aku tahu itu, tapi aku hanya menganggapnya sebatas kakak tingkat yang sangat baik padaku tidak lebih, La."
Sebenarnya ini adalah masalah hati. Bagaimana menjaga agar tidak saling kecewa sebelum waktunya.
"Hubungan apa yang terjalin antara kamu dengan Awan?" tanya Lala.
Anna menggeleng. Ia tidak punya hubungan apa-apa dengan laki-laki itu. "Hanya teman yang saling melemparkan perhatian lebih dari sekedar teman."
Anna dan Awan memang beberapa kali saling berbalas pesan dan telepon lewat WhatsApp. Kebanyakan berisi seputar pertanyaan tentang aktivitas kampus dan mengenai kabar. Anna benar-benar tidak tahu bagaimana perasaan laki-laki itu kepadanya. Ia tidak mau mengira-ngira.
"Sebaiknya kau tanyakan saja perihal perasaan Awan kepadamu, Ann!."
Anna mendongak."Tapi, La...."
"Kamu keberatan, engga berani?"
Anna mengangguk. "Bukan, hanya saja aku takut mendengar kabar buruk."
"Insya Allah, sebagai usaha kamu untuk mendapatkan kepastian, kamu harus siap!"
Anna mengangguk, ia paham hal itu.
"Mungkin bagi kita saat ini dia yang terbaik. Padahal belum tentu demikian. Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk kita. Allah sudah menyiapkan pada waktunya nanti. Jadi tidak perlu risau. Kalau memang sudah jodoh, insya Allah akan Allah pertemukan." sahut Lala sembari menatap sahabatnya dengan penuh rasa iba.
Air mata Anna tumpah, membasahi jilbabnya. Sejujurnya ia tak tahu kenapa air matanya mengalir. Apakah perasaannya semakin dalam untuk Awan, atau mungkin merasa tidak enak kepada kak Nafis seseorang yang sudah menyatakan cinta kepadanya. Namun tak ia hiraukan.
Ia meresapi semua ucapan sahabatnya sepenuh hati. Ia memang sangat lemah. "Untuk kak Nafis nanti biar aku yang ngomong. Besok aku bicarakan kerumahnya tentang jawaban kamu, Ann"
Anna mengangguk. Insya Allah ini yang terbaik.
"Baik. Ada lagi yang ingin kamu ceritakan?"
"Nggak La. Doakan saja aku bisa melewatinya."
"Insya Allah selalu aku doakan yang terbaik."
Anna menarik napas lega. Ia merasa masalahnya sudah teratasi. Ia berharap demikian. Dipeluk sahabatnya dengan penuh cinta.
***
_________________
To ... Be ... Continue ....