Banten, Maret 2019
"Perihal rasa yang di pendam, memang konon katanya sebaiknya diungkapkan. Karena jika tidak, akan selalu dihantui oleh rasa penasaran yang menguasai relung hati dan tak berujung."
***
Kak Nafis sudah mengira kalau hari ini akan tiba. Cepat atau lambat Lala akan tahu. Mungkin bukan dari dirinya, karena ia pandai menyimpan rasa. Sepertinya Anna menceritakan perihal ini kepada sepupunya.
"Ini sudah keputusan Anna, ia akan tetap menganggap kak Nafis sebagai Kakak tingkat yang selalu baik padanya. Aku harap kakak bisa menerima nya, Anna juga siap untuk berhenti di pengurusan Asisten laboratorium, sekiranya akan menganggu kakak," jelas Lala yang berbicara langsung di rumah kak Nafis.
"La, kalau boleh tahu, apa alasannya? Apakah ada yang salah dengan yang aku ucapkan kemarin?"
Lala menghela napas pelan. "Aku pikir, Kakak sudah tahu alasannya. Bukannya terlalu cepat kakak mengungkapkan hal itu, Anna kan sekarang masih semester enam, hal itu yang membuat ia tidak nyaman, dan satu lagi yang belum bisa aku katakan perihal masa lalunya yang mungkin akan mengecewakan kak Nafis."
"Tentang apa, ceritakan saja, insyaallah aku bisa menerimanya?"
"Perihal Awan yang datang lagi pada hidup Anna, dan sekarang semakin dekat, kau tahu, kan Awan adalah salah satu orang yang berarti dalam hidup Anna sejak masa SMA sampai sekarang, sebenarnya aku juga heran apa yang membuatnya tergila-gila dengannya. Kak, tidak seharusnya aku mengatakan ini padamu, Ini akan membawa kekecewaan yang amat mendalam bagimu."
"Tapi ... Anna tidak ada kepastian hubungan apa-apa dengan Awan?" bantah Kak Awan. Belum, lebih tepatnya.
"Anna sudah menceritakan semua ke aku. Dan aku pikir itu sudah lebih dari cukup. Awan menunjukkan sikap kalau ia juga menyukai Anna. Seharusnya mereka harus sudah sampai pada kepastian dalam hubungan, tapi keduanya memilih untuk diam karena mereka tahu waktu yang tepat untuk mengungkapkannya," sergah Lala.
Kak Nafis tertegun. Benar. Anna sudah menceritakan semua ke Lala, memang benar cintanya bertepuk sebelah tangan, dan Anna sudah memilih jalannya yaitu memilih orang lain yang singgah dalam hidupnya jauh lebih lama darinya. "Kakak tahu kalau Kakak salah, tapi ... Anna berbeda, La."
Kak Nafis menarik napas berat. Ia tidak pernah satu kali pun membayangkan hal ini terjadi dalam hidupnya. Bahkan bertemu di lab setiap hari ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa hanya dengan mendapatkan balasan senyuman dari gadis manis itu. Mereka berbincang di telepon, ia menghormati Anna sebagai perempuan yang menjaga baik dan sopan. Hanya keinginan hati untuk menjadikan ia itu pendamping hidupnya kelak. Mengingat tahun ini ia sudah harus lulus dan meninggalkan segala aktivitas di kampus dan Laboratorium yang penuh dengan memori indah bersama Anna, dan ia hanya takut jika ia tak sempat mengungkapkannya karena terbatasi oleh waktu. Apakah salah?
"Kakak tidak pernah berharap lebih, La. Kakak akui, Kakak memang menyukai Anna, tapi rasa ini tidak pernah kakak tunjukkan atau ceritakan kepada yang lain selain kamu La. Saat kakak sampaikan suka dalam rapat tempo hari, itu keceplosan ...."
"Satu kalimat itu sudah cukup. Ini sudah keputusan Anna kak, aku enggak tau harus bagaimana. Kalau Kakak yakin dengan jodoh yang akan Allah pilihkan nanti, tentu Kakak tidak keberatan dengan keputusan Anna, kan? Karena ini pilihan terberat baginya. Kakak juga tidak keberatan kalau tidak menghubungi Anna lagi, bahkan lewat telepon?"
Kak Nafis terdiam. Apakah ia sanggup?
Kak Nafis terpekur. Perkataan Lala yang bertubi-tubi seolah sekarang ia tak lagi berpihak padanya, padahal dulunya Lala sangat mendukungnya. Ia tidak punya argumen untuk menentang. Air mata kak Nafis menggenang, bercampur rasa malu. Beginikah rasanya melepaskan bahkan sebelum di genggam?
***
Bandung, September 2020
Satu bulan berlalu, ajaran baru sudah di mulai, begitupun perkuliahan sudah seminggu lalu mulai diadakannya pembelajaran. Kak Nafis meletakkan buku bacaannya ketika mendengar ketukan. Ia sedang menyelesaikan tugas yang sedang ia kerjakan, mengingat ia sedang menempuh pendidikan S2 pada salah satu kampus di Bandung. "Masuk!" Kak Nafis menggeser duduk menghadap pintu.
Sosok Laki-laki berperawakan tinggi, terlihat umurnya dibawah darinya, teman satu kos sekaligus satu kampus dengan nya, Awan muncul dari balik pintu. "Kak, bagi penduduk kos baru nanti malam habis Isya bisa rapat?"
Kak Nafis mengangguk. "Insya Allah."
"Ada yang perlu kita diskusikan."
"Alhamdulillah malam ini saya kosong."
"Alhamdulillah, permisi kak. Assalamua'alaikum." kak Nafis kembali menutup pintu.
Kak Nafis menarik napas pelan setelah kepergian adik tingkatnya itu. Sekarang ia memiliki kesibukan baru. Setelah mengikuti pelatihan laboran beberapa mingggu yang lalu, ia mulai aktif di Lab kembali.
Seluruh penghuni kos memulai rapat terkait berbagi tugas selama mereka tinggal disana agar lingkungan kos nya selalu nyaman untuk ditempati. Awan sebagai pemimpin kepengurusan umum. Selain Awan ada ilham yang mewakili kepengurusan lingkungan kos yang diharapkan semua orang yang tinggal di kos itu bisa merasakan rumah keduanya. Selang beberapa menit Awan memperkenalkan diri, kak Nafis terdiam. Dalam benaknya apakah ini Awannya Anna.? Mengingat Lala pernah berkata laki-laki itu kuliah di Bandung dan satu kampus dengannya. Semakin penasaran ia terus memperhatikan gerakan mata, mulut dan tangan Awan selagi berbicara. Ia merasa heran denga dugaannya, apa yang akan terjadi dengan Semua ini, dunia begitu sempit mampu mempertemukan dua insan yang menaruh perasaan yang sama dengan satu gadis.
***
Kak Nafis bersyukur Allah memberinya jalan keluar untuk permasalahan yang dihadapi. Lebih tepatnya pelampiasan. Kak Nafis jadi sibuk. Setelah ia pindah ke Bandung untuk melanjutkan studi S2 nya, mereka tidak pernah bertemu. Tidak ada lagi rapat di Lab kampus, tidak ada telepon pagi dan berbalas pesan, Ia merasa kehilangan.
Ia tidak punya alasan untuk menelepon Anna, karena tidak ada hal yang perlu dibahas di antara mereka berdua. Kalau dulu ia bebas menelepon gadis itu untuk membahas program Laboratorium, sekarang ... ?
Pikir kak Nafi, dulu Anna hanya orang asing baginya. Harusnya semua bisa biasa saja ketika dia memilih kembali menjadi asing.
Dulu, Anna hanya teman biasa. Harusnya semua bisa biasa saja ketika dia memilih kembali menjadi teman biasa.
Namun ia baru menyadari kadang setelah berurusan dengan perasaan, Semuanya bisa menjadi begitu rumit.
Tapi serumit apa pun itu, tetap saja yang menentukan pilihannya tetaplah Anna. Mau berlarut tenggelam, atau berenang menepi dan berjalan menempuh tualang baru lagi.
Pertualangan tanpa Anna kembali padanya.
Ia hanya berharap Anna tak kehilangan dirinya jika kelak ia akan menghilang. Gadis itu hanya sedang menyisihkan dirinya dari kebiasaannya. Memilih hujan yang baru. Terbuai suasana panas petang hari yang bukan lagi djrinya. gadis pujaannya itu hanya sedang bertualang melewati batas rindu. Dan mungkin saja Anna hanya sedang mencari seseorang tak ia temukan dalam diri kak Nafis.
***
________________
To ... Be ... Continue ....