Chereads / Awan dari Masa Lalu / Chapter 21 - Harapan yang Terkikis oleh Waktu

Chapter 21 - Harapan yang Terkikis oleh Waktu

Kak Nafis teringat saat terakhir kali ia menelepon Anna saat pagi-pagi buta.

"Kak Nafis minta maaf kalau selama berinteraksi ada lisan yang tidak pada tempatnya," ujar Kak Nafis berusaha tetap tenang. "Aku minta maaf kalau dalam rapat terlalu banyak menuntut. Insya Allah sama sekali tidak ada niatan ke arah sana."

"Sama-sama, Aku juga minta maaf kalau selama bekerja sama tidak sesuai harapan."

"Insya Allah nggak. Aku mohon kamu tetap lanjutkan kegiatan di Lab ya, aku yakin kamu akan bekerja, sama kerasnya seperti yang kemarin telah berhasil dilalui."

"Insya Allah."

Betapa Kak Nafis ingin berlama-lama. Merekam semua pembicaraan terakhir mereka. Ia yakin akan merindukan suara lembut itu. Namun waktu yang memisahkan. Baru lima menit menelepon, keduanya mulai tidak nyaman. Anna lebih banyak diam. Ia membiarkan Kak Nafis banyak berbicara.

"Itu saja, Ann. Sekali lagi, maafkan aku. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

***

Hari-hari berlalu. Ada masa di mana kerinduan itu begitu kuat. Kak Nafis hanya sanggup duduk di kasur dan memandangi teleponnya di genggaman selama bermenit-menit. Jari yang bergerak hendak menekan tombol, maju mundur. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Berdebat. Namun ia masih bisa mengendalikan diri.

Netranya ingin melihat Anna, telinganya ingin mendengar Anna, dan penciumannya ingin menghirup Anna. Sebegitu kuat. Rindu ini bersarang terlalu lama. Memakan ruang kosong di hati hingga penuh dengan satu nama. Anna.

Sampai ia tidak tahan lagi dan tersungkur dalam sujud panjang di sepertiga malam. Ia sadar betul perasaan tidak bisa dipaksakan dan berharap Allah melimpahkan kasih sayang kepadanya.

Ia ingin segera lepas dari rasa yang menyiksa.

Cintanya pada Anna telah mengisi ruang batinnya paling dalam. Ia tak menyangka sebesar itu. Baru kini ia sadari, saat dirinya tak lagi mampu menemuni Anna. Bahkan sekedar mendengar suaranya.

Ia bersyukur ketika mendapat pelarian yang membuatnya lupa. Jadwal padat sebagai Laboran dan padatnya jadwal perkuliahan membuat rasa rindunya terkikis.

Inilah jawaban yang Allah berikan. Hal terbaik yang ia jalani saat ini. Insya Allah akan membawanya untuk kembali mereguk manisnya sebuah perjuangan dalam meraih kesuksesan.

-Hati siapa yang kau jaga selama ini? Dingin sikapmu semakin hari. Ribuan tanya berkeliaran dalam kepala. Siapa sebenarnya seseorang yang sedang kuperjuangkan ini?

Aku kehilangan diriku berkali-kali. Sakit tak terkira. Saat satu-satunya orang yang kuyakini tidak akan melukaiku. Sedang menyimpan rahasia besar di belakangku.

Apa yang ada di kepalamu? Saat kujadikan tunggal dalam hidupku. Kau berlaku seenak hatimu. Kau tak tahu diri akan semua sikapmu. Kau pikir apa yang kulakukan untuk kau permainkan?

Aku masih bisa melihatmu dari jarak yang tak dekat. Kita sudah direnggangkan oleh keinginan saling mengelak. Kau memilih berdiam di tempat yang tak bisa lagi kujangkau. Tapi, sadarkah engkau; di antara ruang yang memisahkan dada kita. Aku masih rajin mengirim sesuatu yang orang-orang sebut cinta.

Kemana saja, kau? Diam-diam tak ada kabar. Menghilang dan melatihku bersabar. Bagaimana perjalanan ini bisa kita tempuh sampai tujuan. Jika kau suka bertahan dalam persembunyikan. Apakah bagimu hari-hari itu tak perlu kita tempuh lagi? Bukankah, selama ini aku terus yang betah mencari. Apa kau sudah tak butuh semua niat baik ini.-

~Kak Nafis

"Pilihan yang sudah tepat akan menghasilkan buah yang manis."

'

'

'

September, 2020

Anna melangkahkan kaki ke lantai dua Laboratorium. Usai kegiatan sterilisasi spesimen yang ia lakukan dengan anggota praktikan lainnya. Ia melihat pemandangan kampus dari atas balkon. Ia duduk dan mengambil tempat untuk dirinya. Dari atas ia bisa melihat suasana antar gedung kampus dan para mahasiswa yang sedang lalu lalang dan banyak gerobak penjual makanan yang berjejer di jalan masuk menuju kampus.

Ketika mengedarkan pandangan, netranya menangkap sosok yang sudah lama menghilang dari kampus. Kak Nafis. Laki-laki itu sendirian. Anna sontak terkaget. Tampak sedang menuju ruang jurusan, sepertinya ia sedang mengambil beberapa persyaratan lainnya untuk keperluan kuliahnya. Anna mengetahui hal itu dari Lala, pekan lalu Lala mengatakan bahwa kak Nafis melanjutkan studi S2 nya di Bandung. Setelahnya Kak Nafis masuk ke ruang jurusan dan menghilang.

Anna baru sadar kalau selama itu ia menahan napas. Tangannya menekan dada yang berdebar pelan. Kenapa laki-laki itu masih saja memberikan getaran di hati? ia hanya sekedar merindukan kebaikan yang diberikan oleh kak Nafis padanya dan rasa tidak nyaman karena ia tidak bisa membalas perasaanya.

***

Ia sudah melepaskan hasrat dalam diri dan fokus ke akademis. Hari-harinya dipenuhi dengan les privat, kuliah, dan praktikum. Pulang malam sudah menjadi makanan sehari-hari. Saat tubuh letihnya menyentuh kasur, ia langsung terlelap.

Dulu Anna berpikir, dengan ketidakhadiran Kak Nafis di hari-harinya, akan membuat semua lebih mudah. Ternyata tidak. Awalnya bisa bertahan, tetapi lambat laun ia merasa ada yang kosong. Tidak ada yang meringankan bebannya di Laboratorium. Hilang. Kadang ia terlonjak kaget mendengar dering telepon setelah pagi, harap-harap cemas kalau itu Kak Nafis yang mengingatkan untuk mengoreksi laporan. Atau berdiskusi berdua di laboratorium membahas projek yang akan dilakukan.

Namun, semua tidak pernah terjadi. Ia tidak pernah bertemu kak Nafis di kampus ataupun di Lab. Kenangan satu tahun bersama dalam satu amanah Asisten Lab, perlahan sirna.

Ketika rasa itu kembali hadir, Anna berusaha meredam dan membuang jauh. Ia semakin bingung dengan perasaannya bukannya ia hanya menganggap kak Nafis sebagai sebatas kakak tingkat tidak lebih, mengingat perasaannya hanya untuk Awan. Lalu bagaimana bisa hatinya merasakan khawatir yang berlebih pada sosok kak Nafis,? Ia terus bertanya-tanya dalam benaknya.

"Hei!"

"Astagfirullah." Anna terperanjat seraya menoleh ke belakangnya. "Lala! Ngagetin, aja."

Lala mesem-mesem. "Maaf ... Habis kamu tampangnya sedang melamun Lagi ngeliatin apa, sih?" Lala mendekat ke arah Anna dan melongokkan kepala ke bawah.

"Eh, bukan apa-apa." Anna menutupi rasa gugup dengan menjauh dari balkon. "Turun, yuk. Aku sudah selesai praktikumnya.!"

Walau penasaran, Lala mengikuti sahabatnya itu turun ke lantai satu.

"Oya, aku bertemu Kak Nafis di bawah tadi, dan kemarin juga sempat bilang ke aku ia mau pulang dari Bandung hanya untuk mengambil file dari jurusan," ujar Lala seraya menghitung tangga yang sedang ia lalui dengan Anna.

Deg!

Anna menegang sesaat. Gerakannya terhenti.

"Ann," panggil Lala ketika melihat sahabatnya itu masih berdiri.

"Eh, iya." Anna berdehem untuk menutupi keterkejutan. "Kamu bertemu Kak Nafis?"

"Iya, tapi sekilas saja. Nggak sempat nyapa juga."

Anna menghela napas lega. "Ooo ...."

"Kenapa Kak Nafis nggak pernah menghubungimu lagi, kan?"

Anna mengangkat bahu. Urusan kak Nafis, bukan urusannya.

"Apa sudah mulai melupakanmu, Ann?" ucap Lala sembari melemparkan senyum tipis.

"Nggak tahu juga."

Lala berdehem. "Ehm, kamu mulai ... mulai...." Lala menjadi gagap.

***

To ... Be ... Continue ....