Chereads / Awan dari Masa Lalu / Chapter 15 - Masih Tentang Rasa Awan

Chapter 15 - Masih Tentang Rasa Awan

Banten, February 2019

"Ya sudah, tidak apa-apa. Ini amanah dari Fira untuk memajang fotonya di kamarku, hanya itu." sahut Awan sambil melemparkan senyum tipis pada Ilham. Awan tahu benar dengan tujuan Fira mengirimkan foto album masa SMA padanya, terlihat ada niat lain yaitu untuk menarik perhatiannya dan ingin semakin dekat dengannya. Sering mengirimkan pesan pula padanya meskipun begitu Awan tetap memberikan respons dengan sekedarnya saja. Ia bersyukur, hatinya tetap tidak tergoyahkan oleh beberapa temannya yang memberi sinyal lebih menuju hal hubungan percintaan, entah sejak kapan kepribadian Awan berubah, ia sekarang lebih teliti dan memiliki kepastian dalam hatinya pada satu hal yang ia pilih. itulah proses pendewasaan.

Ilham mengangguk kecil. "Aku mandi dulu, Wan." pamitnya sebelum melangkah ke luar kamar.

Ia menutup pintu seraya memindai isi kamar. Ada banyak quotes islami dan filsafat di sana. Ia seringkali berbagi kamar dengan sahabatnya itu dikala lagi jenuh dan banyak tugas, dengan harapan bisa mendapatkan bantuan dari sahabatnya yang ambisius itu. Sudah beberapa lama ia memikirkan untuk kost dekat kampus. Selain karena jarak yang dekat, ia juga menyukai suasana kost yang dinamis. Tentu akan lebih semangat belajar jika bersama teman yang baik dan yang satu visi dan misi.

Awan menarik napas panjang. Ia menuju lemari dan bersiap mandi.

Ketika yang lain sedang hang out dengan teman-teman menghabiskan malam dengan bersenang-senang, ia memilih jalan yang tidak biasa. Sesuatu yang dianggap asing dan tidak keren oleh beberapa orang.

Selesai bersiap, Awan pamit ke Ilham. Ia mengeluarkan motor kesayangan pemberian bapaknya, dari garasi. Kendaraan roda dua yang dinamai jafra itu sudah menemaninya sejak dia SMA. Ia berharap semoga jafra menjadi saksi nanti tentang perjuangannya mengemban perjuangan dalam meraih kesuksesan.

Dalam perjalanan ke kampus, motornya berhenti di perempatan lampu merah. Awan melihat pasangan muda-mudi yang berjalan di sepanjang trotoar. Ingatan masa SMA kembali. Dulu ia pernah hampir terperosok ke hubungan dengan seorang teman sekelasnya, yang membuat hubungannya retak dengan Anna. Bersyukur Allah masih menyelamatkan. Sekarang ia berusaha menata hati dan berjuang mencari yang lebih baik lagi. Dan dipikirannya hanya ada sosok Anna.

Lampu masih merah. Menunggu pejalan kaki menyeberang.

Dari balik helm, mata Awan menangkap seorang perempuan berhijab sedikit panjang, tidak terlalu tinggi dan bermata sayu sedang menyeberangi jalan. Tiba-tiba memorinya kembali ke beberapa waktu yang lalu. Ketika duduk berdua bersama sosok perempuan sama persis dengannya, semasa SMA.

Saat itu semua teman kelas baru selesai mengikuti pelajaran Matematika. Ia sedang berada di kelas, hendak memasukkan buku ke dalam tas. Seperti biasa, ketika berjalan pandangannya tertuju pada satu sosok yaitu Anna yang tengah sibuk menulis ulang pelajaran yanya barusan di sampaikan oleh guru.

Entah apa yang membuatnya melengos dan mendekat menuju Anna, dan duduk tepat di sampingnya, membahas tentang banyak perihal kehidupan, tanpa sengaja pandangannya tertumbuk pada seorang perempuan berhijab sedikit panjang, berwajah bulat dengan mata sedikit sayu. Perempuan itu sedang tersenyum pada teman di samping sehingga membuat netranya mengecil. Hanya beberapa detik, tetapi tidak dipungkiri membuatnya terpaku sesaat. Cantik, Itu yang terlintas dalam benak Awan. Alis berbaris rapi dengan hidung mungil dan pipi kemerahan. Waktu berjalan sangat pelan. Wajah sang perempuan itu terekam hingga ke sukma. Lalu apa yang membuat Awan tidak melanjutkan rasa dikala itu?

Cepat ia tersadar, berpaling dan melanjutkan langkah. Sejak itu ia berikrar dalam hati, tidak akan kehilangan langkah Anna di kemudian hari. Bagi Awan, perempuan berhijab putih itu terlalu sempurna. Jika ada seseorang yang bisa memilikinya, nampaknya harus lebih baik dari padanya.

Mereka tidak pernah bertemu lagi. Usai pelulusan SMA. Dadanya berdesir halus mengenang hal itu. Awan menarik napas panjang. Tidak. Ia harus sungguh-sungguh dan tidak ingin bermain-main dengan hatinya. Sekarang waktunya fokus untuk kuliah, hingga suatu saat nanti menjadi orang sukses dan membahagiakan orang-orang yang ia sayangi, terutama keluarganya dan Anna.

Tetapi .... ia merasa akan bertemu kembali dengan Anna. Apalagi mereka satu almamater, kemungkinan besar untuk bertemu. Kalau benar seperti itu, ia harus menyiapkan hati agar tidak menyia-nyiakan orang yang sempurna.

"Bagaimana fotonya?"tanya Fira lewat pesan singkat pada Awan .

"Alhamdulillah ... sudah sampai, bagus Fotonya makasih, Fir." Awan membalas pesannya.

Mereka memang berteman baik sejak SMA tapi tidak sedekat Awan dan Anna, hanya sekedar teman satu organisasi yang berbeda kelas. Jadi sangat jarang bertemu.

Wajar saja Awan selalu membalas pesannya karena ia merasa tidak enak dan takut membuat orang kecewa, Karena selama ini ia menganggap Fira sebagai teman baik selama di organisasi. Yah ... begitulah Awan memang sangat terkenal dengan sikap yang friendly kepada semua orang termasuk kaum hawa. Sungguh tidak heran kalau sangat banyak yang mengantri untuk mendapatkan perhatian darinya.

"Aku senang, Kamu suka fotonya, sudah dipajang, kan?" tanya Fira sembari menyisipkan emoticon penasaran dengan diikuti simbol tanda tanya yang lebih dari lima, sudah pasti menunjukkan rasa harap dari Fira.

"Sudah" Awan menjawab singkat, dengan tujuan agar pesan nya cepat berhenti.

"Udah istirahat dulu, Kamu pasti capek." Fira menjawab pesan awan sembari melemparkan seuntai kata perhatiannya.

Awan mengangguk pelan. Ia memang lelah. Tubuhnya terasa remuk redam.

"Fira saya tutup ya, saya mengantuk." Ia pamit dalam pesan singkat seraya mematikan data seluler agar tidak ada yang mengiriminya pesan lagi selain Anna, karena ia tahu Anna tidak mungkin menyapanya lebih dulu selalu saja harus Awan yang mengurungkan rasa malu dan gengsinya itu. lagi pula itu hal biasa sudah seharusnya seperti itu.

***

Sampai di kamar Awan langsung menghempaskan tubuh di kasur. Ia menggeliat pelan. Ketika hendak memejamkan netra, tiba-tiba teringat sesuatu. Dengan sisa tenaga ia menurunkan kaki dari petiduran dan beranjak berdiri menuju meja belajar.

Awan duduk dan membuka laci, mengungkap buku bersampul biru, buku catatan masal lalunya yang terletak di paling bawah laci. Hati-hati ia mengambil buku tersebut dan meletakkan di meja. Ia membuka halaman secara acak.

"Saat memutuskan memendam perasaan. Secara sadar kamu sudah memutuskan apa saja risiko dari semua itu. Kalau tidak sakit, ya, sakit banget. Namun, terlepas dari perasaan itu. Setiap perasaan sesungguhnya bisa dinikmati. Perasaan apa saja. Apakah itu kecewa, jatuh cinta, jatuh cinta diam-diam, juga saat kau memilih memendam perasaan. Kau selalu bisa menikmatinya. Meski terkadang lebih banyak perasaan bimbangnya.

Perasaan yang tumbuh di hati manusia adalah anugerah. Hal yang sama sekali tidak bisa dibuat buat. Tidak perlu menyesali apa pun yang terjadi. Jika pun kau memilih memendam perasaan. Namun, harus kau ingat. Perasaan yang dipendam seringkali meminta untuk dikeluarkan. Dan, kau harus paham. Kau sama sekali tidak seharusnya menyalahkan perasaan yang ada di dadamu. Kau hanya perlu menenangkannya berkali kali. Ajaklah perasaan itu bertenang hingga sampai pada waktunya.

Memendam perasaan sama saja kau mengajak dirimu sendiri berperang. Sayangnya tidak akan ada yang menang dan kalah di antara kalian. Jika perasaan yang kau pendam bisa kau redam. Tetap saja kau akan tetap sendiri. Jika perasaan yang kau pendam mengalahkanmu, kau akan menjadi tidak karuan. Merasa tidak seimbang. Dan, yang lebih parah lagi, kau akan menyadari, kau tetap saja sendiri. Memendam perasaan bukanlah kesalahan. Hanya saja kau juga harus pahami. Memendam perasaan seringkali menimbulkan penyesalan.

Sungguh, takut memang sebenarnya." Isi pikiran Awan berperang tanpa prajurit.

***

____________________

To ... Be ... Continue ....