Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Bahagia yang Ringan

annisaratna_87
--
chs / week
--
NOT RATINGS
30k
Views
Synopsis
Sebuah cerita ringan remaja Kisah seorang pemuda belasan yang memegang tanggung jawab penuh mengawal sang sahabat sekaligus putra tunggal pewaris keluarga besar Ken. Prada seorang yatim yang sebatang kara dan diasuh keluarga Ken sejak bayi. Dia tak hanya melindungi raga tuan muda Sansco tetapi juga menyembunyikan kisah asmaranya dari mata dunia. Seorang Sansco terlarang mengikuti kehendak hati. Hidupnya harus sejalan dengan rencana keluarganya. Semenjak Sans menyatakan perasaan pada sahabat kecilnya Shara, Prada menambah pengawasan ketat. Dia bersusah payah menutup rapat hubungan keduanya. Mulai dari bersikap seolah tergila-gila dengaan Shara hingga harus berjalan kaki memantau kencan sembunyi-sembunyi sang majikan. Mata sekolah mengira Prada mengejar Shara. Kehadiran Hanna dalam hidupnya hanya untuk tersakiti. Prada mengorbankan perasaannya yang tumbuh untuk adik kelasnya itu. Sementara Hanna yang jatuh cinta pada Prada hanya mampu menelan kecewa dan menahan air mata. Elang sang sahabat yang kerap menyeka kesedihan Hanna menyulut kebencian Prada. Namun Prada tak mampu berupaya apa-apa. Hidupnya hanya untuk mengabdi pada keluarga Ken meskipun hatinya terluka. Perasaan Prada dan Hanna yang tak mampu saling menghampiri. Keadaan membelenggung kisah cinta mereka. Akankan kemerdekaan mencintai didapatkan Prada?
VIEW MORE

Chapter 1 - Kisah Asmara Sahaja

Derap sepasang alas kaki berirama menyusuri lorong kelas IPA tahun kedua, membaur dengan bising teriakan kelaparan menuju jalur kantin. langkah gemulai gadis berambut merah sebahu menuai perhatian berpasang retina kaum adam dan hawa.

Gadis jelita bertubuh tinggi itu selalu menjadi tokoh utama wanita idaman dalam khayalan para pemuda tanggung. Iris gelapnya mampu meniup akal sehat lawan bicara. lengkungan bibir penuhnya selalu dapat menekan laju denyut jantung pria muda. Shara Berliana selalu menjadi puncak buah bibir sekolah. Gadis bersahaja berbayang pewaris tahta.

Ketika langkah Shara menikung pada ujung koridor terjadilah drama yang sanggup menciptakan gelombang tsunami yang menerjang hati seluruh pemuda di sekolah. Sanfransisco Ken yang mendadak muncul segera meraih telapak tangan Shara tanpa kata. Mereka berlalu dengan lugu tanpa tahu puluhan hati dirundung sendu.

Pemuda seangkatan Shara yang tenar dengan sebutan Sansco, tak berniat melenyapkan lengkungan bibirnya. Panggilan unik yang selalu menggentayangi benak Shara. Terdengar seperti brand produk olahan kelapa sawit. Pesona dahsyat sang pemuda bagai guna-guna pemikat hawa.

Shara bersusah payah menepis remasan kuat tangan pemuda teman sebayanya itu. Hingga beberapa detik kemudian jerih payah si gadis terbayarkan tanpa sengaja. Pertikaian ringan mereka berujung pada teriakan pilu si rambut legam, Sanfransisco.

Sepatu gelap Sans terlindas alas sepatu pantofel putri setinggi tiga senti. Sebelah lututnya menekuk ketika lainnya berjingkat-jingkat menggelikan.

Shara melenggang santai dan menahan tawanya.

Sans tertatih menyamai langkah Shara. "Kamu masih marah?"

Shara mengeluh kesal. Langkahnya semakin laju dan rentang di antara keduanya bertambah renggang.

Sans enggan meletakkan harapan. Lantang terdengar sebagai konsekuensi getaran pita suara yang meninggi.

"Ra, tunggu!" Tak hanya sekali nama sang gadis diserukan.

Shara berpura-pura tak menangkap suara. Tubuhnya melenggan tak acuh.

Sans menggandakan kecepatan tungkainya. Pria haram rendah diri di hadapan sang pujaan. Kaum adam wajib menyingkap aura ksatria dan membongkar kejujuran. Sansco muak dengan ulah masa lalunya yang acap kali mengulur hati. Pengecut tampan yang bersembunyi di balik ketiak persahabatan. Sansco tak kuasa membayangkan hal fatal. Karena bergeming hanya akan melahirkan sesal sinonim dari bahagia yang tumbang.

Sansco meraih bahu Shara saat rantang keduanya tak lagi bercelah.

Shara mengelak cepat. Bibir penuh nan eksotis itu memberengut. "Berhenti memperlakukan aku seperti ini. Aku ini perempuan butuh kepastian. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan kita hanya sahabat sejak kecil?"

Sansco menyapukan sela-sela jari pada ujung rambut kepala. Semalam penuh migrain tak kunjung sembuh, semakin bertambah utuh. Beban menumpuki benaknya hanya sebab romansa. Romansa yang tertahan dari belia hingga beranjak dewasa.

"Ra, aku mohon beri aku kesempatan untuk menjelaskan!" pintanya memelas.

Shara menggeleng ringan dalam ayunan sepatunya.

Sansco kembali mencengkeram kedua bahu Shara. Tatapan mata elang sang pria meluruhkan nyali sang gadis. Sanco tak akan menyerah pada kesalahpahaman. Dia akan muluruskan kenyataan detik ini juga.

Shara menggeliat risih. Gerakan tubuhnya berupaya menghalau anak panah tak kasat mata yang sanggup menembus pertahanan hatinya. Iris kecokelatan menawan dapat menjelma senjata ujung runcing. Shara bimbang jika mata anak panah terlanjur menghujam hatinya, dirinya pasti payah kembali lagi. Kembali bertahan menarik layar dari badai pesona Sans.

Sans memaksa. "Ra, diam dan dengarkan!"

Rambut sutera Shara mengibas cepat. "Lepaskan!" raungnya. "Kau sudah menolakku kemarin dan kisah cintaku telah tamat. Kita akan bersahabat selamanya seperti sebelum perasaan merepotkan ini muncul. Jadi biarkan aku pergi dan jangan bertingkah macam-macam!"

Sansco semakin memperdalam bisikan lensa kecokelatannya. "Tapi aku menolak. Aku menolak bersahabat selamanya demganmu."

Shara membeku. Lidahnya kelu. Pandangannya jatuh pada ujung sepatu. Bola matanya memanas seketika. Begitu tampak hinakah perasaannya di mata sahabat seumur hidupnya itu? Hingga Sans berniat memangkas waktu persahabatan keduanya.

"Sebenarnya aku menyukaimu lebih dari sahabat tapi ada yang harus aku...."

Satu detak keras jantung Shara menampar lamunannya. Shara tergagap. Bola mata berair itu melebar. Pernyataan dari mulut Sans tak pernah terlintas dalam angan sebelumnya.

"Ra ... please!" Hati Sans semakin tersayat menyaksikan Shara terbungkam dalam perih.

"Dasar orang gila!" Maki Shara tiba-tiba.

Sansco mengangguk berulang kali menyetujui. Dia senang hati dianugrahi gelar gila. Dia suka cita dicaci tak waras. Dia berlapang dada jika umpatan itu keluar dari bibir jantung hatinya. Dia pasrah asal sang pujaan tak menggeleng lemah.

Shara yang masih gemas belum memilih menahan kutukannya. "Tidak salah aku memanggilmu, Minyak Jelantah. Otakmu juga sudah menghitam. Kau racun penyebab tekanan darah meninggi dan penyumbatan di pembuluh darah."

Sansco kembali melakukan gerakan yang sama. Sans bersabar hingga Shara memuaskan kegeraman untuk menistakannya. Telapak tangannya sigap menjerat lengan Shara yang kembali akan melangkah.

Tiba-tiba terdengar embusan napas lelah dari orang asing. Orang asing dengan identitas warga lokal. Jangan tertipu dengan paras, mata dan helai pirang keemasan alaminya. Dia lancar berbahasa nasional dan fasih menuturkan bahasa daerah. Namun dia enggan mengenal percakapan lintas benua.

Lengan si pirang terlipat. "Sekali saja kalian melangkah. Kalian akan menjadi santap siang ikan koi peliharaan penjaga sekolah."

Suratan takdir yang telah tergores pasti akan berputar dalam realita. Hanya selangkah dua pasang tungkai bertingkah segera mengantarkan dua sejoli ini dalam masalah. Masalah unik yang langka berputar dalam dunia nyata.

Bunyi singgungan dua benda berat menghantam permukaan air menyita perhatian para siswa yang tengah melepas penat di taman sekolah. Air kolam meluap membanjiri tepi kolam akibat tekanan tinggi yang mengejutkan.

Kedua insan yang sedang dimabuk asmara dalam benci, sukses berendam cairan kehijauan tempat berkumpulnya puluhan makhluk oranye berinsang. Naasnya, sudah beberapa minggu penjaga sekolah belum sempat mengganti media hidup mereka dengan yang lebih segar.

Seorang pemuda berambut berantakan terbahak hingga harus mendekap perut ratanya yang mulas. Sejenak membiarkan aroma lumut merendam dua sahabatnya mungkin mampu meningkatkan kekebalan tubuh.

Setelah kelelahan terbahak, lengannya terulur di tepi kolam. Jemarinya menyambut sang jelita

"Aku hanya akan memberikan pertolongan untuk si cantik. Si buruk rupa bisa menepi sendiri, kan?"

Sansco menggeram. "Awas kau, Prapto!"

"Ish, Prapto menolongku tapi menertawakanku!" protes Shara kesal.

Paras si pemuda pirang menekuk. "Kalian dengar baik-baik, ya! Aku bukan Prapto! Aku PRADANA ULTINOS!"

Sementara kedua pemuda beda warna siap menggelar aba-aba pertempuran, Shara tetap kalem menyadari tubuhnya yang tak lebih baik dari penghuni danau lumpur. Awan mendung yang sempat menggantung seharian terhempas guyuran air kolam. Prada yang berantakan kemungkinan akan mendapatkan maafnya. Bibir Shara tak berhenti terbahak di tengah-tengah baku tembak kata-kata dua pria.

***