Pemuda pirang bersenandung kecil disertai siulan kepuasan. Langkah kakinya sama girang dengan gelak tawa yang mendadak timbul tenggelam. Kejadian beberapa menit silam masih tercetak tebal dalam ingatan. Putra tunggal pewaris keluarga bangsawan Ken yang selalu dia jaga dari belia, lepas dari pengawasan dan berakhir dalam genangan beraroma ikan.
Barisan gigi rapi yang proporsional mengintip dari balik senyuman si pirang berdarah benua seberang. Prada lebih dari cukup terhibur drama komedi yang selesai beberapa saat lalu. Pelepas penat khas dari kecerobohan tuannya. Bahkan Sansco, anak kebanggaan keluarga besar Ken masih mampu membusung congkak dalam kondisi basah kuyup.
Sementara jas seragam Prada telah mendarat pada bahu Shara sebelum gadis itu menghilang di telan pintu kamar kecil, tubuh kekar sang tuan muda terpahat nyata dari balik kemeja putihnya. Sans yang tak begitu berminat pada jas harus memikirkan kembali fungsi ganda benda tersebut saat situasi darurat.
Prada masih terkikik sepanjang langkahnya menuju perpustakaan sekolah. Apalagi mengingat paras merah darah sang majikan yang siap memotong pendapatannya kapan saja.
Pradana Ultinos, pemuda berhelai keemasan alami sejak raganya menyapa atmosfir bumi. Kulit tan eksotis berpadu pahatan paras eropa mampu menajamkan aura pria sejati. Dia anak sebatang kara yang beruntung dilimpahi kasih sayang oleh keluarga Ken. Marino Ken, kepala keluarga utama memutuskan mengasuh bayi mungil darah daging sahabatnya yang telah pergi menempuh perjalanan akhirat. Begitulah setidaknya pengakuan yang tak pernah tersembunyi dari sang bayi yang telah beranjak dewasa. Pradana Ultinos.
Tak seperti Sans yang dibekali kemampuan dan kemapanan bawaan unggulan sejak dalam kandungan, Prada cukup bersyukur dengan kecerdasan rata-rata orang normal yang dimilikinya. Pembawaannya yang ceria dan santai berbanding terbalik dengan Sansco, si pemikir dalam. Meskipun keduanya tak pernah selaras, Sansco akan menolak jika bukan Prada yang mengawal kesehariannya.
Ayunan sepatu gelap Prada tertahan di ambang pintu perpustakaan. Satu-satunya jalur keluar masuk telah dihadang sesosok tubuh mungil yang tengah melipat lutut.
Prada mengernyit heran. Sepasang iris sebening permukaan lautan tak mampu beranjak dari penampakan kebingungan seorang gadis berbingkai tebal. Tangan gadis itu bersusah payah memunguti beberapa buku yang berserakan mengelilinginya.
Satu buku bersampul hijau lumut mengintip dari balik ujung sepatu Prada. Dia sedikit merendahkan punggung untuk meraih benda yang mengusiknya.
Prada menggeleng kecil heran sembari menghampiri sang gadis sebelum meletakkan buku temuannya pada susunan teratas. Kini lengkaplah buku-buku yang telah nyaman dalam lengan mungilnya.
"Hati-hati, kau menghalangi jalan siapa saja!"
Sang gadis berhelaian satin gelap sebatas pinggang, menengadah takjub. Mata bulat dari balik lensa minus mengerjab beberapa kali.
Bibir tipisnya menyisakan celah yang sedikir lebar. Matanya bergulir mengikuti pergerakan pemuda yang berlalu.
"Terima kasih," ucapnya sedikit bertenaga.
Prada hanya mengangkat bahu tanpa menoleh.
Seorang gadis sawo matang berambut gelombang muncul tergopoh-gopoh dari balik barisan rak buku. Gadis manis berhidung ramping itu menghampiri sang gadis berkaca mata yang telah bangkit dengan susunan buku di kedua lengannya yang terkait.
Si gadis manis meraih sebagian dari tumpukan buku si gadis berkulit pucat.
"Terima kasih, D!"
Si rambut ikal mengangguk pelan. "Kamu baik-baik saja, Hanna?"
Si rambut sepinggang membenahi letak lensa berbingkai gelap yang sedikit menggelincir di pertengahan tulang hidung. "Ada yang menolong sedikit."
"Siapa?"
Sepasang iris kelabu jernih Hanna begulir pada punggung pemuda pirang yang sedang menghampiri rak sudut. Dagu Hanna mengarah pada pemuda tegap itu.
D membungkam bibirnya yang hampir menjerit histeris. "Si tampan Pradana?"
Hanna mengangguki.
Meskipun menolak berteriak, gelombang suara Deborah tetap terdengar menggema hingga menyentuh gendang telinga sang pemilik nama.
Prada menahan langkahnya. Tak lama parasnya berpaling dengan pandangan tak bersahabat. Haluan kakinya bertukar.
"Siapa yang menyebut aku tampan?" Pertanyaan yang penuh geram.
Dahi D berkerut seperti garis halus yang menjadi permasalahan tak lengkang kaum ibu-ibu.
"Siapa?" Intonasi Prada mulai menaiki tangga nada.
D menyambut girang sosok Prada. "Kenapa, Kak Prada? Kakak itu memang memiliki paras yang rupawan."
Prada melipat lengannya. "Aku tidak mau mendengarnya!"
D bersikeras. "Kenapa, Kak?"
Prada mendesah panjang. "Aku belum tampan jika gadis yang aku sukai belum menerima cintaku."
D terpaku. Telinganya seolah berdenging menangkap sebaris kalimat yang keluar dari bibir Prada. D menelan perasaan patah hati untuk pertama kali dalam hidupnya.
"Tapi ... ketampanan dan penolakan perasaan itu dua hal yang berbeda," celetuk Hanna lirih dalam tundukan kepala.
Sebelah alis Prada meninggi. Langkahnya bergeser menghampiri Hanna.
Bulu roma Hanna menegak. Dia tanpa sadar menggigiti ujung bibirnya.
Deborah menelan ludah ketika jejak aroma tubuh Prada tertinggal di lubang hidungnya. Semerbak perpaduan peluh dan citrus. Aroma jantan yang membius angan.
Prada menarik ujung bibirnya. Deborah nyaris berjingkrak senang menyaksikan pemandangan eksotis. Pemandangan yang begitu mudah ditemui dalam angan penulis fiksi. Namun mustahil dalam dunia nyata. Taman bunga musim semi dalam hati D berbanding terbalik dengan kengeringan di mata Hanna.
"Anak kecil tahu apa?" ledek Prada sebelum kembali membentangkan jarak menuju deretan rak.
Hanna menghela napas lega sementara Deborah mendekap Hanna kegirangan. D merasa narasi cerita cinta remaja berpihak padanya.
***