Chereads / Bahagia yang Ringan / Chapter 3 - Kisah Asmara Sahaja 3

Chapter 3 - Kisah Asmara Sahaja 3

Hanna berdiam diri pada permukaan bangku kayu taman sekolah, menunggu keramaian gerbang mereda. Gadis mungil tahun pertama ini tak pernah menanggalkan kaca mata besarnya ketika berada di sekolah. Berkacamata tebal bukan karena murid teladan yang kelebihan dosis bacaan. Namun perasaan malu penyebabnya. Dia canggung jika lawan jenis menatap wajahnya seperti saat istirahat siang di perpustakaan. Pendangan tajam kakak kelas satu tingkat di atasnya, meningkatkan detak jantungnya.

Hanna Kenanga, gadis paling mungil seangkatannya. Rambutnya legam sebatas pinggang dengan poni tipis menjuntai di keningnya. Kulit susunya bercahaya jika ditimpa sang surya. Kedua bola matanya jernih kelabu.

Pandangannya tak berpaling dari tiga kakak kelas yang langganan menyita perhatian seluruh penghuni SMA Budi Mulia Nusantara. Entah penghuni tampak ataupun tak kasat mata.

Titik fokus mata abu-abu berselimut lensa itu, hanya pada si pemuda pirang yang punggungnya terlihat doyong karena terlalu menjulang.

Tampak dua pemuda dan satu ratu mereka terlibat diskusi tak berujung di pelataran parkir roda empat.

Pemuda berambut arang menyelipkan paksa beberapa lembar uang merah dalam telapak tangan si pirang.

Si pirang menaikkan sebelah alisnya, "Eh, apa-apaan ini, Tuan Muda?" tanyanya heran dengan nada meledek.

Si rambut gelap mendesah kesal. "Prapto, silakan pulang naik bis!" balasnya singkat.

Pradana melotot panas. "Wah, tidak bisa kakak bos Sanfransisco! Kakak harus pulang bersama saya!"

Sang gadis berhelai merah menahan tawa. Punggung tangan kuning langsatnya membelai kening Prada sekejap. "Tumben sopan!"

Jantung Prada kehilangan satu detak normal ketika kulit dahinya bersinggungan dengan lembutnya tangan Shara. Rotasi bumi seakan berhenti. Jiwanya nyaris bagai jatuh dalam ketidakseimbangan alam semesta.

Prada mengenggeleng pelan melenyapkan gelenyar unik dalam perutnya, sebelum mencibir Shara. "Dari pada sok perhatian lebih baik perhatian yang sebenarnya."

Shara melipat lengannya. "Ih, tidak ada kabel yang cocok. Ga nyambung booook!"

Sansco menekan punggung Prada pelan. Prada tetap mempertahankan keseimbangan sebelum bergeser dan hampir terjungkal.

Prada memamerkan wajah memelas. Iris biru samudera berkaca-kaca. "Kakak Bos tega sekali. Kalau sesampainya saya dirumah dimarahi oleh Ayah dan Bunda Bos bagaimana?"

Sansco menumpukan sebelah lengannya pada bagian depan sedan terbaru keluaran perusahaan tersohor. Bibirnya hanya bersiul-siul meledek.

"Potong gaji hukuman paling ringan."

Bola mata Prada melebar.

Shara menyinggung lengan Sansco pelan. "Lebih baik kita pulang bertiga saja," sarannya.

Kesabaran Shara telah melampaui teritori. Shara begitu berhasrat menamatkan diskusi tak berbobot yang sedang dialami.

Prada menjentikkan dua jarinya girang. Dia pendukung utama ide jitu Shara.

Sansco menggeleng mantap. Jemari kekarnya membelai jemari lentik di bahunya. "Aku hanya ingin kita berdua."

Merah muda menyembul pada kedua tulang pipi Shara. Parasnya menunduk dengan bibir mengerucut gemas.

Prada berpaling dengan lidah terjulur. Perutnya terasa diaduk oleh kocokan tepung, berputar dan membuat muntah.

Untuk pertama kalinya Tuan Muda Sanfransisco membebaskan pengawal pribadinya sepulang sekolah. Kebijakan sang majikan yang tidak gagal menumbuhkan bibit migrain dalam otak Prada.

Si pemuda bule yang fasih bahasa ibu itu hanya mengusap helai pirangnya menjadi semakin berantakan ketika menyaksikan sedan kalem berlalu membawa dua sejoli pembuat patah hati.

Kepala Prada tertunduk lesu.

Lengkungan Hanna terbit menyaksikan drama dunia nyata. Keunikan perilaku kakak kelas pirang yang tampak seperti komedian dari pada kecemburuan. Terpampang nyata bagaimana si pria mengisyaratkan hati terpendamnya pada sang primadona. Namun roman mukanya jauh dari kesakitan mengetahui mereka bersama.

Hanna asyik dengan tawa kecilnya ketika bunyi berisik terdengar tak jauh darinya.

Hanna menoleh pada ujung bangku sebelahnya. Pemuda yang beberapa menit lalu menyita seluruh perhatiannya, kini mendaratkan punggungnya pasrah pada sandaran bangku.

Pandangan dua pasang mata jernih beda iris itu beradu saat si pria berpaling. Mereka berkelip perlahan.

Dahi Prada mengernyit seolah menguras tenaga otaknya. "Ah, kamu bocah yang tadi siang kerepotan di perpustakaan."

Hanna mengangguk pelan. "Tapi aku bukan bocah, Kak! Kita hanya selisih satu tahun dan aku punya nama."

Prada menengadah menantang langit jingga. "Nama bukan hal penting. Rasanya aku tak ingin mengenal gadis manapun kecuali Shara."

Hanna menggigit bubirnya menahan rasa kecewa. "Oh," sahutnya pelan.

Hening melintas beberapa saat sampai Hanna mengawali kembali percakapan.

"Kakak kenapa suka Kak Shara?"

Prada menopang dagunya. Pandangannya menerawang menembus jingga pengiring senja. Kumpulan warna pengawal sang surya menuju peristirahatan sementara.

Hanna terdiam memasang pendengaran.

"Shara itu cantik. Cerdas dan mandiri. Pandai merawat diri. Pandai bergaya kekinian. Wajahnya selalu tersenyum ceria. Kepribadiannya lincah dan energik."

Hanna hanya mengangguk-angguk kecil hingga tepukan ringan menahan gerakan kepalanya.

"Sudah lama? Ayo, kita pulang!"

Hanna menengadah pada pemuda yang tegak di hadapannya sebelum mengangguk patuh.

Pria berambut cokelat dan berperawakan sedang melengkungkan bibirnya. Parasnya berpaling pada pria yang terdiam pada sisi lain.

"Prada, kamu tidak mengawal Sansco?"

Prada tergagap sebelum menggaruk tengkuknya. "Dia memberi jam libur mendadak."

Si pria rambut cokelat gelombang, menggeleng geli. "Baiklah, kalau begitu kami pulang dulu."

Prada tersenyum kaku. "Hati-hati, Kak Elang!"

Elang memamerkan ibu jarinya.

Elang, memiliki perpaduan gen pribumi dan timur tengah. Kulitnya lebih eksotis dari Prada dengan tulang hidung dan rahang yang tegas. Sepasang iris cokelat muda selalu bersinar tajam di bawah bulu mata lebat.

Elang meraih lengan Hanna untuk bangkit dan mengikuti langkahnya. Keduanya menapaki halaman sekolah beriringan menuju gerbang keluar. Hanna melempar senyum malu-malu untuk berpamitan pada Prada yang hanya terpaku memandang dari kejauhan.

***