Chereads / Bahagia yang Ringan / Chapter 8 - Penjara Cinta

Chapter 8 - Penjara Cinta

Hanna menanti gelisah sosok sahabat dekatnya yang tak juga menyembul dari balik daun pintu kelas XII Sosial. Pemuda dua tahun lebih tua yang selalu mengiringi langkah Hanna setiap berangkat dan pulang sekolah.

Hanna terkesiap ketika tepukan bertenaga mendarat di kedua bahunya. Hanna melonjak lalu membalikkan tubuhnya. Tampak seorang pemuda berbalut setelan serba putih dengan atasan menyerupai kimono. Ada sebuah obi membelit pinggangnya. Sosok yang bari saja menukar jas sekolahnya dengan pakaian khas karate di toilet pria.

Hanna menekan dadanya yang melonjak-lonjak panik.

Si pemuda tertawa meledek. "Kenapa berdiri di depan kelas orang?"

Bibir Hanna mengerucut. "Aku menunggumu, Elang!"

Elang menggosok cepat rambut panjang Hanna. "Sudah aku bilang untuk menunggu di halaman. Aku ada latihan karate di sana."

Hanna menghalau jemari jahil Elang.

Elang meraih kelima jemari kanan Hanna untuk melangkah bersamanya. "Apa boleh buat. Kita bersama saja menuju halaman sekolah."

Bibir Hanna merekah bungah. Kepalanya mengangguk kecil sebelum menyamai langkah elang.

Mereka berceloteh ringan dan saling lempar candaan sepanjang langkah melintasi rerumputan. Hingga ayunan tungkai mereka tertahan saat tiba di tujuan. Puluhan karateka nampak memadati halaman sekolah dengan pakaian kebanggan mereka. Elang meminta Hanna menunggu di tepi halaman sembari menjaga peralatan sekolah Elang.

Elang menarik erat ujung Obi yang terasa longgar. "Menunggu dua jam tidak apa-apa, kan?"

Hanna tersenyum kalem. "Biasanya juga begitu sejak kita di sekolah dasar. Apapun kegiatan di sore hari, aku selalu menunggu."

Elang mengangguk. Tangan jahilnya mengacak rambut panjang Hanna yang dikepang. Mereka murni sobat kental dari taman kanak-kanak. Meskipun berbeda dua tahun, mereka lebih akrab dari teman sebaya. Awal menyaksikan kedekatan mereka, orang awam akan beranggapan sedang menikmati kemesraan sepasang tunangan. Namun semakin lama mereka sadar bahwa kasih sayang keduanya bagaikan keluarga.

Sepasang iris samudera dari kejauhan tak beranjak dari keduanya yang tengah berbagi tawa. Sedikit kesal meyusup dalam benak si pemilik mata biru.

Langkah kaki si biru berayun tanpa diperintah. Mengikis jarak dengan tujuan. Hingga pemuda serba putih bersabuk hitam menutup langkahnya di sebelah sabuk cokelat.

Elang menoleh pada aura yang mendadak terasa di dekatnya. Kepalanya memberi salam khas karateka.

"Sensei," sapanya.

Si pemuda iris biru membalas pelan.

Hanna mengikuti arah pandang Elang. Parasnya berpaling dari Elang menuju aura baru yang terasa akrab.

Mata Hanna membola dan mulutnya menganga. Tubuhnya hanya bergeming dan menelang ludah kering. Retinanya menangkap bayangan seorang pemuda pirang beriris biru tengah melipat lengannya.

"Sen ... sensei?"

Si pirang menaikkan sebelah alisnya. "Ada masalah?"

"Sejak kapan? Bukankah dia satu tingkat di bawah Elang?"

Si pirang mengernyit kesal mendengar seseorang meragukannya.

Elang tersenyum kecil. "Satu tingkat itu untuk akademis, Hanna. Jika di karate dia itu pelatih utama sejak Prada mulai sekolah di sini menggantikan pelatih sebelumnya."

Hanna tertegun dalam ketidak percayaan. "Jadi orang asing yang tidak bisa bahasa as...."

Mulut Hanna terbungkam telapak tangan lebar milik Prada. "Kak Elang, tolong atur barisan!"

Meskipun setengah terperangah dengan kedekatan tak biasa antara Hanna dan sensei muda itu, Elang tetap mengangguki perintah Prada dan berlalu menuju halaman.

Hanna memekan tubuh Prada mundur. "Apa yang Kak Prada lakukan?"

Prada menempelkan ujung telunjukknya pada bibir. Isyarat keras untuk Hanna. Namun Hanna tak mampu menangkap makna gerakan Prada.

Prada menyipit. Raut wajahnya menyerupai penyidik dari kepolisian. "Kamu pacaran dengan Elang?"

Hanna menahan senyuman. "Kenapa? Kak Prada cemburu?"

Prada melotot. "Buat apa? Aku hanya memcintai Shara si primadona sekolah," sahutnya bangga.

Hanna melipat lengannya. "Sudahlah, Kak! Berentilah bersandiwara. Jangan mengatakan kebohongan hanya untuk menutupi hubungan mereka."

Paras Prada mulai panik. "Maksudmu?"

"Kak Sans putra tunggal keluarga tersohor di negeri ini. Mustahil bebas berbuat sesuai kehendak diri. Tugas Kak Prada selain menjaga keselamatannya juga menjaga privasnya. Termasuk menyembunyikan hubungan Kak Sans dan Kak Shara!"

Sebutir keringat membasahi pelipis Prada. "Itu karanganmu saja."

"Karangan atau bukan jika aku menceritakan pada seseorang pastilah...."

Prada memenggal kalimat Hanna yang belum utuh. "Apa maumu?"

Mata bulat menggemaskan milik Hanna jatuh pada iris biru Prada. Paras tak gentar penuh keyakinan. "Jadi kekasih Kak Prada," balasnya.

"APAAAAAAAAA?"

***