Chereads / Bahagia yang Ringan / Chapter 12 - Bersama Diam 2

Chapter 12 - Bersama Diam 2

Hanna menuntun Shara hingga halte tak jauh dari lokasi kejadian. Mereka mendaratkan tulang duduk pada bangku panjang. Keduanya bersisian di atas bangku tunggu halte tanpa adanya penampakan makhluk hidup lain. Hanya bising mesin-mesin kendaraan bermotor yang mampu mengusir senyap di sekeliling mereka.

Senja telah tenggelam menyisakan petang. Merdunya adzan telah berkumandang menadai pergantian hari dengan bersujud menghadap Sang Maha Tinggi. Sang surya telah melambai sampai jumpa saat fajar nanti. Kini sempurnalah kegelapan yang menyelimuti belahan bumi yang mereka pijak.

Shara menepuk bahu Hanna. "Terima kasih atas bantuannya, ya!"

Hanna berpaling pada Shara kemudian mengangguk pelan.

"Lalu bagaimana kalian tahu kalau kami dalam masalah?" tanya Shara yang diliputi rasa keingintahuan.

Hanna terpaku sejenak. Jeda pembicaraan keduanya dimanfaatkan Hanna untuk memproses memori.

"Hm?" Shara enggan menunggu lebih lama lagi.

Hanna memelintir ujung blazer seragamnya. "Sebenarnya awalnya kami tidak tahu. Saat aku pulang bersama Kak Prada, Kak Prada melihat status sosmed Kak Sans."

Shara mengangguk-angguk mendengarkan.

"Kak Sans mengunggah foto pemandangan seberang jalan kafe tempat kalian bertemu tadi." lanjut Hanna.

Shara mengernyit. "Apa Sans mengunggah genk pemadu sorak yang melabrak kami?"

Hanna menggeleng. "Kak Sans hanya mengunggah pemandangan seberang jalan. Namun dari foto soamed Kak Sans, Kak Prada tahu majikannya dalam masalah."

"Bagaimana bisa Prada bisa tahu padahal hanya foto jalan raya?"

Hanna tersenyum misterius. "Itulah hebatnya pengawal pribadi Kak Sans. Saat Kak Prada memperbesar foto tersebut, di tepi jalan seberang tampak mini bus pribadi mewah berwarna pink bergambar unicorn. Saat itu terlihat sang pemimpin pemandu sorak tertangkap kamera sedang keluar dari pintu pengemudi."

Bibir Shara membola. "Prada memang jenius yang penuh tanggung jawab. Tidak salah dia dipercaya keluarga Ken."

Bibir Hanna melengkung bangga. "Kak Prada selalu mengawasi Kak Sans dengan teliti."

Gadis mungil itu memutar penutup botol bekal minum yang baru saja diseretnya menuju udara bebas. Sementara pandangan Shara tak beranjak dari sang adik kelas.

"Jadi benar kalau kamu pacarnya Prada?"

Hanna yang tengah menenggak seteguk air putih dari botol, tersedak hebat hingga sepasang mata abu-abunya berair.

Shara menggosok pungung Hanna. "Maafkan aku! Aku mengejutkanmu, ya?" sesalnya

Hanna menggeleng sembari tesenyum. "Kami rumit, Kak! Aku tidak yakin kami berhubungan asmara atau tidak."

"Bukannya kamu bilang kalian sepasang kekasih saat di parkir mobil siswa itu."

Hanna menggaruk rambut lepek yang berikat karet gelang nasi bungkus. Dia hanya mampu meringis gundah. Entah akan melontarkan jawaban seperti apa.

Hanna beranjak dari bangku tunggu halte. Pandangannya mengembara sejauh jalan raya yang mampu ditangkap retinanya. Entah bagaimana lagi membalas pertanyaan Shara dengan rangkaian kata. Hanna hanya mampu menukar fokus pembicaraan.

"Kak Shara dijemput atau naik bis?"

Shara menyadari Hanna yang enggan menguliti masalah pribadinya. Gadis itu mengikuti pergerakan Hanna dan tegak di sampingnya. "Aku sudah menghubungi supir pribadi ayah."

Hanna memamerkan ibu jarinya.

"Kamu bagaimana? Aku antar, ya!" tawar Shara

Hanna menggeleng pelan bukan berniat menolak kebaikan seseorang. "Hanna mau mengambil sepeda milik toko roti dulu. Sepedanya aku titipkan di rumah pelanggan, Kak!"

Mata Shara melebar takjub. "Kamu bekerja sambilan di toko roti?"

Hanna menggedikkan bahu. "Bagaimana ya, Kak? Hanna sebenarnya tidak bekerja sambilan. Hanya saja membantu sesekali dan dapat uang saku setelah membantu."

"Oh, begitu ya," sahut Shara memulai keheningan di antara keduanya.

Jeda sunyi menjadi pihak ketiga sebelum sebuah mobil penumpang tipe sporty menghampiri sosok cantik berambut merah. Setelah melambai ringan, Shara berlalu bersama kecepatan rendah mobil gelap itu.

Hanna mendesah panjang. Kini dirinya seorang diri berkawankan petang yang semakin menantang. Adzan magrib telah beberapa menit lalu berkumandang. Hanna semakin panik karena waktu sembayang kian berputar menuju penghabisan.

Hanna menyerah dalam asa. Menginginkan seorang pemuda kembali menemuinya dengan kekhawatiran sangatlah mustahil. Hanna hanya akan menatap beratnya kenyataan. Jadwal kedatangan bis yang beberapa menit kemudian bukan hanya harapan. Namun realita sesungguhnya yang tak akan menyakitkan karena terlalu banyak harapan.

Hanna melipat lengannya. "Apa yang aku harapkan dari pemuda itu?" gumamnya bermonolog.

Telapak tangan kanannya memukul pelan dahinya. "Aku benar-benar bodoh! Lebih baik aku pulang naik bis dan besok berangkat sekolah bersama Elang mengambil sepeda di rumah keluarga Ken!"

Paras Hanna berbunga ketika klakson bis kota menyentuh gendang telinganya. Tampak kendaraan pengangkut massal itu menghampiri halte. Sang sopir menepikan armadanya perlahan.

Langkah Hanna tertahan saat hampir menaiki tangga bis. Ada tenaga besar yang mencengkeram lengannya. Mata bening itu berpaling pada seseorang yang menebar kejutan dalam jantung Hanna.

Bola matanya membola menangkap bayangan pria jangkung yang menatap garang padanya.

Si pemuda melambai pada sopir bis mengisyaratkan untuk segera berlalu.

Mereka terpaku dalam jeda yang tak singkat bersama deru gas pembuangan bis yang berlalu. Dua iris beda warna saling melempar tatapan unik. Alat pemompa jantung keduanya bagai tak selaras lagi.

Hanna meluruhkan cengkeraman si pria.

Si pemuda melipat lengannya. "Kenapa hanya Elang yang ada di pikiranmu? Aku tidak suka kamu memikirkan pemuda lain."

Hanna menggeleng. "Bukan seperti itu. Hanya saja Elang sahabatku sejak kami belum sekolah. Selama ini..."

Prada membungkam bibir tipis Hanna dengan telunjuknya.

"Kamu itu kekasihku, Hanna. Kamu membuatku patah hati jika melupakan hal penting seperti itu?" tegas Prada yang masih berbalut seragam seperti beberapa jam lalu.

Hanna terperanjat. "Bukankah hubungan kita hanya sebelah pihak karena keinginanku yang memaksa?"

Prada memicing tajam. Parasnya menghampiri hidung mungil Hanna. "Hanna, apakah kau ingin meninggalkanku? Kau ingin mengakhiri hubungan kita?"

Hanna mengambil langkah ke belakang. Kepalanya menggeleng cepat. "Bukan begitu. Aku hanya tidak mau membebani Kak Prada yang kewajibannya begitu banyak. Aku janji akan menyimpan rahasia Kak Sans dan Kak Shara tanpa imbalan apapun."

"Oh, kalau begitu artinya kita tidak akan pernah putus!"

Bibir Hanna bergetar. "Tapi Kak Prada ... aku ... aku tidak ingin jadi gadis jahat dengan memanfaatkan situasi ini."

Prada melipat lengannya angkuh. "Jadi kamu menolak kesempatan menjadi kekasihku?"

"Bu ... bukan!" sanggah Hanna terbata.

Prada menjentikkan dua jarinya. "Sudah ditetapkan! Kita ini adalah pasangan!"

Hanna menggigiti ujung bibirnya. Peluh dingin mengaliri pelipisnya. Seperti bunga tidur yang membangun rasa tidak percaya.

Prada meraih jemari kanan Hanna. Pria muda itu membimbing sang kekasih menuju sebuah sepeda motor sport besar di bahu jalan tak jauh dari halte.

"Sepeda milik toko roti bagaimana?" tanya Hanna di sela langkah mereka.

"Sudah diantar salah satu staff keamanan keluarga Ken. Jadi kamu tidak perlu khawatir!"

Hanna menghela lega. "Kalau begitu antarkan aku ke toko roti saja, ya!"

Prada berpaling. "Kenapa?"

"Rumahku dekat dengan toko itu. Selain itu aku belum meminta uang saku membantu hari ini"

Prada terbahak ringan sembari mengacungkan ibu jarinya.

***