Mendung pekat bagai menyelimuti empat titik di SMA Internasional BMN. Satu titik menggantung di atas benak Sans, yang kedua melekat pada Shara dan sisanya mengikuti Prada serta Hanna.
Sejak satu bulan lebih setelah perkara tangkap basah oleh ratu sekolah, Sans semakin meningkatkan kewaspadaan di lingkungan tempatnya menimba ilmu. Beruntung sandiwara Prada dan Hanna mengamankannya dari malapetaka.
Sans harus lebih mawas diri akan dinding lorong yang mampu mendengar, barisan rumput taman sekolah yang seolah mengintai dan pilar-pilar bangunan yang seakan meneror. Siapapun akan tunduk pada mulut Beautya untuk menguliti informasi.
Keseharian Sans, Shara dan Prada masih seperti sebelumnya di sekolah. Mereka bertiga sering terlihat berbagi cerita bersama. Prada yang banyak bicara selalu menghadirkan ceria. Dia selalu melontarkan kalimat penghibur untuk dua sahabatnya. Namun hanya Shara yang terpancing tawa.
Sans konsisten membuang muka. Parasnya yang sedatar landasan pesawat terbang, tak menunjukkan gelombang. Sejujurnya Sans tak sanggup menahan tawa. Namun bagaimana dia bisa terbahak menyadari Prada yang terluka di balik canda. Begitupula dengan satu rahasia yang masih membuat Prada bungkam. Sans lebih dari sekedar penasaran. Antara sahabat yang tinggal satu atap seumur hidup mereka, tak pernah berbatas rahasia. Sebesar apa hal yang dipendam Prada hingga resah jika Sans mengetahuinya?
Sans dan Prada duduk berhadapan dengan Shara dipisahkan oleh meja kayu kantin. Akhir bulan kantin lengang. Terlihat hanya beberapa gelintir makhluk berseragam yang menyantap sajian. Contohnya Beautya dan komplotannya, merupakan makhluk-makhluk bergelimang uang yang tak terguncang krisis ekonomi. Namun pemandangan kantin tiga hari lagi akan menyerupai obral pasar sayur karena kalender pasti beralih pada awal yang segar.
"Hanna, kamu semakin cantik saja! Apa aura cantik yang kian menyala karena sedang dekat denga Prada yang mempesona?" gombal Prada mengawali drama.
Telinga Shara berkedut. "Aku Shara, Prapto!" bisiknya.
Beruntunglah volume suara Prada masih terkendali sehingga tak tertangkap pendengaran makhluk selain mereka bertiga.
Prada membungkam bibirnya.
Sans mengulum bibir menolak terbahak.
Prada melirik Sans sinis. "Kenapa? Meledek? Jangan ditahan! Silakan tertawa keras sampai puas!"
Sans menekan dahi Prada dengan satu telunjuk, "Salah sebut nama! Dasar bodoh!"
Prada menggeleng cepat. "Ti ... tidak! Kamu yang salah dengar! Shara memang semakin cantik akhir-akhir ini."
Sans yang geram menyapukan telapak tangan pada permukaan kulit wajah Prada. Sans berharap Prada yang sedikit konslet bisa kembali berlaku normal. Sementara Prada merasa terhina karena terlambat mengelak.
Telunjuk Shara mengetuk meja beberapa kali. "Kita di sini mau mengisi perut jadi hentikan sejenak kegilaanmu, Prada."
Prada menyangga dagu menatap Shara. "Ayo, kita makan malam lagi seperti saat malam yang indah itu." ajak Prada semakin menggila.
Shara melirik Sans yang nampak mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kantin. Ketika tatapan mereka bertemu, Shans menganguk samar.
Bibir Shara melengkung miring sebelum kembali menatap Prada malas. Gadis itu memilih menyejukkan tenggorokan dengan lemon dingin di depan matanya.
Sepasang alis pirang bergerak naik turun. "Bagaimana sayangku, cantikku, manisku?" desak Prada.
Shara mendesah lelah. "Tidak untuk makanan promo akhir bulan harga murah di bawah sepuluh ribuan ."
"Jika Tuan Putri Shara mau menjadi SAHABAT setia, aku akan meyediakan menu istimewa kelas internasional." bujuk Prada.
Shara menyeringai geli. "Sahabat? Bukankah kita sudah bersahabat dari kecil?"
"SAHABAT artinya ... Saya harap bisa terima cintaku!" celetuk Prada nyaring hingga menyentak ketenangan penghuni lain.
Tidak hanya Beautya dan kelomponya, bahkan Hanna yang baru saja menginjak lantai kantin, tercengang. Beutya melirik Prada sejenak sebelum melengos tak peduli. Dia dan pengikut setianya kembali asyik membicarakan keburukan siswa biasa. Beruntung kumpulan penguasa sekolah detik ini tak berulah.
Sans dan Shara menepuk dahi serempak.
Bibir Sans menghampiri daun telinga Prada. "Kau memang bodoh! Kumohon sadarlah," bisiknya jujur.
Sepasang biji mata Shara melotot tak kalah geram.
Sepasang telapak tangan Sans mencengkeram kedua rahang Prada sebelum memutarnya setengah lingkaran.
Tatapan Prada dan Hanna beradu. Sepasang alis Hanna melorot sendu sementara Prada hampir menangis tersedu. Seharusnya bibir Prada direhabilitasi sebelum berkata-kata menghadapi lawan bicara.
Kepala Prada kembali menggelangsar meja. Tulang hidungnya yang tegak dan tinggi memerah perih. Entah mengapa harinya sekacau bekas jejak yang ditinggalkan tornado. Berserakan. Berantakan. Berhamburan.
Sans menyeruput cokelat panas yang masih seperempat cangkir. Butuh energi cadangan untuk mencibir Prada yang enggan pintar.
"Kalau ingin bersandiwara jangan berlebihan. Itulah akibatnya jika terlalu banyak mengikuti drama seri emak-emak." ceramah Sans pelan. "Cukup bicara sewajarnya. Biarkan mereka berasumsi sendiri."
Prada melipat lengannya di atas kepala.
Sementara Hanna tetap bergeming pada pijakannya hingga D menyeret lengan kanannya. Hanna mengelak dari genggaman itu. Dia menolak ajakan sahabatnya.
D mengernyit heran pada Hanna yang mendadak gelisah.
"Maaf D, aku mau ke kamar kecil sebentar. Kamu pesan dulu ya. Aku minta tolong pesan teh dingin saja." ujar Hanna.
D mengacungkan ibu jari sebelum memilih tempat kosong. Hanna bergegas meninggalkan kantin. Matanya tak mampu menahan pedih lebih lama lagi jika menangkap bayangan Prada.
Di sisi lain Prada masih tengkurap pada permukaan meja. Sans dan Shara saling tukar pandang sebelum menatap Prada iba.
Sans menepuk punggung Prada keras. "Lebih baik kembali ke kelas daripada meratapi diri di sini. Bisa malu kami berdua."
Shara menggeleng-geleng pelan.
Prada bangkit dan meluruskan punggungnya. Paras tan tampak kusut kemerahan. Sepasang mata biru memanas. Berkali-kali jemarinya menekan sudut mata seolah menghalau laju air dari sana.
Shara mencondongkan kepalanya. "Prada, kita pergi dari sini!"
Prada masih bergeming. Pemuda itu seperti terpenjara dalam kegamangannya sendiri. Entah suara dari luar mampu menembus kesadarannya atau tidak.
Sans mendesah berat sebelum beranjak. "Kita berpencar ke arah yang berlainan," komandonya.
Shara mengangguk paham. Sebelum beranjak dari kedudukannya, Shara menyempatkan tangannya mengguncang bahu Prada. Namun makhluk aneh itu tanpa reaksi. Saat Prada tersadar, dua sahabatnya telah menghilang. Bahkan aroma parfum keduanya tak terendus lagi.
Prada terbelalak. Tubuhnya beranjak tegak kemudian bergegas meninggalkan bangku kantin. Prada melangkah random. Entah akan kemana tungkainya berlabuh.
Prada berbelok di lorong toilet. Setelah mengguyur kepalanya dengan air segar, Prada merapatkan kembali daun pintu toilet pria. Prada sengaja membiarkan tubuhnya kembali menjelajahi lorong toilet. Iris birunya beredar di setiap sudut menuju toilet wanita. Prada bukan pengintip, hanya pemuda yang retinanya gersang ketika tak menangkap bayangan seseorang.
Prada menangkap sesosok bayangan setelah berbelok dari toilet. Prada mengikutinya setapak demi setapak tanpa deru. Kakinya berayun kalem melintasi deretan ruang kelas X. Hingga sang objek berhenti di depan ruangan paling ujung yang berbatasan dengan tangga lantai dua. Dia menutup langkahnya ketika bersua dengan seorang pemuda
Prada menahan langkahnya di balik tubuh beberapa siswa putra yang asyik bercanda. Raganya tersamar oleh para adik kelas bertubuh lebar.
Prada memutar matanya bosan harus kembali mendengar nama yang sama dilantunkan.
"Elang, mau kembali ke kelas?" sapa Hanna.
Bibir eksotis Elang melengkung. "Iya," balasnya. "Tapi kalau Hanna ada niat mengobrol sambil menunggu bel masuk kelas, aku akan menunda rencanaku."
Hanna menepuk dada Elang singkat. "Elang selalu tahu aku butuh sesuatu."
Prada menyeringai mual. Lidahnya terjulur seolah mau muntah.
Elang menepuk ubun-ubun Hanna. "Ayo, katakan! Apa yang kamu inginkan?"
Hanna menunduk malu. "Aku ingin minta tolong, Elang!"
Prada terpaku dalam persembunyiannya. Kalimat Hanna menamparnya menuju kejadian seminggu yang lalu. Pertanyaan serupa pernah dilontarkan Hanna padanya.
Elang mengangguk.
"Aku benar-benar membutuhkanmu. Aku ingin kamu bersamaku, Elang! Apa kamu bisa memenuhinya?"
***