Shara bermarathon ringan menyusuri setiap sudut sekolah yang telah lengang. Sore yang tenang ditemani semilir udara bergerak. Barisan ruang kelas XII sunyi tanpa penghuni. Tak satupun makhluk bernapas yang berpapasan dengannya.
Kakinya menuruni tangga menuju lantai dua. Tak satupun rekan seangkatan terlihat batang hidungnya. Mana mungkin ada makhluk aneh yang betah mendekam dalam kelas tanpa ada sebab yang nyata.
Kini tungkai Shara menjelajahi lorong ruang kelas X yang berjajar rapi. Bola matanya menembus satu per saru jernihnya kaca jendela ruangan-ruangan itu. Kesimpulan yang diterima tak beda dengan ruangan yang berada dua tingkat sebelumnya. Ruang kelas hanya dihuni udara pengap yang menyesakkan.
Langkah Shara mengarah pada beberapa bangunan yang bersembunyi di balik gedung utama sekolah. Penelusuran bermula dari lapangan tenis yang hanya diselimuti dedaunan kering. Shara harus berlalu dengan menelan pilu. Tujuan berikutnya gedung lapangan basket yang hening. Tak tertangkap gendang telinga satu kalipun bunyi pantulan bola pada lantai. Pembuktian hanya menambah kesal. Shara hanya mendapati kesunyian ketika mengintip ke dalam.
Area kolam renang menjadi bangunan terakhir yang menjadi asa Shara. Langkahnya menghampiri pintu pagar utama kolam renang.
Shara terperanjat. Jemarinya bergetar karena pagar bergeser dari dalam sebelum sempat terjamah.
Shara mengambil beberapa langkah mundur guna memberi ruang pada seseorang yang tengah melintasi ambang pintu. Beberapa saat kemudian muncul sosok pemuda tinggi berbalut kaos oblong dan celana cargo tanggung. Aliran air menetes dari ujung-ujung rambutnya yang menantang gravitasi. Tas punggung gelap menyandar pada bahunya.
Shara menggapai kedua tangan pemuda itu. "Prada, aku mencarimu kemana-mana!"
Prada terenyak menerima perlakuan mendadak. "Sans ada bimbingan latihan olimpiade di perpustakaan. Sedangkan aku baru saja dihukum membantu bapak penjaga sekolah membersihkan kolam renang karena tertidur saat pelajaran fisika."
Shara menggeleng. Bola matanya yang memerah darah menatap Prada.
Prada panik seketika. "Apa yang terjadi, Shara?"
Shara menghambur memeluk dada Prada. Cairan asin tumpah ruah membanjiri kaos santai pemuda itu.
Prada menepuk ubun-ubun Shara. "Katakan ada apa?"
Shara sesenggukan. "Sans ... dia...."
Prada mengurai dekapan Shara dari dadanya. "Katakan! Kenapa Sans? Apa yang terjadi pada Sans? Apa Sans mengalami hal buruk? Dia baik-baik saja, kan?" pertanyaannya meyerbu bertubi-tubi.
Shara mengangguk cepat beberapa kali demi meredam kepanikan Prada yang melebihi emosi Shara.
Prada mendesah panjang. Dia segera meluruhkan sepasang tangan kekarnya dari bahu Shara.
Tatapan Shara menajam. "Kita harus bicara saat ini juga!" ajaknya.
Prada mengangguk tanpa bertanya lagi.
Mereka segera menghampiri bangku besi yang membujur pada satu sisi dinding luar pembatas kolam renang. Bangku santai yang biasa dipadati para penghuni saat istirahat siang.
Mereka mendaratkan tulang duduk pada bagian tengah bangku.
Shara mengawali percakapan. "Apa kamu ada kepentingan setelah ini?"
Prada mengangguk setelah melirik jam tangannya. "Seperempat jam lagi ada bimbingan belajar bahasa asing di seberang sekolah."
Kedua telapak tangan Shara saling meremas cemas. "Apa ada yang kamu tahu tentang Sans yang aku tidak tahu?"
Ada jeda sedikit lama sebelum Prada menjawab. "Banyak!"
Bola mata Shara semakin memanas. "Apa saja itu? Katakan apa yang disembunyikan Sans dariku? Katakanlah yang sejujurnya!"
Prada menaikkan sebelah alisnya heran. "Hal yang disembunyikan Sans?"
Virus heran berbalik menyerang Shara. Dahinya mengernyit.
"Apa maksudmu Shara?" tanya Prada mempertegas.
Shara mencubit lengan kaos Prada. "Tunggu! Apa maksudmu dengan banyak?"
Prada terbahak lantang. "Shara ... Shara, kamu ini sungguh menggelikan. Sans itu cowok dan kamu cewek. Jelas saja banyak yang disembunyikan."
Shara menarik kuat lengan kaos Prada. Mata memerah itu diselimuti amarah.
"Begini...." mulai Prada bercerita sambil merentangkan telapak tangan. "Pertama. Sans itu meskipun seperti pangeran kalau tidur kegantengannya seketika luntur. Mirip kerbau mendengkur hampir terjerembab di sumur. Bisingnya mengalahkan mesin gergaji kayu."
Telunjuk Prada timbul ketika jemari lain tenggelam.
Shara menganga. "Apa?"
Lengan kanan Prada bertumpu pada sebelah kiri. "Ya memang begitu. Kalau aku cerita berarti aku telah menyebar aib majikan."
Shara menggeleng cepat. "Bukan masalah itu! Ada masalah yang lebih darurat!"
Prada menggaruk belakang kepalanya yang masih basah. "Apa lagi, ya?" tanyanya memanggil ingatan diri sendiri.
Shara menanti gelisah.
Prada menjulurkan dua jari. "Yang kedua! Aku tidak bisa menjelaskan karena kalian bukan mahrom! Ini menyangkut fisik Sans yang begitu terlatih dan kekar...."
Shara merengkuh dedaunan kering di dekatnya lalu menyumpal bibir madu Prada. Prada yang tengah membuka suara mengecap rasa pahit sampah organik di lidahnya.
Prada menyemburkan sampah dari mulutnya penuh emosi. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya meninggi.
Shara menyinggungkan dua telapak tangannya. "Siapa suruh bicara mesum?"
Prada beranjak kesal dari duduknya. "Kamu yang lebih dulu bertanya tentang rahasian Sans. Semua yang ada pada laki-laki tak mungkin diketahui wanita kecuali mereka sudah menikah."
Shara mengikuti gerak Prada. "Bukan itu yang aku maksud, Prada!"
Prada menyisir jari pada rambutnya ke belakang. "Lalu apa?"
Shara mengguncang lengan Prada. "Apa benar Sans sudah dijodohkan ayahnya?"
Prada membeku mendengar pertanyaan Shara. Bibirnya bungkam tanpa jawaban. Dia berpikir keras mengatur kalimat yang akan dilempar untuk menjawab. Jika salah, terbongkar sudah.
Shara kembali menuntut balasan. "Katakan, Prada! Apa arti diammu membenarkan prasangkaku?"
Prada menghalau cengkeraman pada lengannya. "Tidak ... tidak! Aku hanya sedang berpikir darimana kamu mendapatkan kesimpulan seperti itu. Bahkan Sans tidak pernah menceritakan apapun. Benar atau tidaknya aku tidak bisa berkomentar."
Pernapasan Shara seakan menyempit seiring desakan air mata yang sukar dibendung. Kepalan tanga gadis itu menggosok bola matanya yang banjir disertai isakan bibir.
Prada belingsatan. "Tenang dulu, Shara! Aku mohon tenang dan ceritakan pelan-pelan!" mohonnya.
Shara menenggelakam kepalanya dalam tundukan. Parasnya bersembunyi dari tatapan Prada yang menyelidik.
"Ceritakan satu per satu, oke!"
Anggukan kepala Shara dipahami Prada. "Baru saja aku melihat Sans dan Beautya berbincang berdua di taman sekolah. Beautya mengatakan dia telah meminta ayahnya untuk membahas perjodohan dengan ayah Sans."
Benak Prada menjelajahi ingatan beberapa malam yang lalu. Prada menjadi saksi pasti atas wacana perjodohan Sans dengan putri seorang teman dekat Marino Ken. Sejujurnya Prada meragu, Beautya merupakan sosok yang menjadi inti pembicaraan dua pria paruh baya saat itu. Intuisi Prada pasti bahwa pemaparan sosok calon jodoh Sans kala itu gadis lain.
"Apa kamu yakin?"
Telapak tangan Shara saling menggenggam. "Iya, sangat jelas."
Telapak tangan Prada menyinggung bahu Shara. "Jika belum ada pengumuman resmi di media tentang pertunangan meraka, anggap saja kamu hanya mendengar kabar angin."
"Tapi Prada ... Beautya merupakan putri keluarga pemilik yayasan pendidikan internasional di banyak kota di negeri ini. Salah satunya sekolah kita. Perjodohan mereka kemungkinan benar."
Prada menepuk bahu Shara berusaha meredam prasangka liar dalam benak gadis itu. Prada yang berharap rengekan sang sahabat mereda justru menghadapi kenyataan yang berbeda. Jeritan kesedihan Shara meledak. Lengan gadis itu menghambur dalam raga Prada. Merengkuhnya tanpa celah.
Air muka Prada tak terbaca. Seharusnya hatinya berbunga bagai tanpa jarak dengan gadis nyaris sempurna seperti Shara. Namun suasana dalam dada terasa datar tiada istimewa.
Lengan Prada hanya menggantung pada dua sisi tubuhnya. Tak terbersit keinginan membalas rengkuhan. Dia hanya menepuk ujung kepala Shara untuk menghibur lara.
Sementara ruangan ekskul tata boga baru saja kosong beberapa menit lalu. Para anggotanya berhamburan menyambut udara sore yang berangin. Dalam hidungan detik sepanjang serambi ruang-ruang ekskul bersih dari hiruk pikuk siswa menyisakan D yang tengah menemani langkah terseok Hanna.
D memandang nanar sang sahabat. Sebelah Kaki putih mulus beralas sepatu dan sebelahnya dibalut perban elastis yang disokong sandal karet.
D menuntun Hanna menepi pada bangku penonton lapangan tenis. Hanna bernapas lega setelah menyamankan tubuhnya pada tempat duduk.
D meraih gawai pribadinya dari balik kantong blazer sekolahnya. Ibu jarinya mulai berselancar pada permukaan kaca yang datar. Niatnya menekan panggilan tertahan pekikan Hanna.
"Kamu menghubungi siapa?"
Pipi dan telinga D bersinggungan dengan gawainya. "Elang, aku ingin dia menjemputmu!"
Hanna menggerakkan pergelangan tangannya. "Jangan! Elang ada latihan khusus untuk menghadapi babak final turnamen karate sebentar lagi."
D menjauhkan gawainya dari pendengaran. "Tapi Hanna...." bantahan D terpotong suara Hanna.
"Aku baik-baik saja! Sudah tiga hari aku beristirahat di rumah. Aku hanya merasa lelah karena gaya jalan yang sedikit berbeda."
D mengurungkan niatnya meminta bantuan seseorang. Dia kembali menyimpan gawai yang telah terkunci pada tempatnya semula.
D menghampiri Hanna. Tangannya terulur.
Hanna menyambutnya. Tubuhnya beranjak perlahan mengandalkan lengan D pada bahunya.
"Kalau begitu kita pulang saja, ya! Aku akan mengantarmu sampai rumah." ajak D "Menemui Kak Prada bisa lain waktu." sarannya.
Hanna menggeleng. "Aku ingin menemuinya dan menyerahkan hasil masakan kita siang ini sebagai rasa terima kasih."
D menyapu dahi Hanna yang berpeluh. "Kau sudah kelelahan Hanna. Kondisi kakimu tidak memungkinkan kita berkeliling."
"Kita tidak akan berkeliling," sanggah Hanna. "Kata teman sekelas Kak Prada, dia sedang berada di kolam renang dihukum membantu pak penjaga karena ketiduran saat jam terakhir."
D mengangguk sepakat. "Baiklah, kolam renang tak jauh dari sini. Kita segera ke sana!"
D membimbing perlahan langkah berat Hanna. Setelah mereka melintasi lapangan tenis, kokohnya gedung basket menyapa penglihatan mereka. Mereka terus melaju meninggalkan gedung basket hingga bayangan dinding pembatas kolam renang terpantul pada retina mereka.
Adegan di depan dinding kolam renang menahan langkah keduanya. Mereka hanya membisu tanpa mampu berkata-kata.
Sekali lagi Hanna tersakiti. Sepasang mata abu menatap nanar dua sejoli yang tengah berbagi rengkuhan. Hingga biru laut si pemuda bertemu mata abu yang penuh pilu.
Biru laut itu membelalak kaget. Hatinya ingin melesat menghampiri Hanna tapi raganya hanya terpasung pada pijakannya.
Hanna menyapu setetes bening yang mengganjal sudut matanya.
Barisan gigi rapi Prada bergemeletuk. Dia geram dengan dirinya yang hanya bisa menorehkan luka pada Hanna.
D menoleh. "Hanna, kau baik-baik saja?"
Hanna mengangguk.
D meraih bahu Hanna. "Meskipun kita hanya mengidolakannya, masih terasa sakit melihat mereka."
Hanna tak menanggapi kalimat D. Tangannya menarik cup puding berukuran sedang dari dalam tas selempangnya. Kemudian memposisikannya di tepi jalan.
Pandangan D mengikuti pergerakan Hanna. "Kenapa dibuang?"
Raga Hanna berbalik memunggungi penyebab sakit hati. "Biar untuk makan malam semut sekampung."
Jawaban Hanna terdengar melucu dengan mimik sendu.
***