Sans merebahkan raganya pada bangku santai di tepi kolam renang dengan dua lengan menyangga rambut gelapnya. Sabtu senja yang damai semenjak mendengar kabar pengajar bimbingan privat membatalkan jadwal hari ini. Setelah menenggak minuman perasan jeruk, Sans kembali mendesah lega. Bibirnya bergoyang mengulum camilan.
Bunyi derap nyaring pantofel menghampiri target yang dituju. Gendang telinga Sans masih terlalu peka untuk menangkapnya. Namun rasa malas mendukungnya tetap bergeming.
Seorang pria dewasa meletakkan tulang duduknya pada tepi bangku santai tempat Sams berbaring. Tepukan tangan kanannya menyentak kesyahduan Sans menikmati senja.
Sans terperanjat. Raganya bangkit dari posisi rebahan.
Sans melengos kesal saat retinanya menangkap bayangan sang ayah tersenyum meledek di depan matanya.
"Kamu lupa dengan agenda hari ini?"
Sans menaikkan sebelah alisnya. "Tidak sama sekali. Namun karena pengajar privat membatalkan janji, bersantai menjadi pengisi."
Marino melipat kedua lengannya. "Ayahlah yang pertama membatalkan les privat hari ini?"
Sans menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa, Ayah?"
Sepasang mata jernih Marino menyipit. "Kenapa katamu? Hari ini adalah jadwalmu makan malam romantis bersama putri sahabat ayah."
Sans mendesah kesal. "Aku pikir ayah melupakannya."
Marino mengulum senyum. "Oke, ayah memang manusia biasa tapi kemungkinan kecil melupakan janji."
Sans menaikturunkan bahunya.
Sang ayah menepuk bahu putra tunggalnya. "Sekarang segera bersiap dengan pakaian yang telah dipilihkan bunda di kamarmu. Pak Mark akan mengawalmu sampai acara kalian selesai."
Sans mendesah panjang. "Bagaiamana kalau Prada saja yang mengantar Sans, Ayah? Kami sama-sama masih remaja. Siapa tahu Prada bisa melelehkan suasana canggung nanti."
Marino membelai dagunya sejenak sebelum mengangguk.
Derap langkah cepat menghampiri perbincangan ayah dan anak. Pemuda pengawal pribadi yang masih cuti itu segera meraih telapak tangan Marino dan mengecupnya khidmat.
Marino menaikkan sebelah alisnya setelah menelusuri penampilan kaos kerah dan jins gelap Prada yang rapi lengkap dengan sepatu casual.
"Ada acara, Nak?" tanya Marino lembut.
Prada mengangguk pelan. "Iya, Ayah Bos! Seperti biasa, karena hari ini ada waktu luang saya membantu di Lecker Bakery."
"Ditunda dulu, ya!" pinta Marino cepat.
Prada menganga. Bibir madu maskulin itu tergagap. Niat raga ingin menolak tapi tak sampai hati bertindak. Prada mustahil berbuat tega dengan membangun kecewa pada permintaan sang ayah asuh.
Marino mendelik tajam pada kegugupan Prada. "Apa kamu keberatan, Prada?"
Prada menggaruk helaian pirang yang terperangkap dalam topi gelap dengan cetakan nama tempatnya bekerja.
"Lalu?"
Prada tersenyum samar. "Hanya saja saya masih dalam cuti, Ayah Bos! Apa ada tugas yang mendadak?"
Marino mengangguk pelan. "Hanya sebentar mengantar dan menemani Sans makan malam dengan putri teman baik saya."
Bola mata Prada berotasi gelisah.
Sans menyeringai licik ketika menangkap kegundahan pengawalnya. "Ayah, dia berat kalau tidak bisa menatap wajah Hanna di tempatnya bekerja."
Marino menaikkan sebelah alisnya. "Hanna?"
Sans tersenyum miring. "Gadis pengantar roti langganan bunda."
Prada mendelik kesal mendengar penuturan Sans. Tangannya yang terkepal terarah pada sudut Sans.
Marino beranjak dari tepi bangku santai. " Saya akan memberikan uang bonus ditambah sejumlah uang pengganti sama seperti gajimu di lecker bakery."
Tawaran menggiurkan yang belum sanggup menggugah minat Prada. Prada mengangguk pelan sebagai sikap hormat pada orang tua angkat yang tak terhitung jasanya.
Sans beranjak dengan tawa kemenangannya. Dia menepuk bahu Prada sebelum berlalu dan menghilang melintasi pintu belakang.
Marino menyusul sang putra setelah mengucapkan dua kata bentuk penghargaan atas kesediaan Prada membantu pewaris semata wayangnya.
Prada memandang sosok Marino yang lenyap di telan lebarnya dua pasang pintu belakang.
"Aku kalah lagi dengan si tengil itu." gerutu si pirang
***
Gelagat abu-abu Sans yang mengambil alih kemudi secara serampangan setelah lima ratus meter meninggalkan gerbang utama kediaman Ken, membangun tanda tanya yang berbuah firasat tak menentu dalam benak Prada. Sans yang telah menyamankan tulang duduknya pada bangku pengemudi, dihadiahi tatapan Prada yang seruncing tombak beracun.
Sans melirik sinis pada sang pengawal sebelum menginjak gas. "Sudahlah, ikuti saja kemauanku!"
Prada melipat lengannya kesal. "Memang sejak kapan aku berhasil membantah?" sindirnya.
Sans mulai mengendalikan kemudi mobil mewahnya menapaki jalanan beraspal. Sementara Prada memalingkan pandangan melintasi kaca buram penumpang depan. Bisingnya kendaraan saat malam akhir pekan tak mengusik bara dalam tubuhnya.
Sans melirik Prada sesekali. "Jika sudah paham posisimu. Jangan bertanya jika aku memerintahkan sesuatu."
Prada memdecih. "Dasar keturunan mandor kerja rodi!"
Sans berpaling angkuh pada pemandangan kaca depan yang semakin tenggelam dalam hitam. Dia bersenandung keras membalas ledekan Prada.
"Kita ke salon langganan bunda dulu sebentar!"
Prada terperanjat hingga merelakan dahi lebarnya dikecup kaca jendela samping mobil sang majikan. Parasnya berpaling pada Sans dengan tatapan murka. Tawa Sans yang tanpa dosa menambah uap panas dalam benak Prada.
Bidikan retina biru itu seliar belati pemburu satwa buas. "Jangan menambah kegilaanmu!"
Bahu Sans meninggi sejenak. "Aku sudah gila maksimal jadi buat apa ditambah? Mendandani si bule Prada masih hal wajar, kan?"
Jantung Prada berdentum keras satu ketukan sebelum terasa kehilangan satu ketukan berikutnya. Irama dadanya bagai bergeming satu detik sebelum melenggang normal.
Prada panik. Sepasang tangannya meraih gagang daun pintu mobil sebelum mendorong paksa pintu penumpang depan. Fakta yang terlupa oleh si pirang. Sekeras apapun upayanya, daun pintu hanya bisa dikendalikan oleh si pengemudi.
Sans terbahak lebar bak pembunuh berdarah dingin.
"Buka! Turunkan aku di sini!" teriak si pirang emosi.
Sans masih teguh dengan tawa kemenangannya yang tak pernah tergeser oleh Prada.
Prada mendesah kesal. Kedua tangannya luruh putus asa. Tubuhnya berotasi menghadap kaca depan mobil. Pandangan hampa menjelajahi lukisan alami gemerlap cahaya kota. Dia hanya bisa pasrah pada skenario gila pilihan majikannya malam ini, malam kemarin dan malam-malam berikutnya.
Firasat buruk menghampiri kehidupan nyata Prada tak lebih dari hitungan jari. Entah bagaimana prosesnya dan Prada enggan memutar otak untuk menyangkalnya. Si pirang telah meninggalkan ambang pintu sebuah tempat memperbaiki penampilan. Seperti sihir yang tak sempat memakan waktu, kegantengan pangeran palsu telah menyembul ke permukaan.
Sans, si pangeran sebenarnya mengikuti langkah Prada percaya diri meskipun berbalut seragam pelayan toko roti yang serba gelap.
Kedua pemuda rupawan, pangeran dan pengawalnya beriringan menuju tempat makan malam mewah yang telah dijanjikan secara misterius. Tempat orang-orang tersohor membuat janji pertemuan itu tak jauh dari salon milik penata rambut taraf internasional langganan Nyonya Ken. Restoran hanya kelas atas bernuansa emas. Mereka telah menginjakkan kaki di ambang pintu kaca utama.
Sans mendorong tubuh Prada menghampiri keamanan penjaga pintu setelah menyodorkan debit prioritas sebuah lembaga keuangan papan atas.
Sans merendahkan letak penutup kepalanya. "Kau menjadi aku!"
Prada menggenggam kartu prioritas dalam telapak kanannya. "Aku tahu bahkan sebelum kamu menjelaskan!"
Sans melipat lengan angkuh. "Bagus, berarti aku bisa menghemat tenaga."
Prada melempar tatapan tajam penuh kebencian. "Oke, supir! Sekarang tunggu di tempat parkir saja." balasnya.
Sans menguap dusta. "Hanya dalam mimpimu! Sekarang pastilah saat berkencan dengan Shara!"
Prada mendelik kaget. Hampir saja bogem mentahnya melayang pada paras pewaris keluarga Ken. Beruntung si tuan muda tengil telah berlalu dengan siulan ledekan.
Prada mengurungkan perbuatan kekerasan setelah pelayan pria membuka pintu kaca dari dalam. Sapaan hangat dan santunnya melunturkan amaran dalam dada Prada.
"Silakan, Tuan Muda! Ada yang bisa saya bantu?"
Prada melintasi ambang pintu sebelum pintu kaca kembali tak bercelah.
Prada mengangguk dan menyodorkan bukti prioritas dalam genggamannya.
Bola mata si pelayan melebar setelah beberapa detik memeriksa kartu prioritas dari si pemuda tampan.
"Anda Tuan Muda keluarga Ken. Maaf atas kelancangan saya." ucapnya sopan.
Prada hanya mampu mengulum senyum dan mengangguk canggung.
Sang pelayan membimbing langkah tuan muda palsu. "Mari, saya tunjukan tempat khusus yang telah dipesan oleh Tuan Besar Ken!"
Prada tak banyak kata. Dia hanya membalas gerakan tubuh sebelum mengikuti arah sang pelayan. Si pelayan muda menutup langkahnya tepat di sebuah ruangan khusus yang terpisah dari pengunjung lain berbatas dinding kaca buram.
Sang pelayan mempersilakan tuan muda memasuki ruangan pribadi sebelum berlalu. "Nona pasangan Anda telah menanti!"
Prada lagi-lagi hanya mengangguk. Sepasang iris palsu menatap hampa punggung pelayan yang menjauh.
Prada menghirup udara sejuk di sekitarnya sebelum mengembuskan perlahan. Setelah hatinya kokoh, langkahnya berdebam melintasi lantai marmer ruang makan malam khusus.
Iris biru yang telah menghitam, menusuk tajam punggung mungil sosok bergaun kalem dan berpenutup kepala lebar.
Topi wanita khas jaman kerajaan menutupi seluruh rambut dan leher sang gadis.
Prada bergegas menggeser tempat duduk tepat di hadapan sang gadis yang masih tak tampak parasnya.
"Selamat malam, Nona!" sapa si tuan muda palsu.
Sang gadis menengadah. Paras yang terlindungi bayang-bayang penutup kepala kini terkuak. Sepasang abu-abu tampak membelalak. Pria yang tercetak dalam retinya berbalut taksedo segelap mata dan rambutnya.
Sang pemuda hanya mampu menahan napas.
Dua suara beda warna saling berbenturan tanpa sengaja.
"Jadi Kak Prada yang akan dijodohkan dengan Kak Shara?"
"Jadi Hanna yang akan dijodohkan dengan Sans?"
Mereka terbungkam seketika. Otak mereka menyelami kalimat yang baru saja terdengar dengan seksama.
Prada meletakkan tulang punggungnya tergesa. "Darimana kamu bisa tahu kalau aku Prada? Padahal aku sudah menyamar."
Hanna meletakkan topi berhias bunga pada permukaan meja. Rambut gelap lembut tergerai menyentuh bahu.
Prada lupa cara mengerlingkan kelopak matanya.
"Aku tak mungkin bisa melupakan wajah Kak Prada meskipun dengan tampilan berbeda," ujar Hanna bersemu merah.
"Berarti kamu diperintah Shara dan aku dipaksa Sans?"
Hanna mengangguk pelan.
Prada menopang dagunya. "Mereka berdua memang sudah dijodohkan. Kenapa kita yang sengsara selama ini?"
Hanna meraih jemari Prada. "Kalau begitu kita beritahukan segera pada mereka, Kak! Mereka pasti bahagia."
Prada meremas tangan Hanna lembut. "Tidak semudah itu, Hanna! Aku sudah menderita karena bersandiwara demi mereka. Saatnya aku membalas!"
Hanna menggeleng tak sepakat. "Kak, tidak baik seperti itu!"
Prada membidik retina Hanna. "Mereka sedang berkencan dengan indahnya sedangkan kita selalu saja menjadi pemeran pendukung yang berkorban untuk mereka."
"Lalu, Kak?"
"Makan malam sudah dipersiapkan untuk kita jadi akan sia-sia jika kita pergi saat ini." lanjut Prada semangat.
"Jadi Kak Prada mau makan dulu?"
Prada menjulurkan ibu jarinya. "So pasti! Kita pesan dan makan sepuasnya! Mumpung gratis! Kapan lagi kita bisa dinner di tempat semewah ini? Paling bagus kita makan malam jatah dari lecker bakery!"
Hanna mengangguk antusias.
"Setelah makan kenyang kita main ke taman hiburan!" usul Prada.
Hari yang disesali karena tugas paksaan menggantikan sang majikan menjelma hari penuh mimpi yang menjadi arti.
***