Prada menggenggam jemari Hanna dalam langkah menjauhi restoran mewah tempat cerita bahagia mereka bersua. Lambung Prada yang telah terisi penuh akan mampu meningkatkan energi menjelajahi taman hiburan malam hari. Hanya menjejakkan kaki santai selama sepuluh menit, sang putri dan pangeran gadungan ini telah menginjak ramainya situasi taman hiburan malam kota.
Riuh rendah tawa anak-anak balita dan bahak ceria anak-anak sekolah dasar memeriahkan malam hangat yang diterpa lembut cahaya chandra.
Prada semakin erat menggengam jemari sang gadis mungil yang senyumnya tak lelah tersungging. Langkah mereka seirama menyusuri setapak demi setapak tanah lapang kering. Gemerlap pelita yang melingkar pada komidi putar, menawan minat mereka.
Prada membimbing langkah Hanna menghampiri wahana kesukaan sejuta umat. Hanna enggan menolak ajakan tanpa penawaran sang pemuda.
"Ayo, kita naik komidi putar. Hanna duduk dalam kereta kuda dan aku yang akan mengendalikan dari depan. Seperti seorang putri dan ksatria!" ajak Prada berkhayal.
Hanna mengangguki dengan rona membakar kedua pipi lembutnya.
Prada membayar dua tiket wahana sebelum menyodorkan pada penjaga pintu utama komidi putar. Dua remaja tanggung dipersilakan menikmati ayunan komidi putar oleh sang penjaga. Setelah dua pasang kaki menginjak aman komidi putar, wahana kembali berotasi santai.
Prada menarik daun pintu kereta kerajaan dan membatu Hanna menyamankan posisi di dalamnya. Kemudian sang ksatria duduk gagah pada singgasana kuda putih.
Penikmat komidi putar yang sebagian besar anak-anak sekolah dasar memandang mereka dengan binar. Bahkan ada beberapa dari bocah-bocah tengil itu yang bersorak-sorai menggoda pasangan ini.
Prada acuh tak acuh mendengar anak-anak bersuara ricuh. Malam ini adalah bahagianya. Anggap saja mereka ada makhluk-makhluk tanpa dosa yang turut bersuka cita mendoakan hidupnya. Kehidupan yang mulai dipenuhi asa dan ragam.
Hanna berbisik dari dalam kereta, "Kak Prada, kenapa perumpamaannya putri dan ksatria? Bukankah harusnya putri dan pangeran?"
Prada menoleh hingga terlihat pahatan elok parasnya dari satu sisi. "Karena aku bukan pangeran."
"Aku juga bukan seorang putri," timpal Hanna.
Kini paras Prada berputar setengah lingkaran. Pahatan tampan menatap Hanna tajam.
Hanna berdebar dalam diam.
"Tapi bagiku Hanna adalah seorang princess."
Pandangan kikuk Hanna turun menyorot alas kakinya.
"Princess gadungan!" tambah Prada kemudian disertai tawa ledekan.
Pipi Hanna menggembung kesal. Jarinya terjulur melalui jendela depan kerata dan memelintir kulit punggung Prada dari balik jas
Prada meliuk kesakitan. "Adaw!!!" jeritnya.
Canda tawa keduanya harus terjeda oleh waktu. Komidi putar telah berhenti sesuai durasi tiket sekali menaiki. Suara anak-anak penumpang lain semakin berdengung berebut turun dari wahana.
Prada menuruni kuda putih tiruan sebelum melebarkan daun pintu kereta cinderella.
Prada menjulurkan lengannya. "Silakan turun, Tuan Putri. Kita telah sampai!"
Hanna yang tak kuasa mengusir rona pada permukaan wajahnya, mengangguk patuh. Sepasang tungkai jenjang meninggalkan bangku kereta dengan anggun. Jemari lentiknya menyambut telapak tangan lebar sang ksatria khayalan.
Siulan dan sorakan menggoda dari bocah-bocah usil kembali mengiringi langkah dua sejoli yang tengah meninggalkan wahana.
Anak-anak nakal itu beramai-ramai menyusul langkah keduanya. Sedikit menggerakkan sendi kaki rasanya perlu untuk mereka agar dapat lepas dari keusilan bocah-bocah belum remaja itu.
Prada dan Hanna berlindung di balik keramaian pengunjung yang antri pada loket bianglala. Mereka sedikit mampu bernapas lega dengan mengatur paru-paru yang memburu. Punggung mereka bersandar pada pagar pembatas wahana bianglala.
Prada menengadah. "Naik ini syahdu sepertinya."
Hanna mengikuti tatapan Prada kemudian menyunggingkan bibirnya.
Prada mengalihkan sorot retinanya. "Bagaimana, Hanna?"
"Aku...." Belum tuntas Hanna memberikan umpan balik, perhatian Prada terusik sesuatu nun jauh di balik punggung Hanna.
Bola mata Prada melebar kala menyadari titik fokusnya menangkap basah dirinya.
Prada meraih pergelangan Hanna. "Aku minta maaf, kita urungkan niat menaiki bianglala. Ada hal yang sangat mendesak!"
"Ada apa, Kak?"
Prada menjawabnya dengan kebisuan. Dia segera menggiring langkah Hanna bersamanya dan menjauhi keramaian.
Hanna tak mampu menyembunyikan kejutan misterius dalam dadanya. "Kita kemana, Kak?"
Prada terus mengayun langkahnya. "Bersembunyi! Tapi entah dimana."
Hanna menahan lengan Prada. Mereka menutup langkah mendadak hingga hampir terjerembab. Dewi fortuna masih menahan gaya tarik bumi hingga kejadian memalukan tak menjadi kenyataan. Yang tersisa hanyalah adegan mendebarkan antara keduanya. Ketika dua pasang mata beda warna saling menyelami.
Prada melempar tatapannya kikuk sambil menggaruk tengkuk.
Hanna mendesah panjang. "Kak ... Kak Prada jelaskan apa yang terjadi setelah aku memberitahukan tempat bersembunyi yang bagus!"
Prada mengangguk sepakat.
"Rumah hantu!"
***
Sans yang tengah menikmati suapan silang dari sang pujaan, seolah mendapat bogem mentah dalam jantungnya setelah menangkap penampakan sosok yang dihapalnya. Suapan es krim dari tangan sang bidadari salah tujuan hingga memasuki lubang hidung si tampan.
Shara mengeluarkan selembar tissu dari sling bag mungilnya. "Maafkan aku, Sans? Kenapa kamu tiba-tiba bergerak?"
Sans menggangguk pelan sembari menikmati usapan lembut pada parasnya.
"Ada apa?" selidik Shara.
Sans mengulum bibirnya. "Aku seperti melihat Prada!"
Shara menaikkan sebelah alisnya. "Prada?"
Sans mengiyakan.
Shara menolehkan tatapannya mengikuti arah retina Sans. Beberapa detik kemudian pandangannya telah menyelami lautan pengunjung. Namun tak menangkap sosok berambut pirang yang ada dalam benaknya.
"Tidak ada." celetuk Shara.
Sans meraih jemari Shara. "Ayo, kita temui!"
Shara menahan genggaman Sans. "Buat apa? Biarkan saja bila itu memang Prada. Ini malam minggu, mungkin dia memang ingin berjalan-jalan."
Sans tampak resah. "Tapi...."
Shara membelai lengan Sans. "Bukankah dia sedang cuti mengawalmu?"
Sans mengangguk ragu. "Aku hanya mengira mungkin dia sedang mencariku. Itu saja!"
Shara menghela napas panjang. "Mungkin memang saatnya kita kembali ke rumah masing-masing."
"Tapi aku masih ingin bersamamu di sini!" tolak Sans.
Mimik Shara yang tersipu begitu menggemaskan di mata Sans.
Sans meremas jemari Shara. "Kamu tunggu di sini! Aku akan menemuinya sebentar untuk memintanya menunggu kita sedikit lebih lama."
Anggukan Shara sebagai penutup percakapan keduanya sebelum Sans berlari menjauh.
Sans berlarian kecil menyeruak kerumunan. Kepalanya berotasi menilik satu per satu pengunjung yang berdesakan. Namun upayanya tak berbuah manis.
Sementara Sans tengah kebingungan menemukan sosok sang pengawal, si pangeran palsu aman dalam suasana seram wahana rumah setan. Prada dan Hanna duduk berdampingan pada posisi terdepan dalam kereta tambang yang mengular pelan. Penumpang di belakang mereka hanya beberapa gelintir saja di gerbong paling belakang.
Saat kereta tanpa atap melintasi pintu masuk utama lorong berhantu, suasana mencekam merangkuh para pengunjung. Penumpang kereta paling belakang mulai menahan napas sebelum menjerit histeris.
Sementara Prada yang masa bodoh pada suasana wahana mencekam tak hentinya bercengkerama dengan Hanna.
"Syukurlah, dia tak menemukan kita."
Hanna menaikkan sebelah alisnya. "Dia?"
"Sans."
Bola mata Hanna melebar. "Jadi kita sembunyi dari Kak Sans? Tapi kenapa?"
Prada mendesah panjang. "Balas dendamku tak akan bisa terwujud jika dia melihatmu. Pasti dia akan mengorek keterangan darimu."
Hanna menggenggam jemari Prada. "Sudahlah, Kak Prada! Kita lupakan saja balas dendam dan mengatakan yang sebenarnya."
Prada menggeleng mantap. "Aku bukan penjahat kejam, kau tahu itu! Aku hanya ingin dia merasakan sakitnya perasaan yang sukar bertemu."
Hanna tak mampu memberi tanggapan.
"Kita harus segera keluar dari taman hiburan. Kamu pulang dan aku kembali ke restauran." putus Prada.
Sosok-sosok makhluk halus palsu yang ingin mendengar teriakan ketakutan pasangan bangku terdepan, pasti menelan kecewa karena terabaikan. Kedua sejoli tengah asyik dengan dunia merah jambu mereka sendiri. Hingga tiba saatnya sosok gimbal berjubah putih mencoba membuat mereka terperanjat. Namun sial baginya mendapat tembakan kemarahan Prada.
Prada menatap tajam sosok gadungan yang tegak di sisi bangku keretanya. "Diam atau gua botakin kepala lo? Ganggu orang ngobrol aja!"
Si makhluk balas mendelik tajam dengan irisnya yang semerah darah. "Kalau pacaran jangan di sini! Di pinggir sungai sana!"
Prada beranjak dari duduknya. "Berani? Minta dibotakin beneran lu?"
Si gadungan menunduk takut karena perbedaan tinggi mereka yang jauh. "Ampun, Mas Bule! Saya pergi! Saya pergi!"
Si gadungan tak lagi membayangi bangku penumpang paling depan. Dia memilih menakuti pengunjung pada bangku belakang yang terlihat mustahil akan membalas perbuatannya.
Dering phonecell Prada menyapa gendang telinga ketika dia kembali meletakkan tulang duduknya. Prada menatap layar datar benda itu malas.
"Kenapa, Kak Prada?"
"Bos Muda!" bisiknya
"Kak Sans?"
Prada menerima panggilan sembari mengangguk kecil. "Ya, Bos!"
Suara Prada terjeda sejenak karena tengah menyelami kalimat panjang di seberang sana.
"Saya? Saya ... saya masih berada di restauran." dustanya.
Sementara Hanna hanya bisa terkikik geli.
Prada tampak menggeleng cepat kemudian. "Tidak, Bos! Saya tidak kemana-mana!"
Prada menahan napas. "Saya sendirian, Bos! Gadis anak teman baik ayah bos sudah pulang baru saja."
Prada meringis kaget setelah terdiam beberapa detik. "Apa? Anda mau menjemput saya?"
Hanna tertular kepanikan Prada. Jemarinya meremas lengan jas sang kakak kelas.
Prada menatap Hanna tenang. Anggukannya menghapus gusar sang gadis.
Prada menghirup udara angker di sekitarnya kemudian mengempaskannya pelan. "Baiklah! Saya tunggu, Bos!"
Tak lama kemudian kereta berhenti. Prada bergegas meraih tangan Hanna lalu meninggalkan kereta dan rumah hantu yang terasa membosankan. Dua pasang langkah mengayun cepat tak beraturan menjauhi taman hiburan. Mereka memacu gerak alat bawah berkali-kali lipat. Suara klakson kendaraan bermotor menghentikan langkah mereka. Sang pengendara menepikan sepeda motornya menghampiri ujung trotoar.
Si pengendara berbalut jaket kulit tebal melepaskan pelindung kepala. "Hanna, apa yang kamu lakukan di sini?"
Genggaman erat Prada dan Hanna terurai.
Si pria gondrong bergelung kecil mendelik tajam. "Kenapa kamu bisa jalan sama dia?"
Hanna dan Prada saling melempar pandangan takut.
"Hanna, bukankah dia kakamu? Kak Hanry?" bisik Prada.
***