Chereads / Bahagia yang Ringan / Chapter 30 - Harap Bukan Sesaat 3

Chapter 30 - Harap Bukan Sesaat 3

Prada memainkan lubang hiasan kunci mobil di telunjuknya. Sebagian sisi tubuhnya bersandar pada sebelah daun pintu kamar. Sepasang iris samudera menyorot malas sosok tuan muda yang tengah memantaskan sepasang sepatu pada kakinya. Punggungnya merendah menjalin sepasang tali hitam. Kemeja putih bersih dan celana bahan gelap membungkus kulit pucat dan tubuh tegap.

"Sudah siap, Bos?" sapa Prada yang tiba-tiba menarik perhatian sang majikan.

Sans menengadah sejenak kemudian beranjak dari sisi ranjang raksasa bernuansa perak. Tungkainya meliuk ringan meregangkan otot dan persendian.

"Kamu akan menyaksikan kompetisiku?" tanya Sans datar.

Prada menggeleng tegas. "Tidak ada tontonan yang bisa menghibur di sana. Apa aku harus menikmati wajah-wajah membosankan yang sedang berpikir masalah perhitungan dan ilmu alam?"

Sans menghampiri Prada. "Sensitif sekali hari ini? Aku hanya meminta diantarkan. Biar Pak Mark menyusulku kemudian."

Bibir Prada mengerucut. "Aku masih cuti dan sekali lagi kamu mengacaukan agendaku hari ini! Sebenarnya ... Aku sudah berjanji mendukung muridku di final turnamen karate."

Sans terbahak. Langkahnya perlahan melintasi dua hal, ambang pintu dan sesosok adam yang enggan beranjak. Sang pengawal setia berbalut celana cargo panjang dan kaos oblong bertulis brand motor besar tersohor. Derap pelan sepatu kets Sans tertahan pada mezzanine. Jemarinya meraih pembatas keemasan balkon dalam lantai dua. Pandangan sendu jatuh pada luasnya ruang keluarga lantai pertama yang penuh perabotan kelas atas berjajar rapi.

Prada menghampiri sang sahabat. Tubuhnya tegak di sisinya.

Sans menurunkan kelopak matanya seolah merasakan nyeri sebab ada beban besar yang menghimpit tubuhnya.

Prada menautkan alisnya. "Kenapa?"

Sans membuka layar matanya. Parasnya berpaling pada Prada. Hanya kebisuannya yang gamang membalas pertanyaan Prada.

Telapak tangan Prada menyinggung punggung majikannya. "Kamu ragu mengikuti olimpoade sains ini?"

Sans menunduk. "Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakan pada ayah."

Derap langkah pantofel menggema teratur pada balkon dalam lantai dua. Bunyi menekan lantai yang terdengar berjeda mampu membekukan percakapan dua pemuda beda pigmen rambut itu.

Kehadiran penampakan lain semakin menggerus jarak dengan keduanya. Si pria dewasa bersetelan jas lengkap menjadi celah antara dua jagoan kesayangannya. Seorang anak kandung pewaris utama dan seorang anak angkat yang sangat dipercaya.

Sepasang lengan kekar berbalut jas merengkuh dua bahu tegap di kedua sisinya.

Paras pria dewasa berpaling pada Sans. "Apa yang ingin kamu beritahukan kepada ayah?"

Prada mengambil dua langkah mundur sebagai sopan santun pada dua orang yang paling disayanginya. Dia berniat melapangkan situasi untuk keduanya saling berbagi kalimat.

"Saya permisi mempersiapkan mobil, Ayah Bos!" pamitnya undur diri.

Marino Ken menoleh dengan lengkung bibir berwibawanya. Sepasang mata bergurat usia itu menyorot sang anak asuh hingga sosoknya lenyap menuruni tangga.

Marino mendekap bahu sang putra. "Ayo, ceritakan apa saja pada ayah."

Sans berpaling pada Marino. "Hari ini ... aku akan mengikuti olimpiade sains, Yah!"

Senyum Marino semakin merekah. Kedua lengannya terulur merengkuh tubuh sang putra. Telapak tangannya menepuk pelan tanda mengirim dukungan.

Sans mengurai pelukan mereka. "Jadi ayah tidak melarangku?"

Marino mengangguk semangat. "Anak ayah jenius dan berbakat. Ayah akan selalu mendukung kegiatan positif kamu. Termasuk olahraga. Jika kamu mau melanjutkan bermain basket di sekolah ayah juga persilakan!"

Sans mendesah lega. "Terima kasih, Ayah!" ucapnya tulus, "Setelah olimpiade matematika dan sains, aku akan kembali bermain di tim inti basket sekolah."

Sepasang telapak kekar Marino menyinggung bahu kanan kiri putranya. "Selama kita masih hidup mempelajari banyak hal adalah kewajiban."

Sans mengangguk. "Baik, Ayah!" patuhnya, "Aku tidak ragu lagi akan belajar di fakultas sains dan tehnologi di London nantinya."

Marino Ken tercenung sejenak. "Sains?"

Sans mengangguk mantap.

Marino menghisap udara di sekitarnya. "Tapi ayah tetap menghendaki kamu belajar di fakultas ekonomi dan bisnis."

Paras Sans tampak menegang sekejap sebelum kembali melunak. "Baiklah, Ayah!" balasnya lirih dengan berat hati menanggapi.

Bibir Marino mengulas senyum lega. Lengannya merentang mendekap tubuh sang putra sekali lagi dan membelai punggung sang putra bangga.

"Ayah tahu Sans anak baik yang sangat memahami Ayah dan Bunda!"

***

Sans menapak ragu lantai serambi lobi sebuah universitas swasta ternama. Universitas yang giat memperbaruhi fasilitas pembelajaran dengan peralatan dan perlengkapan mutakhir. Tempat menimba ilmu bagi jenius yang mampu melintasi seleksi akademis. Ruang bagi generasi penerus para pemilik perusahaan pribadi.

Sans menahan langkahnya di ambang pintu. Prada yang mengikuti langkah Sans di balik punggungnya tersentak hebat dan hampir membentur tubuh sang sahabat.

Prada melipat lengannya. "Kamu sakit? Setelah berbincang dengan Ayah Bos, kamu nampak tidak baik."

Sans memutar tubuhnya setengah lingkaran. "Ada hal yang menggangguku."

Prada memutar dagunya. "Kalau itu masalah gadis yang akan dijodohkan denganmu ... tenang saja, aku yang akan urus!"

Sans menggeleng kecil. "Ini soal Ayah, Pra!"

"Kenapa dengan Ayah Bos?"

Sans memisahkan pengait strap dada tas ransel yang bertengger di punggungnya. "Ayah memintaku memilih fakultas ekonomi dan bisnis tanpa ada penolakan. Aku merasa usahaku mengikuti berbagai olimpiade di bidang matematika dan sains sungguh percuma."

Prada terkikik kecil. "Sans, hadapilah yang sekarang. Sekarang kamu sudah memasuki lokasi olimpiade. Pastilah tim guru dan para peserta dari sekolah kita sudah menanti kehadiranmu di lantai atas kampus ini. Hal yang belum terjadi tidak perlu dicemaskan!"

Sans termenung dalam tundukan sejenak.

Prada menyenggol rusuk Sans pelan. "Kamu ini orang kaya, putra mahkota keluarga Ken! Kamu pasti bisa melanjutkan sekolah ke jenjang paling tinggi sekalipun. Kamu harusnya bersyukur. Di luar sana banyak remaja yang harus banting tulang demi mengumpulkan uang untuk bisa kuliah."

Sans mengangkat parasnya. "Kamu benar! Kamu selalu banting tulang hanya tidak ingin merepotkan ayah."

Bibir Prada mengerucut. "Kenapa aku lagi yang kena?" celetuknya.

Sans terkekeh. Awan mendung yang menggantung dalam benak Sans digeser paragraf penuh motivasi milik Prada.

Kekesalan Prada luntur oleh tawa Sans yang cerah. Sindiran Sans bagai tak ada artinya bila diadu dengan kebahagiaan si rambut hitam itu.

"Kamu itu orang genius yang berduit. Kuliah langsung dua jurusan sekaligus juga bisa. Jangan menyerupai orang susah, deh!" cerocos Prada sedikit kesal.

Tangan kanan Sans terkepal teguh penuh keyakinan diri. "Aku akan berusaha untuk saat ini!"

Prada memposisikan kontak mobil dalam genggaman Sans. "Pak Mark akan menyusul kemari dengan kendaraan umum. Sementara aku akan ke GOR jalan kaki. Aku tidak boleh ketinggalan babak final karate remaja."

"Kenapa? Bukankah di sana sudah ada tim guru olahraga?"

Prada mengangguk. "Benar! Karena aku masih sekolah jadi tidak diikutkan dalam tim pelatih sekolah untuk turnamen itu. Tapi aku sudah berjanji pada Kak Elang!"

Sans menahan tawa. "Janji dengan rival? Menggelikan!"

***

Prada berlarian kecil memasuki kawasan hijau gelanggang olah raga kota yang lestari dan asri. Pepohonan raksasa dibiarkan tegak kokoh memagari area taman GOR kota. Hamparan penghijauan tanaman hias berbaris rapi pada pot permanen yang telah dirancang khusus tiap sisi.

Prada melirik jam tangan gelap pada pergelangannya. Waktu masih pagi. Jarum pendek masih betah pada angka sembilan. Final karate masih akan dimulai satu jam kemudian. Masih ada sisa kesempatan melacak keberadaan Hanna.

Prada melangkah cekatan mengelilingi lapangnya bangunan stadion sepak bola dari luar. Raganya berlatih lari dan pandangannya mengembara kesana kemari di antara ramainya pengunjung yang berlalu-lalang. Keduanya sepakat bertemu di luar gedung stadion. Namun tak ada kabar lagi setelah persetujuan kemarin.

Lari gesit seorang pria dewasa paruh baya yang tiba-tiba mendahuluinya, mengaburkan fokus Prada pada pencarian Hanna. Pria yang terlihat serumpun dengan Prada itu berbalut setelan pakaian olah raga panjang.

Tatapan tajam si mata biru berubah haluan mengikuti pria dewasa menjulang berhelai pirang lembut. Topi maskulin melindungi ubun-ubunnya dan menjaga kerapian helai yang menjuntai hingga perpotongan leher.

Prada menambah laju kakinya. Semakin matanya meneliti paras si orang asing, semakin Prada merasa sangat mengenal sosok itu. Prada sedikit kecewa karena tak mampu mengintip warna mata yang bersembunyi di balik kaca mata hitam.

Prada mengendap-endap di balik punggung si bapak asing. Pemuda ini tetap memperhatikan jarak aman dari rasa curiga target. Prada tak bermaksud kurang ajar. Dia hanya ingin memastikan rasa ingin tahunya.

Prada menahan langkahnya di balik pepohonan rindang ketika sang target berhenti pada bangku taman GOR. Si pria dewasa mendaratkan tubuhnya pada permukaan bangku kayu panjang. Tak lama kemudian dia menenggak seperempat air dari botol di tangannya.

Incaran mata tajam bagai buas pemburu tak lepas dari setiap pergerakan target. Prada semakin memicing kala sang obyek membebaskan kaca mata hitam dari parasnya.

Prada berdebar saat menangkap kilauan warna serupa permata safir dari sang Pria. Irisnya bersinar begitu jernih sebening samudera hindia.

"Siapa orang itu? Aku seolah mengenalnya tapi aku tidak begitu yakin." tanyanya pada diri sendiri.

Tepukan kuat yang tiba-tiba pada bahu Prada nyaris membuat teriakan penderitaan.

***