Chereads / Bahagia yang Ringan / Chapter 31 - Harap Bukan Sesaat 4

Chapter 31 - Harap Bukan Sesaat 4

Prada mencekal pergelangan usil di balik punggungnya dan berniat memutar lengan mungil yang tampak rapuh. Keinginannya urung terjadi ketika rintihan suara lembut menyentuh gendang telinga. Suara lemah yang tak mungkin hilang dari rekaman otaknya.

Prada membalikkan tubuhnya. "Hanna?"

Hanna mengangguk pelan. Bibirnya meringis menikmati sisa-sisa nyeri di pergelangannya. Remaja putri mungil itu nampak semakin menggemaskan berbalut setelan pakaian olah raga panjang yang kedodoran. Helaian hitam dikepalanya dijalin menjadi dua bagian.

Prada membelai pergelangan Hanna. "Maaf, apa kamu terluka?" cemasnya.

Hanna menggeleng yakin. "Hanya merasakan sedikit kekuatan pelatih karate."

Prada mendesah lega. Jemari kanannya mengusap lembut dua ikat rapi di dua sisi kepala Hanna.

Dahi Hanna berkerut menatap Prada. "Kak Prada sedang apa sembunyi di balik pohon ini?"

Prada berpikir sejenak. "Aku...." Prada urung menyelesaikan kalimatnya karena teringat satu hal. Kepalanya berpaling pada tujuan awal. Berharap menemukan jawaban rasa penasarannya. Namun yang tercetak pada retinanya hanyalah hampa. Pria bule setengah baya itu entah kemana.

Dahi Hanna mengernyit menyaksikan kebisuan Prada. Telunjuk dan ibu jari mungilnya bersinggungan di depan tatapan kosong Prada.

Prada tersentak bunyi jentikan ringan yang mampu mengembalikan kesadarannya.

Kepala Hanna miring di depan paras Prada. "Kenapa, Kak Prada?"

Prada menggeleng cepat. "Maaf, tadi aku hanya salah lihat orang saja. Aku pikir kenalanku."

Hanna mengangguk paham. "Kalau begitu kita segera menuju tempat turnamen agar mendapat bangku penonton paling depan."

Prada tersenyum setuju.

***

Final yang jauh dari istilah tenang. Babak paling akhir turnamen karate tinggat sekolah menengah begitu menguras energi dan emosi segala lapisan. Tetesan peluh pengharapan diiringi debar jantung para pendukung. Seluruh makhluk bernyawa yang memadati kursi penonton sesaat menahan napas sebelum nilai terakhir diraih dalam serangan pamungkas. Ketika lawan tumbang seorang juara berusaha tegak menyambut kemenangan.

Hanna beranjak dari bangkunya sebelum melonjak kegirangan. Prada yang tengah ternganga tak percaya pada drama dalam retina matanya, mendapat cubitan beruntun dari Hanna.

Prada mengelak kesal. Lengan kekarnya berusaha menghalau jemari usil sang gadis terkasih. Prada hingga terpaksa harus mengunci sepasang pergelangan mungil Hanna yang usil.

Tatapan tajam Prada menghampiri paras Hanna. "Mau aku peluk kalau tidak bisa diam?"

Hanna segera meloloskan pergelangan tangannya dari terkaman buaya jadi-jadian. Hanna bergegas beranjak dari bangku penonton. Namun lagi-lagi kekuatan tangan kekar pelatih muda itu memasung langkahnya.

"Kamu mau kemana? Acara belum ditutup. Masih menunggu penyerahan piala sebentar lagi." Suara Prada sedikit meninggi agar tak tenggelam dalam lautan sorak-sorai para pendukung.

"Aku tidak sudi dipeluk kadal buntung. Pasti Kak Prada sering pelukan sama pacar-pacar sebelumnya, ya?"

Sekali hentakan lengan Prada, Hanna kembali mendaratkan tulang duduk pada bangku sebelumnya.

Prada menaikkan sebelah alisnya. "Enak saja main fitnah. Aku belum pernah punya pasangan selain kamu."

Hanna mengentakkan cengkeraman Prada hingga terlepas. "Kita bukan pasangan, Kak Prada! Kak, ingat ya! Aku tidak mau dipeluk selain oleh suami!"

Prada menyeringai rubah. "Wah, kebetulan! Ayo, kita daftar!"

Hanna melongo. "Daftar apa, Kak?"

Prada membelai dagunya. "Daftar ke KUA, dong! Kalau ke KUD untuk pinjam biayanya!"

Hanna memelintir daun telinga Prada hingga merintih. "Orang gila!"

Prada tergagap kesakitan. Hati ingin menjerit tapi bibir sekuat tenaga bertahan. Dia tak menginginkan perhatian seluruh pendukung dua kubu menguliti dirinya. Perhatian negatif karena terusik.

Prada menggenggam tangan Hanna lalu memisahkan dari daun telinganya.

"Aku memang gila makanya punya kekasih gila!" celetuk Prada kesal.

Hanna mendelik jijik. "Aku bukan kekasihmu!"

"Memang bukan!" timpal Prada

Hanna mengangguk lega. "Nah, Bagus! Sekarang Kak Prada sudah sadar, kan?"

"Memang bukan rahasia lagi!" lanjut si bule kurang waras kemudian.

Hanna mengeram. "Kak Prada menyebalkan!"

Singgungan keras menimpa bahu kedua sejoli yang tengah bersitegang dalam dunia mereka. Adu mulut yang menggemaskan di mata para pecinta drama. Namun sukses membuat jantung Hanna loncat indah menuju kolam dalam.

Keduanya tersentak hebat hingga tak ada lagi sambung debat seperti sebelumnya.

Mereka memutar leher perlahan. Mereka hanya mampu meringis kikuk mendapati seorang ibu setengah baya tengah melotot tajam. Seolah biji mata hitam bulat kelereng itu ingin kabur dari sarangnya.

Kedua lengan gempal sang ibu bertumpu kesal. "Penutupan acara sudah selesai. Apa kalian masih mau bertengkar di sini?"

Prada dan Hanna menahan napas. Keduanya bertukar pandang hanya melalui ujung mata masing-masing sebelum menelusuri keadaan seluruh ruangan.

Bibir kedua remaja tanggung itu membulat kaget. Dua pasang retina mereka tak menangkap bayangan makhluk bernyawa selain ibu berambut sebatas telinga dan bertubuh lebar itu. Lokasi turnamen yang semula padat oleh sorak sorai penghuni, kini bagai tempat tak terjamah. Lengang.

Si ibu beranjak dari duduknya. "Kenapa kalian hanya bengong? Kalau tidak segera keluar kalian akan dikunci oleh penjaga ruangan"

Prada dan Hanna setia membeku pada tempatnya hingga sosok si ibu melangkah menjauhi mereka dan kemudian lenyap.

Hanna beranjak. "Ayo, Kak Prada! Kita cari Elang dan memberinya selamat." ajaknya bersemangat.

Gerakan Hanna yang baru beberapa langkah harus tertahan. Gadis itu berpaling pada satu-satunya kaum adam yang masih menginjak lokasi tersebut. Dia masih betah bergeming

Dahi Hanna terangkat. "Kak Prada, ada apa?"

Prada menghirup aroma keringat ratusan orang yang tersisa di udara. "Moodku rusak menyaksikan bagaimana antusiasnya kamu pada Elang."

Hanna mendengus. Jemarinya segera meraih jemari kekar lain yang hanya merebah di kedua sisi permukaan celana cargo yang membalut kakinya.

Prada terenyak. Pertahanan diri yang kurang kokoh memaksanya beranjak.

Prada menaikkan sebelah alisnya. "Mau kemana?"

"Keluar dari sini lalu aku akan pulang. Aku tidak mau Kak Prada trauma karena terkunci dalam tempat yang mungkin berhantu ini."

Prada mendekap jemari Hanna lebih rapat. "Bukannya kamu akan menemui Elang?"

Hanna menggeleng tegas.

"Berubah pikiran?"

Hanna menghela napas panjang. "Aku tidak ingin menyakiti seseorang."

Prada terpana. Debar jantungnya yang diatas normal bila bersua dengan Hanna, semakin melaju kencang. Prada yang selengekan bukan berarti menolak peka. Pemuda itu paham benar makna kalimat Hanna.

Suasana menjelma canggung.

Prada menggaruk tengkuknya. "Aku ... aku antar kamu pulang, ya?" Tawaran yang mempengaruhi kesehatan lambung si penanya.

Entah mengapa seperti ada sedikit linu dalam perut Prada. Berbeda dengan perumpamaan pujangga yang jatuh pesona asmara. Pastilah keindahan buaian kupu-kupu yang berotasi dalam tubuh.

"Bukankah Kak Prada menemani Kak Sans?"

Prada menggeleng pelan. "Hanya mengantar saja. Pak Mark pasti sudah mengawalnya."

Hanna mengulum senyum. "Seperti biasa, Lecker Bakery. Aku ingin menambah uang saku."

'"Tak jauh beda denganku!"

Lengkungan bibir tipis Hanna semakin merekah. "Ayo, kita segera berangkat! Jangan terlalu lama di sini!"

Prada mengangguk dalam senyuman yang sukar tertahan. Kata 'kita' yang meluncur lembut dari pita suara Hanna bagai nutrisi yang menyuburkan benih asanya.

***

Kedua tangan Prada saling tergenggam gugup. Pemuda yang telah mengganti pakaiannya dengan seragam pelayan serba hitam itu, berulang kali urung meraih gagang pintu. Jemarinya mengendur setelah hampir menekan gagang pintu.

Prada menghisap udara di sekitarnya kemudian menghempaskan perlahan. Setalah terpaksa memantapkan hati, kepalan tangan kanannya menyinggung daun pintu beberapa kali. Pemuda pirang itu segera mendorong gagang pintu setelah mendengar seseorang menyahut dari dalam.

Arco menyambut karyawannya dengan ramah. Kertas-kertas yang menjadi minatnya segera dirapikan.

"Silakan duduk, Tuan Pra!"

Prada mengangguk sebelum meletakkan diri di hadapan sang manager. Meja kerja menjadi pemisah dua pria itu.

"Terima kasih, Kak Manager!"

Arco melipat lengannya pada permukaan meja. "Ada yang bisa saya bantu?"

Prada menggaruk rambutnya yang menantang gravitasi. "Sebenarnya bukan hal penting tapi...."

Arco menggeleng-geleng. "Ceritakan saja!"

Prada memandang sang atasan sekilas. "Saya hanya ingin menyampaikan bagaimana jika saya menitipkan produk lecker bakery di kantin sekolah. Tentunya dengan ukuran dan harga ekonomis!"

Pria berbalut kemeja pastel dan jas gelap itu memejamkan mata sejenak.

Prada menelan ludah kelu. Detik baru beberapa langkah tapi terasa ribuan jam.

Arco membuka kelopak matanya. "Ide bagus, Tuan Pra! Ide jenius untuk pemburu uang!"

Prada melongo. "Pemburu uang?"

Arco menepuk bahu Prada pelan. "Maaf, saya hanya bercanda. Tapi saya suka ide Anda, Tuan Pra."

Prada takjub pada tanggapan sang manager. "Benarkah?"

Arco mengangguk mantap. "Sebenarnya saya sedang mencari ide untuk pengembangan perusahaan. Setelah mendengar pendapat Anda, saya tertarik untuk mengajukannya pada pemilik perusahaan."

Paras tampan Prada sumringah laksana pelita langit selepas hujan. "Jadi saya boleh memasarkannya di kantin-kantin sekolah dasar hingga menengah?"

Arco terbahak ringan. "Sabar, Tuan Pra! Masalah itu bisa diatur. Bahkan untuk keuntungan akan kami bicarakan nanti. Saya akan berusaha agar usulan ini diterima."

"Lecker bakery untuk anak-anak dan remaja!"

Arco membelai dagunya. "Benar, kita harus mengikuti tren di kalangan anak-anak dan remaja. Khususnya makanan yang sedang diminati."

Prada mengulurkan ibu jarinya.

Sementara Prada dan Arco asyik membahas inovasi dalam lecker bakery, Hanna kebingungan kesana-kemari. Gadis bercelemek putih itu terpaksa melangkah keluar dapur mencari seseorang yang belum tampak aktifitasnya semenjak menginjak tempat kerja. Hari minggu ini manager meminta Hanna membantu ahli masak di dapur. Dia bertugas mempersiapkan segala kebutuhan chef utama.

Retina Hanna menangkap penampakan pria berhelai hitam dan berbalut kemeja krem di meja paling sudut.

Hanna mendesah lega. Langkah menuntun dirinya menghampiri si pria yang tengah menikmati secangkir kopi hitam dan beberapa panganan tradisonal.

Hanna meraih pergelangan kiri si pria. "Aku mencarimu dan ternyata sedang santai di sini."

Si pria meletakkan cangkir pada tatakannya. Parasnya berpaling pada gadis mungil di sisi kiri tubuhnya.

"Maaf, maksud kamu saya?" tanya suara dewasa yang begitu santun.

Hanna segera melerai jemarinya dari kulit si pria dewasa. "Maafkan saya, Tuan! Saya salah orang. Anda begitu mirip dengan teman saya."

Pahatan paras pria itu sungguh menawan. Khas bangsa eropa meskipun rambut dan irisnya serupa jelaga. Gurat usia terukir indah pada kelopak matanya. Usia yang begitu matang semakin mempertajam pesonanya.

"Apa kamu masih sekolah?" tanya si pria ramah.

Hanna mengangguk.

Si pria menikmati wajah polos gadis di hadapannya. "Coba saya tebak! SMA Internasional BMN?"

Hanna melongo. "Bagaimana Anda bisa tahu?"

Si pria tertawa renyah. "Putraku sekolah di sana."

Hanna termenung menyimak.

"Sansfransisco. Biasa dipanggil Sans." lanjutnya.

Bola mata Hanna melebar. "Anda ayah Kak Sans? Anda Tuan Besar Ken?"

Si pria tersenyum lembut. "Mungkin kamu merasa seperti melihat Sans padahal ayahnya."

Hanna kembali termenung. Hatinya tidak membenarkan tebakan pria yang mengaku ayah dari Sans. Retina Hanna memang seolah menangkap bayangan sang pria dewasa sebagai seorang yang dia kenal. Namun bukan Sans melainkan seorang lain yang pernah ditemuinya dalam wujud yang berbeda.

"Maaf, bukan Kak Sans tapi orang lain." lirih Hanna takut-takut.

Marino Ken menutup senyumnya. Suara kalem Hanna masih mampu menyentuh gendang telinganya. Pandangan si pria tiba-tiba menerawang lapisan atap mewah tempat yang dipijaknya. Sebaris kalimat pendek Hanna sedikit mengusik batin dan menabur resah.

***