Tatapan jenuh Sans beredar pada setiap dinding ruangan. Drama menguras kesabaran kembali terjadi setelah berjalannya peristiwa-peristiwa acak masa lampau. Sang pengawal yang menjadi andalannya harus terbaring menyebalkan pada permukaan seprei putih ruang rawat inap. Pergelangan kakinya berbalut sesuatu yang tebal. Namun wajah usilnya tak menandakan penderitaan.
Punggung Prada menyinggung sandaran ranjang. "Sans, aku menginginkan jadwal cuti ditambah." pintanya tanpa enggan.
Biji mata Sans hampir meninggalkan kelopak matanya. "Jangan harap," sahutnya garang.
Shara yang sedari tadi menjadi penonton perselisihan, menguap bosan. Dua pria remaja idola hawa itu selalu bersemangat saat beradu kata. Apalagi jika serbuk amarah menjadi bumbu penyedap situasi.
Prada menggeser tubuhnya kemudian melerai singgungan punggung pada sandaran ranjang. "Apa maksudmu berkata seperti itu? Kamu tidak lihat bagaimana keadaanku? Setuju atau tidak aku tetap akan libur!"
Sans menghampiri ranjang pesakitan sang anak buah. Tulang duduknya mendarat pada tepian ranjang. Tatapan elangnya menusuk tanpa jeda.
Shara mendesah panjang seolah mengusir beban dalam paru-paru. "Sans, biarkan saja Si Model Semprot pestisida ini istirahat lebih lama. Setidaknya sampai membaik."
Sans melempar tatapan lembut pada sang terkasih. Kemudian hanya gelengan ringan sebagai jawaban permohonan Shara.
Prada mengikuti pandangan Sans. "Kamu membela atau menghina?" celetuknya.
Shara menjulurkan lidahnya. "Aku membela tapi tidak mau kamu besar kepala."
"Kalian berdua sama saja!" sewot Prada.
Retina elang Sans kembali berpaling pada Prada.
Prada tak menyerah melawan dengan tatapan serupa. "Mau mengintimidasiku?" celetuk Prada kesal.
Sans menyeringai. "Pintar," sahutnya congkak.
Prada meremas bahu Sans. "Apa kamu pikir aku mampu mengawalmu dan mengendarai mobil dengan keadaan seperti ini?"
Sans menaikkan bahunya. "Tidak."
"Kalau tidak artinya kamu akan bersama Pak Mark selama setengah tahun." celetuk Prada lega.
Ujung bibir seksi Sans terangkat. "Itu juga tidak."
Bibir Prada melengkung remeh. "Apa yang menarik dariku hingga membuatmu terobsesi?"
Bibir Sans melengkung miring. "Karena memberimu banyak tugas sangat menyenangkan."
Prada mendecih. "Apa hebatnya ada pemuda kaya yang terobsesi padaku. Kalau kau lebih memikirkan aku daripada Shara, biarkan aku saja yang akan memikirkan Shara."
Sans melempar tatapan elang. "Apa maksudmu?" geramnya penuh penekanan.
Bunyi benda beradu dengan lantai menyita perhatian tiga remaja yang mengisi sebuah ruang rawat inap. Mereka berpaling pada satu-satunya pintu keluar masuk menyisakan celah separuh lebar pintu. Terlihat seorang remaja putri tengah membatu di ambang pintu.
Ketiga remaja di dalam tersentak dengan mimik wajah berlainan. Gerakan mimik Sans hanya sebatas mengeraskan rahang. Shara menganga lebar. Sementara Prada hampir melompat dari ranjang pasien jika saja rasa nyeri pada kaki tak menghalangi niatnya.
Sang gadis cantik bergegas memunguti kue basah yang berserakan di lantai. Jajanan tradisional yang diborongnya dari kantin rumah sakit itu tampak tercampak pilu. Setelah beberapa kue kembali memenuhi kantong kertas belanja, sang gadis ijin undur diri.
Hanna mengayunkan langkah seribu diiringi teriakan lantang Prada.
Prada menghantam kesal pembatas ranjang rawatnya. "Kenapa kalian tidak bilang dia ada di sini?"
Shara dan Sans saling melirik. "Kamu tidak bertanya." ledek mereka kompak.
Prada memijit pelipisnya.
Sans menepuk bahu Prada. "Harusnya kamu lebih menjaga mulut di manapun kamu berada."
Shara mengangguki. "Kalau sudah menyadari bahwa diri sendiri selalu sial masalah asmara harusnya berhati-hati agar tidak jauh jodoh."
Sans menambahi. "Ayah dan dia yang membawamu ke rumah sakit. Saat ayah kembali ke kantor hanya Hanna yang menemanimu saat belum sadar hingga detik ini. Dia pergi ke kantin untuk membeli camilan."
Prada menggeram kesal. "Aku harus segera keluar dari rumah sakit malam ini."
***
Gedung serbaguna balai kota terguyur air langit mulai tengah malam hingga berakhirnya fajar. Aroma khas air yang mendekap permukaan bumi menjadi pengiring langkah para pengunjung yang telah memadati. Sebagian besar dari mereka para remaja berbalut seragam almamater masing-masing sekolah. Turut hadir para pembimbing peserta yang siap dengan dukungan dan harapannya.
Hanna dan pasukan juru masak remaja SMA BMN telah berjajar rapi dalam balutan warna almamater sekolah dan celemek bersih yang melapisinya. Semua tampak tenang kecuali Hanna. Retina gadis itu resah karena tak menangkap sosok satu-satunya adam dalam regunya.
Sentuhan lambut pada bahu Hanna gagal mengusir gundah hatinya. Gadis itu tampak sibuk dengan carut marut kalbunya sendiri hingga seseorang di sisinya harus menekan bahu mungil itu.
Hanna masih bergeming.
"Anggota laki-laki kita pasti datang," yakin Marco.
Hanna tak menanggapi. Dia masih dirundung bimbang hingga aba-aba kompetisi memasak remaja tingkat sekolah menengah terdengar. Kelompok SMA BMN pasrah pada peraturan yang menahan niat mereka. Mereka hanya bergeming karena tak dipersilakan unjuk gigi sebelum seorang adam melengkapi.
Hanna, D dan Marco hanya setia memandang sususan alat masak dan barisan bahan makanan selama setengah jam. Seluruh tim peserta telah melalui hampir setengah proses pengolahan.
D menghampiri telinga Marco. "Waktu kita tersisa satu jam. Apa siapapun tidak akan ada yang datang?"
Marco meremas rambut pendeknya. "Semua rumit. Aku tak tahu harus berbuat apa." keluhnya pelan.
Hanna melempar pandangan pada dua rekannya. "Apa tidak ada yang tahu kemana Elang pergi?"
D dan Marco saling bertukar pandang. D mengernyit heran sementara Marco bergerak gelisah.
Mata D menelusuri pahatan wajah Hanna yang lugu. "Kamu belum tahu kalau anggota kita sekarang itu...."
Marco membungkam bibir D dengan tangan kanannya yang semerbak terasi. Sepasang kelopak mata Marco bergerak naik turun beberapa kali.
Marco mengibaskan tangannya setelah mendapat serangan balasan dari gigi D yang mengerat. Gadis maskulin itu meringis kesakitan.
Hanna meraih lengan D lembut. "Apa maksudmu?"
Bola mata D membelalak. Retinanya menatap sejurus di belakang punggung Hanna melintasi lehernya.
Hanna mengernyit heran. Parasnya berpaling pada seseorang di balik punggungnya. Seorang pemuda jangkung berambut keemasan tengah berjuang menapaki langkahnya. Sebuah alat bantu berjalan terhimpit di salah satu lengannya. Lengan lainnya melambai ramah memberi sapaan.
Bibir Hanna bergetar. "Kak Prada?"
Laki-laki pirang memandang lembut Hanna. Tubuhnya berbalut seragam tim SMA BMN. Prada tertatih menghampiri tim memasak sekolahnya. Bibirnya berupaya mengulas senyum. Namun hanya seringai kesakitan yang tertangkap retina Hanna. Rasa bersalah seketika menyergap diri Hanna.
Marco berbisik. "Kami ingin menyampaikan padamu tapi tidak bisa. Aku takut kamu menolak pengganti Kak Elang."
Mata Hanna berkaca-kaca.
D menambahkan. "Malam ini jadwal keberangkatan Kak Elang ke Jepang. Dia mendapat tawaran sekolah di sana karena prestasinya di Karate. Jadi Kak Elang meminta Prada menggantikan posisinya di tim kita. Kemarin Marco dan Kak Prada menemui Kak Elang sepulang sekolah untuk membicarakan ini."
Hanna tertegun. Kesalahan mencerna keadaan mengakibatkan kefatalan. Entah mengapa jatuh hati pada Prada begitu rumit dan sempit. Hari-hari Hanna selalu didominasi drama ambigu yang berbeda dari dunia nyata. Hanna tak pernah lepas dari denyutan nyeri hati. Entah cemburu atau tersinggung.
Marco menepuk bahu Hanna ringan. "Jangan khawatir. Apa yang kamu lihat kemarin tidak seperti yang kamu pikirkan."
Tangan Kanan Prada mengepal. "Ayo, kita berjuang bersama."
Seorang panitia kompetisi menghampiri tim Hanna. "Kalian sudah lengkap sesuai peraturan kompetisi. Silahkan segera mengejar ketertinggalan!"
"Terima kasih, Pak!" sahut mereka serempak.
Tim SMA BMN beredar sesuai tugas individu. D cekatan dengan bumbu-bumbu rempah sementara Marco bersiap dengan pisau raksasa entah untuk apa.
Hanna masih terpaku pada pijakannya. Dia memandang Prada sendu.
Prada mengulas senyum tipis. "Jangan menatapku seperti itu. Setelah semuanya selesai kita akan membicarakan sampai tuntas."
Hanna menggeleng. "Bukan itu ... aku hanya merasa berdosa di sini. Maaf, karena aku kamu menjadi seperti ini. Kak Prada baik-baik saja?"
Prada mengangguk yakin. "Aku tidak menyalahkanmu. Aku sudah lebih baik."
D menyiku lengan Hanna. "Ayo, kerja! Kerja!"
Hanna mengangguk-angguk. Meskipun benaknya masih linglung, dia dilarang menyerah pada perasaan dan keadaan.
D melirik Prada. "Kak Prada bagian plating."
Prada memamerkan jempol kirinya.
Hanna meraih bagian kanan tubuh Prada yang ditopang alat bantu jalan. "Kak Prada, aku boleh menemani kakak pulang nanti?"
Prada menahan tawa bahagia. Sesaat kemudian kepalanya bergerak vertikal.
"Aku juga ingin mendengar tentang Elang. Kenapa dia akan pergi tiba-tiba tanpa memberi cerita," lanjut Hanna.
Bahagia Prada tak berlangsung lama setelah mendengar sebuah nama pria keluar dari bibir Hanna. Prada kembali mengangguk kali ini dengan berat hati.