Prada melintasi ambang pintu kelas beberapa saat setelah bel istirahat berdering. Penghuni kelasnya yang kelaparan telah berhamburan memadati lorong lantai dua hanya menyisakan Sans yang masih setegak monumen nasional di bangkunya. Raganya beradu pandang dengan tumpukan materi sains yang menggunung. Namun sepasang iris arang hanya terpejam. Dia tak terlelap hanya menghalau penat.
Pengajar bahasa internasional Mr Irvance menahan langkah Prada yang telah menyentuh lantai lorong kelas XI.
Prada menoleh setelah nama lengkapnya selesai diteriakkan. Tubuhnya memaku pada pijakannya. Debar kecil membangun kepanikan dalam dadanya. Apakah ada prahara penurunan tajam lagi nilai bahasa asingnya kali ini?
Mr Irvance bergegas menyusul Prada.
Prada hanya setia bergeming dan menggigiti tepi bibirnya. Sepasang biru laut beredar gelisah. Seolah menantikan putusan hakim mencetuskan vonis.
Mr Irvance menepuk pelan bahu Prada. "Saya sangat menghargai jerih payah anda kali ini."
Aura lega berhembus segar menerpa raga Prada. Namun si pemuda pirang belum peka. Bibir Prada hanya menganga disertai mata yang membola.
Mr Irvance terkikik kecil. "Prada, segera enyahkan mimik wajahmu yang seperti melihat tukang tagih kredit. Aku tidak sedang menghakimimu karena telat bayar."
Prada tergagap. Dia menggaruk tengkuknya salah tingkah.
"Saya bangga pada Anda Pradana Ultinos. Nilai ulangan harian bahasa inggris dua bulan ini terbaik kedua setelah Sans."
Prada terpana. Detik ini mimik kebingungan berganti senyum yang terkembang. Aura ringan alam sekitar merasuki seluruh tubuhnya.
Prada meraih tangan Mr Irvance kemudian meletakkan khidmat menyentuh dahinya.
Mr Irvance menepuk bahu Prada ringan. "Akhirnya wajah bule milikmu yang tampan mampu berbahasa asing."
Prada terkikik kecil. "Semua berkat Mr Irvance yang tak pernah lelah mengingatkan saya. Sementara ini saya hanya memahami materi sekolah. Perihal percakapan, saya masih kaku. Tapi saya akan terus berusaha. Saya sangat berterima kasih pada Anda."
Pengajar bahasa asing mengangguk pelan. "Kamu bisa mengikuti ekskul salah satu bahasa asing favoritmu. Di sana kalian akan saling bertukar ilmu dengan para senior."
Bibir Prada semakin merekah. "Terima kasih, Mr Irvance! Saya akan mempertimbangkannya."
Bibir Mr Irvance melengkung bijaksana sebelum berlalu berlawanan arah dengan Prada.
Tubuh Prada menepi pada dinding luar kelas. Punggung lebarnya bersinggungan dengan lembab aroma cat tembok. Jemari kanannya mengaduk saku jas gelapnya hingga mengeluarkan sebuah barang bekas dari sana.
Prada terpaku pada benda bening menyerupai tabung dan berhias goresan halus di beberapa sudutnya. Wujud cup itu tak lagi mulus. Mungkin karena beberapa hari menghuni saku jas Prada yang sesak.
Sosok lain mengikuti. Punggungnya membelai pelan dinding yang sama tepat di sisi kanan sang sahabat. Prada menoleh sejenak pada pria rupawan bersurai legam sebelum kembali menekuni lamunannya.
Sans melipat lengannya. "Kenapa menyimpan rongsokan?"
Prada membalas sang sahabat dengan bungkam.
Sans menyinggung rusuk Prada. "Ayolah, kawan! Jangan mencuri karakterku."
Prada menahan kapasitas paru-parunya yang terasa sempit kemudian menghepaskan karbondioksida perlahan.
Sans mengernyit heran. Prada si tukang melawak mendadak sedingin kutub utara. Kehangatan auranya yang selalu menjadi magnet makhluk bernyawa, tiba-tiba sirna.
Prada membelai sudut matanya. "Aku tak mampu menahannya jika menjawab."
Si pirang menjauhi dinding dan bersiap berlalu. Namun cengkeraman Sans mengurungkan langkah Prada.
Prada melirik lengannya sejenak sebelum menggeser arah pandangnya pada si pelaku.
Sans melonggarkan jemarinya pada lengan Prada. "Maaf! Aku paham kamu ingin sendiri."
Prada mengangguk pelan sebelum mengayunkan langkah tergesa di sepanjang lorong lantai dua.
Sans menatap nanar punggung tegap sahabatnya yang semakin samar dan menghilang setelah menuruni tangga.
Sementara di bagian lain sekolah, Elang membimbing langkah Hanna menghampiri bangku taman tengah. Taman pusat sekolah yang di kepung bangunan pendidikan bersusun tiga. Kemudian dia menuntun raga mungil Hanna pada posisi nyaman di atas permukaan bangku besi. Tak ada makhluk kasat mata selain mereka di taman tengah. Jarang yang melepas penat pada taman itu. Alasannya sinar surya yang tanpa perisai langsung menghangatkan makhluk yang berdiri di sana. Kehangatan yang tanpa jeda akan menjelma keganasan sinar siang.
Elang meletakkan tubuhnya di sisi Hanna tanpa celah. Terik mentari seolah telah menjadi karib baik keduanya.
Pemuda manis itu menunduk, mengamati ujung sepatu pantofel hitam. "Hanna, aku minta maaf! Beberapa hari ini kamu mengalami kesulitan karena aku."
Hanna menghempaskan napasnya pelan. "Tidak! Itu tidak benar. Elang sibuk mempersiapkan pertandingan final dan aku memaksamu membantu di ekskul tata boga."
Elang melipat kedua lengannya. "Aku juga melakukan satu kesalahan lagi meminta tolong pada Prada sore itu."
Hanna menoleh kemudian menolak pernyataan sesal Elang. "Elang dan Kak Prada hanya berniat membantu. Aku tak menyalahkan kalian. Mungkin memang Marco terlalu bersunguh-sungguh hingga abai akan keselamatan kelompok."
Elang memijit pelipisnya. "Kalian sama-sama penakut berani-beraninya menjelajah makam malam-malam."
Hanna tersenyum lembut. "Kami tidak akan melakukan itu lagi. Karena kami sudah diijinkan mengambil bahan kapan saja."
Jemari Elang menyinggung pelan bahu Hanna. "Syukurlah! Sepertinya aku bisa menemani kelompokmu di kontes memasak remaja. Karena turnamen karate diadakan seminggu sebelumnya."
Sepasang mata abu Hanna berbinar penuh asa. "Aku senang mendengarnya, Elang!"
Iris cokelat cerah Elang melirik penunjuk waktu dalam pergelangan kirinya. "Waktu istirahat masih lumayanlah...." celetuknya. "Aku akan membeli minuman dingin sebentar di kantin."
Hanna mengangguk pelan. Bola mata abunya beredar mengikuti pergerakan Elang yang beranjak dari duduknya. Pemuda itu melambai ringan sebelum bergegas menghampiri serambi gedung sekolah dan lenyap ditelan tikungan.
Hanna menikmati dekapan hangat terik mentari. Kedua kelopak matanya menyipit menahan kilaunya yang benderang. Para siswa masih berlalu-lalang di taman yang mengelilingi halaman sekolah. Beberapa dari mereka tengah bercanda dengan sahabat dekat dan beberapa lain adu kecepatan langkah dalam tawa.
Hanna tak kuasa menahan senyuman ceria.
Bunyi gesekan alas kaki dan rerumputan pendek mengusik keasyikan Hanna. Paras Hanna menoleh belakang bangku taman.
"Elang, kamu sudah kemba...." kalimat Hanna terpenggal sebelum sempurna. Bibirnya merapat ketika retina menangkap penampakan lain.
Pemuda jangkung bersurai emas menahan langkahnya sejenak. "Boleh aku duduk di sana?"
Hanna menahan napas. Matanya mengikuti arah telunjuk sang pemuda pada celah kosong tepat di sisi Hanna.
Bibir Hanna bergetar. "Ta ... tapi...."
"Hanya sebentar." ujarnya singkat meyakinkan.
Hanna mengangguk ragu.
Si pirang melangkah pelan menghampiri celah kosong di sisi Hanna kemudian menyamankan tulang duduknya pada permukaan besi.
Aroma segar cologne pria menerobos indera penciuman Hanna. Gadis itu hanya mampu menekuri rumput pendek di bawah alas kakinya.
Pandangan Prada menerawang. "Aku tidak lama."
Hanna mengangguk dalam diam.
Prada memalingkan parasnya pada gadis di sebelahnya. "Aku hanya ingin berterima kasih sudah dibuatkan makanan kemarin sore."
Kening Hanna mengernyit "Tapi aku tidak memberikan apa-apa."
Prada terkikik kecil. "Maaf, maksudku aku mengambil jatah semut di pinggir jalan. Tapi bukan berarti aku menyakiti mereka."
Dahi Hanna semakin berkerut.
"Aku menyingkirkan sahabat-sabahat kecil yang sudah kekenyangan. Dari pada para pasukan kecil itu sakit perut lebih baik aku ambil bagianku."
Hanna tertawa kecil mendengar penjelasan kekanakan dari Prada.
Prada mendesah panjang. "Rasanya sudah lama ya, sejak kamu bisa tertawa seperti itu."
Hanna mengulum senyum.
Jemari Prada merengkuh tangan mungil Hanna. "Ada yang harus aku luruskan."
Dada Hanna berdentum layaknya biji meriam yang diluncurkan. Jemari mungil yang berkeringat dingin segera mengelak dari remasan lembut Prada.
Hanna terbata. "Ten ... tentang apa, Kak Prada?"
Kecewa menyentil jantung Prada. Dia segera menyembunyikan tangan pada saku celana.
"Tentang apa yang kamu lihat sore itu di depan pintu pagar kolam renang sekolah."
Hanna membola. Kepalanya segera menggeleng. "Tidak perlu, Kak! Apapun kenyataannya tak berhubungan dengan aku."
Prada bersikeras. "Tapi aku merasa kamu harus tahu."
Hanna tegas menolak. "Jangan mencoba membangun asa lagi, Kak Prada! Kita tidak ada hubungan apa-apa. Selama ini perasaanku hanya satu sisi. Kak Prada tak pernah mengungkapkan apa pun dan seolah-olah menyediakan harapan yang luas."
Prada menyapu peluh yang mengaliri wajahnya. "Aku merasa harus mengatakannya meskipun kamu tidak mau mendengar lagi."
Sepasang tangan Hanna tergenggam penuh amarah. Sekuat tenaga raganya beranjak dari bangku taman dan berjingkat-jingkat meninggalkan Prada tanpa kata.
Prada terenyak. Tubuh tingginya bergegas menyusul Hanna yang kepayahan dengan kaki belum pulih sempurna.
Tiba-tiba langkah Hanna gagal mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Raga mungil itu terpaksa menggelangsar permukaan rumput kering dan mendekap kerasnya bumi.
Prada bergegas mengulurkan bantuan. Sepasang tangan kekar menahan bahu Hanna agar sang gadis kembali tegak. Namun kibasan tangan Hanna menghalau pertolongan yang dihadirkan.
"Tinggalkan aku, Kak Prada!" jerit Hanna.
Prada mengabaikan penolakan Hanna. "Aku tidak bisa membiarkanmu!"
Derap langkah tergesa terdengar semakin nyaring di telinga. Pemuda hitam manis segera membangun celah antara dua manusia yang berseberangan frekuensi.
Uluran tangan Elang disambut cepat oleh Hanna. Pemuda itu berupaya menahan berat raga Hanna dalam bahunya.
Prada memandang nanar keduanya. "Aku hanya ingin membantu tapi Hanna menolak."
Elang menggangguk pelan. "Tidak apa-apa, Prada! Aku mohon jangan dimasukkan dalam hati. Mungkin Hanna masih trauma dengan kejadian yang melibatkan si ratu pemandu sorak. Dia masih ketakutan berada dekat denganmu saat di lingkungan sekolah."
Prada mendesah berat "Iya, Kak Elang benar." sahutnya.
Hanna hanya mampu menyembunyikan parasnya dalam tundukan dari balik rambut gelapnya hingga keduanya berlalu meninggalkan Prada yang terpaku.
Prada memijit tulang hidungnya yang nyeri. "Hanna, andai kamu tahu sebenarnya aku juga terluka."
***