"Aku benar-benar mebutuhkanmu! Aku ingin kamu bersamaku, Elang! Apa kamu bisa memenuhinya?"
Elang menganga. Bibir maskulin itu bergetar. Kebahagiaan menggerakkan dua sudut bibirnya ke atas. Jiwanya bagai melayang dalam lautan merah jambu. Sementara itu, Prada beranjak perlahan dari persembunyiannya. Langkahnya menjauh tanpa paling. Adegan dunia nyata dalam retinanya terlalu menyesakkan paru-paru.
Hanna menepuk bahu Elang kesal. "Masih butuh waktu melamun?"
Elang menggeleng pelan, jiwanya kembali menyapa raga. "Aku mau, Hanna! Aku mau hidup bersamamu selamanya?"
Mata Hanna membola. "Hidup? Hidup bagaimana?"
Elang menggaruk pelipisnya kikuk. "Bukannya kamu ingin menjadikan aku ... maksudku sekarang kita pa...."
"Benar!" potong Hanna cepat, "Sekarang kita partner. Jadi kamu setuju untuk membantu kelompok ekskul tata bogaku, kan?"
Mulut Elang menganga. "Membantu kelompok ekskul tata boga?" beonya.
Hanna mengangguk yakin. "Iya, aku ingin Elang bersamaku dan teman-teman lain mengikuti kontes memasak!"
Elang menelan ludah dalam kerongkongan yang kering. "Apa tidak salah kamu mengajakku? Aku tidak bisa memasak!"
Hanna tertawa lebar. "Tidak apa! Elang hanya pelengkap saja."
Elang melipat lengannya. "Tapi aku juga ada ekskul karate. Latihan kali ini lebih sering karena akan menghadapi babak final."
Hanna menepuk bahu Elang. "Tenang saja, Elang! Kamu hanya terlihat saat kontes saja."
Elang berat menerima tawaran Hanna. Fokusnya hanya pada final turnamen karate antar sekolah tingkat kota dua bulan lagi. Namun dia enggan menolak permintaan Hanna yang terdengar sangat memohon. Elang tak sampai hati menyaksikan sahabatnya kebingungan.
***
Marco melonjak kaget menyambut penampakan Hanna yang muncul dari balik barisan pohon pisang. Panganan pisang kipas krispi yang menyumpal bibirnya terpaksa berhamburan menerpa udara senja. Jantungnya yang tenang terusik penampakan yang mengejutkan. Rasanya alat pemompa darah itu ingin melarikan diri dari markasnya.
Langkah Marco mundur cepat dan tertahan batang kambium pohon mangga.
Hanna menganga menyaksikan tingkah Marco. Tangannya bergegas menahan lengan Marco agar raga jangkung itu tak berpelukan dengan permukaan bumi.
Hanna menepuk pelan punggung kaos gombrang Marco, mencoba meluruhkan debu menumpuk di sana.
Marconah membelai dadanya yang terguyur keringat dingin. "Aku kira ... hantu oriental!"
Hanna mengernyit sebal. "Sadako maksudmu?"
Marconah mengangguk naif. Lengan kaos santainya menyapu bersih cucuran peluh yang membanjiri wajahnya.
Hanna memberengut kesal. Sementara D yang tiba bersama Hanna masih mendekap batang pohon pisang hingga buahnya yang ranum bergoyang. Bibirnya menyeringai ngeri. Situasi sekitar membekukan gerakan sendi bawahnya. Retinanya tak lelah mengawasi kebun lengang nan luas milik seorang warga salah satu kampung di sudut kota. Sebagian wujud sang surya mulai lenyap. Sinar jingga mulai menjauh dari tanah lapang penuh tanaman itu. Disusul bayu yang bersiul menusuk tulang.
Raga D hanya mampu membeku. Bibir D masih setia membisu. Ingin tungkainya berlari tapi energi enggan meninggi.
Marco meneliti Hanna tanpa jeda. Mulai dari mahkota kepala yang terurai hingga ujung dress polos berenda sepanjang mata kaki.
Hanna yang jengah hanya memutar bola matanya.
Marco menepuk dahinya. "Kamu yakin berpakaian seperti itu saat ini? Kita mau mencari bahan masakan untuk eksperimen, lho!"
Hanna bertolak pinggang. "Kamu mengirim pesan untuk datang ke lokasi kamu saat ini dengan tujuan mencari bahan makanan resep eksperimen. Aku pikir kita akan berburu di supermarket atau pasar besar tradisional."
Marco melotot. "Maka dari itu lihat dulu lokasinya baru memilih kostum."
Hanna meraih lengan Marco sebelum berbisik lirih di dekat telinganya. "Kamu mau mencuri?"
Kepalan tangan Marco mendarat pelan pada ubun-ubun Hanna. "Sembarangan! Jangan keras-keras! Itu fitnah! Kita nanti bisa viral. Kita berkumpul di sini untuk menunggu yang punya kebun pulang kerja!"
Hanna menggaruk ubun-ubunnya yang gatal bekas tangan Marco. "Yang punya kebun lagi kerja di kebun?"
Marco mengetuk kepalanya yang terasa berputar. Bukan hal mudah menanamkan pemahaman kilat pada benak Hanna. Memang Marco patut disalahkan atas informasi ambigu yang diterima anggota kelompok lain. Marco mengabaikan diskusi. Dia lebih memilih merangkai rencana dan merajut keputusan seorang diri. Kemudian memberi arahan pada rekan lainnya.
Hanna menepuk bahu Marco. "Marco!!!"
Marco tergagap bangun dari lamunan.
"Sebenarnya kita itu mau kemana, menemui siapa dan mencari apa?"
Marco menarik napas kalem kemudian melepaskan karbondioksida perlahan.
Hanna menggeram. "Diam lagi," celetuknya kesal.
"Oke," sahut Marco, "Kita mau menyeberang kuburan sepi untuk sampai rumah Pak Rame. Dia memiliki tanaman yang kita perlukan di kebunnya. Dia seorang petugas kebersihan di koperasi simpan pinjam. Jadi selalu tiba di rumah hampir maghrib. Oleh karena itu kita baru bisa menemuinya saat petang."
Deborah menghampiri Marco dengan lutut bergetar. "Apa ... apa ti ... tidak ada tempat lain?"
Marco menggeleng.
Hanna mengedarkan pandangannya menjelajahi pekarangan belakang yang tengah dipijaknya saat ini. Pagar tanaman rendah menjadi pembatas antara pekarangan milik salah seorang warga dengan kuburan setempat. Tempat pemakanan luas itu dikepung barisan pohon menjulang pada salah satu sisinya.
Hanna meneguk ludah kelu. "Kau yakin, Marco?"
Marco mengangguk kaku. "Daun kelor dan katuk di kebun Pak Rame yang terbaik."
Deborah meraih lengan Hanna. Raganya segera lenyap di balik punggung sang sahabat. Deborah sangat sukar bertahan dari rasa cemas yang merasuki benaknya.
"Apa sebaiknya kita ganti saja bahan utamanya? Agar mudah mencarinya." usul Hanna.
Marco menatap Hanna serius. "Aku yakin bahan-bahan ini akan membuat kita menjadi juara!"
Bibir Hanna turun. "Tapi terlalu menyeramkan!"
"Bukankah kita punya anggota cowok? Kak Elang pasti ke sini, kan?" tanya Marco bersikukuh memastikan.
Hanna menaikkan bahunya lelah. "Aku sudah menghubunginya dan mengirimi pesan tapi tidak ada tanggapan. Sepertinya ponselnya belum online."
Marco melotot kaget. "Apa?"
Sementara raga Si Penakut D semakin gemetar di balik punggung Hanna. Aliran hangat melintasi celana baggy hitamnya tanpa bisa dikendalikan.
Hanna melonjak kaget. Tubuhnya berjingkat menjauh.
Marco menganga lebar. "Kenapa kamu pipis di sini?" jeritnya histeris.
Hanna membungkam mulut Marco yang setara petasan kawin banting. "Jangan teriak-teriak! Nanti kita disangka pencuri!" lirihnya.
Hanna meraup oksigen dingin di sekelilingnya sebelum menghempaskannya pelan. Hanna mengambil alih situasi setelah dapat mengendalikan diri.
Hanna melirik tajam Marco. "Marco diam sebentar!" pintanya tegas.
Hanna berpaling pada D yang telah terisak dalam diam. "D semua akan baik-baik saja! Aku akan menghubungi Kak Nick untuk menjemputmu! D sebaiknya pulang saja."
D mengangguk pelan saat air mata masih menganak sungai.
Hanna meraih lengan Marco. "Dan kita mundur sementara mencari masjid terdekat untuk sembahyang karena sebentar lagi maghrib!"
Marco mengernyit. "Lalu kelor dan katuknya?"
Hanna menggeram. "Nanti setelah maghrib kita lanjutkan. Kamu mau dikira nenek lampir oleh genderuwo? Karena yang kelayapan setelah maghgrib kebanyakan hanya spesies itu."
Marco menowel dahi Hanna. "Sembarangan! Serem banget gila!" celetuknya.
"Sudah aku katakan sebaiknya kita cari bahan utama yang lain!" tukas Hanna diiringi emosi semakin meninggi.
"Totalitas, Hanna!" balas Marco berapi-api. "Kita harus mengerahkan segenap jiwa raga untuk menjadi yang utama!"
Kalimat Marco menjadi pembuka keheningan berikutnya. Mereka membungkam kaku. Bulu roma menegak sempurna setelah suara batuk berat pria menggema.
Ketiga pasang mata berkomunikasi menggunakan lirikan. Celana panjang Deborah semakin kuyup. Raga Marco semakin mengeras. Sementara Hanna mulai kembali menguasai alat gerak bawahnya.
Hanna memulai seribu langkah setelah meraih pergelangan tangan D bersamanya.
Lutut Marco menyerupai kakek-kakek penderita tremor. "Tung ... tung ... tunggu!"
***