Kelopak mata raga mungil yang telentang pada pembaringan ruang rawat inap mulai berkedut ringan sebelum terbuka perlahan. Mata gadis itu menyesuaikan terpaan sinar ruang inap pasien dan nyeri pada pelipisnya.
Bola mata si gadis berotasi menjelajahi sekitarnya yang hanya didominasi oleh barisan tirai putih bersih. Hingga iris abu jernih berlabuh pada sosok pemuda jangkung berbalut sweater rajut leher tinggi dan celana jins gelap.
Punggung pria berambut keemasan itu menghadap Hanna.
"Bos, saya minta maaf! Saya mungkin akan sampai di rumah tengah malam." katanya lirih pada benda pipih dalam genggaman tangannya.
Alat komunikasi dua arah begitu terasa hangat menempel pada daun telinga pemuda itu.
Pemuda itu mengacak rambut pirangnya. "Saya tidak bisa cerita lewat telepon, Bos. Saya sedang di rumah sakit!"
Hanna hanya mampu menatap punggung itu dengan sisa energi yang ada.
Pemuda pirang menggeleng cepat. "Bukan, Bos! Saya baik-baik saja. Saya sedang menunggu Hanna, Bos. Tadi dia terkilir dan pingsan. Keluarganya belum ada yang datang."
Suara di seberang alat komunikasi si pirang terdengar meroket. Sang pemuda segera menambah rentang telinga dengan lubang suara.
Tutur kata sopan si pirang mulai luntur tergerus emosi. "Tapi Sans, aku tidak mungkin melakukannya saat ini. Lebih baik kamu sendiri yang menemui Shara. Aku mohon pengertianmu!"
Surai emas si pemuda semakin acak adul. Napasnya memburu amarah.
"Sans, aku tidak sampai hati meninggalkan Hanna sendirian bersama si slebor Marconah. Bisa-bisa rumah sakit ini meledak!"
Hanna menahan senyumannya sekuat tenaga.
Si pirang hampir melempar satu-satunya alat komunikasi miliknya. Namun akal sehatnya tetap bekerja menahan uap panas dari ubun-ubunnya.
"Kalau kamu memang tidak bisa keluar rumah tanpa aku, batalkan saja kencan kalian!" tegas si pirang pada suara memaksa dari ujung gawainya.
Hanna masih setia menjadi penikmat drama di hadapannya.
Si pirang menarik oksigen beraroma obat di sekitarnya sebelum menghempaskannya kesal. "Apa? Aku akan dipecat? Kenapa selalu saja di saat seperti ini kamu memilih memberikan ancaman?"
Senyuman paras pucat Hanna luntur mendengar suara putus asa si pirang.
"Aku tidak sedang main-main di si...." kalimat si pirang belum sempurna harus terjeda bentakan si keras kepala di seberang sana. "Baiklah ... baiklah!"
Napas si pirang semakin memburu. "Kalian setiap hari bertemu, Bos! Membatalkan kencan sekali saja bukan hal besar kan?"
Tangan kiri si pirang mengepal geram menerima sanggahan tak masuk akal dari majikannya yang telah buta karena asmara.
"Oke, aku kalah dan akan selalu kalah!" kesal si pirang. "Beri aku waktu sebentar! Aku akan tiba di rumah jam delapan malam tepat."
Pembicaraan selesai. Si pirang meraba gambar telepon merah pada layar.
Hanna segera menarik turun kembali layar matanya hingga rapat sesaat sebelum si pirang memutar tubuhnya. Pemuda belasan tahun itu menghampiri gadis mungil yang terbaring lelap pada permukaan pembaringan rumah sakit.
Si pirang meletakkan tulang duduknya di sisi tempat tidur. Tepat di sebelah raga mungil yang tengah nyenyak dalam hangat selimut.
Iris birunya menyorot paras cantik yang begitu pasi. "Hanna, maafkan aku! Aku tidak bermaksud menakutimu dengan mengikuti kalian diam-diam. Aku hanya tak ingin menampakan diri. Aku takut kamu semakin membenciku."
Si pirang meraih jemari Hanna dalam dekapan erat tangan lebarnya.
Suara tirai tersibak menampar aura sentimentil dalam ruangan sempit itu. Si pirang terperanjat. Parasnya menoleh pada penampakan gadis tomboy yang meringis canggung di ambang tirai.
Si pirang melambaikan tangannya. "Kamu kemari!"perintah si pirang serius.
Marco menghampiri si pirang takut-takut. Kepalanya hanya menunduk saat berhadapan dengan si pirang.
"Dari mana saja?' tanya si pirang cepat.
Kepala Marco menunduk semakin dalam. "Cari makan malam, Kak Prada! Lapar belum makan dari sore!"
Kedua lengan Prada menggenggam geram. "Kamu itu.... kenapa malam-malam lewat kuburan? Kata Elang kalian hanya akan mengambil bahan masakan!"
Marco menahan napas. Dia menengadah sejenak. "Karena bahan masakannya bersebelahan dengan kuburan."
"Lewat jalan, Marconah! Bukankah ada jalan?"
Kepala Marcobah kembali menekuk. "Jalannya jauh, Kak!" jawabnya lirih
"Kalau jalannya jauh, kamu bisa ke tempat itu siang sepulang sekolah!" potong Prada bernada tinggi.
Marco memilih membisu. Jika dia buka suara kembali, Prada akan semakin murka.
Prada mengulurkan telunjuknya. "Atau kamu bisa mengganti bahan utamanya. Bisa berdiskusi lagi dengan anggota kelompok lain, kan?"
Marco mengangguk terpaksa paham.
"Jadinya seperti ini kalau kamu memaksakan keinginanmu! Ada yang terluka!"
Marco menelan ludah.
Prada kembali berpaling pada Hanna. Tekanan darah yang hampir melampaui ubun-ubun kini menyusut turun.
"Sudah, Kak Prada?" celetuk Marco tiba-tiba.
Prada melirik garang. "Apanya yang sudah?"
"Marahnya." jawab Marco tanpa dosa.
Deretan gigi Prada bergemeletuk. "Kamu masih mau dimarahi?"
Marco mengangguk sambil memainkan jari-jarinya.
Prada menaikkan sebelah alisnya.
"Saat aku dimarahi kakak ganteng, aku merasa ada gelombang aneh gitu.... Seperti sinetron di televisi dimana peran utama pria yang galak selalu marah-marah kepada peran utama wanita. Pada akhir adegan mereka saling jatuh cinta." papar Marco terlalu percaya diri.
Prada menampar dahinya sendiri. Sepertinya malam ini virus merah jambu telah menginfeksi di segala penjuru. Butuh vaksi tangguh sebagai pelindung hati dan kekebalan jiwa.
"Apa kamu pikir kita sedang bermain sinetron?"
Marco mengulum bibirnya. "Hidup itu memang seperti sinetron yang penuh drama. Mungkin saja cerita indah sinetron menjadi nyata saat ini."
Prada memijit pelipisnya. "Malam ini memang banyak orang gila. Si majikan kurang ajar gila. Ini bungkus micin malah terserang halusinasi," celetuknya.
Hanna yang telah sekuat tenaga menahan bahak, tak sanggup lagi melawan arus drama komedi. Tawa lepas penonton bagaikan pujian dahsyat untuk para pelakunya. Layaknya Hanna yang tiba-tiba terkekeh-kekeh menyaksikan humor segar antara Prada dam Marco.
Prada terperanjat hingga berjingkat dari posisinya. Sementara Marco membelalak.
Prada tegak di tepi pembaringan pasien. "Jadi kamu sudah sadar?"
Hanna mengulum senyum kemudian mengangguk pelan.
Prada melipat lengannya kesal. "Aku mengkhawatirkan kondisimu hingga mengamuk kepada si slebor. Ternyata kamu sudah bangun dan mendengar semuanya?"
Hanna kembali mengangguk.
Tatapan tajam Prada menghunus retina Hanna tanpa ampun hingga suara derap kaki cepat membuyarkan fokus Prada.
Sosok pria dewasa berkemeja pastel menyeruak tirai pembatas ruangan sebelum menghambur menghampiri Hanna. Lengan kekarnya segera mendekap sang putri tidur.
Prada melangkah mundur. Dahinya mengernyit menolak paham dengan drama di depannya. Pria tampan dengan pahatan usia mapan membakar jiwa Prada yang penasaran. Kulitnya pucat. Paras elok mahakarya Sang Maha Pencipta. Hidung menantang, mata bersinar dan bibir tipis menggiurkan. Prada hanya mampu mengumpat emosi dalam hati. Entah mengapa gadis biasa itu selalu dikelilingi pria-pria istimewa.
Belum sempat menyingkirkan Elang, Arco si manager muda toko roti mencuat ke permukaan bumi dan saat ini pria matang itu malah datang.
Tangan Prada mengepal geram ketika paras mungil sang mantan bersandar pada dada pria yang terlihat mengumbar harapan.
Marco melangkah menghampiri Prada.
Si pria berkuncir kembali memposisikan tubuh Hanna pada pembaringan.
Prada dan Marco setia bergeming. Mereka hanya saling bertukar lirikan.
Si pria dewasa berpaling pada Marco. "Sekarang apa lagi kelakuanmu, Marconah?"
Marco menunduk takut.
Si pria kembali menoleh pada Hanna. Helaian panjang yang menjuntai pada wajahnya basah oleh tetesan keringat.
"Hanna, sudah kakak bilang jangan sering bersama Marco. Dia itu gadis somplak. Kamu nanti ikut-ikutan koplak!" cerocos si pria.
Sudut bibir Prada terangkat lega. "Kakak?" lirihnya entah pada siapa.
"Iya, dia kakak kandung Hanna. Namanya Hanry." bisik Marco.
Hanna bangkit. punggungnya bersandar pada ranjang rumah sakit. "Kak, kami satu kelompok di ekskul. Jadi mustahil kami tidak bersama."
Mata Hanry membidik Marco. Sepatu pantofelnya mengikis jarak dengan si tomboy.
Marco menengadah.
"Kalau merencanakan sesuatu harus dipertimbangkan baik buruknya. Kenapa tidak mencari bahan yang mudah? Atau kenapa tidak melewati jalan yang normal?" marah Hanry.
Marco menahan bahagia dalam bibirnya. Debaran kian menggema dalam dada.
Emosi Hanry erupsi mencapai ubun-ubun. "Kenapa senyum-senyum?" sentak Hanry.
Senyum Marconah semakin bebas merdeka. "Tidak, Kak! Aku hanya bingung karena malam ini ada dua pria tampan yang memarahiku. Kepalaku pusing mau memilih siapa untuk ending jodohku nanti."
Paragraf panjang Marco seketika mendorong Prada berjingkat menjauhinya. Dia bergegas menyinggung ranjang Hanna.
"Apa maksudmu ada dua? Siapa satunya?" bentak Hanry.
Marco melonjak girang. "Ciee, Kak Hanry cemburu pada Marco, kan?"
Episode adu mulut antara Hanry dan Marco masih bersambung. Balas dan lempar kalimat enggan tamat. Hanry yang pemarah tak mau kalah dengan Marco yang terlalu percaya diri. Semakin Hanry meninggi semakin membumbung desiran Marco yang melewati nadi.
Prada dan Hanna saling melirik.
"Kak Prada." panggil Hanna, "Terima kasih telah membawaku ke rumah sakit. Kak Prada sebaiknya pulang. Pasti Kak Sans mengkhawatirkanmu!"
Prada memutar bola matanya, "Sans? Mengkhawatirkanku?"
Hanna mengangguk.
"Mustahil!"
"Kak Sans pasti khawatir kalau Kak Prada tidak segera menjemput Kak Shara." jelas Hanna pelan.
Prada menghirup rakus udara beraroma obat sebelum menghempaskan cepat. "Aku minta maaf, Hanna!"
Situasi mendadak sendu.
Hanna menggeleng. "Kak Prada kenapa meminta maaf?"
"Selama ini aku selalu menyakitimu," balas Prada.
Hanna meraih jemari Prada. "Aku tidak membenci, Kak Prada. Mungkin memang takdir kita tidak bisa bersama."
Prada mempererat jemarinya. "Tapi aku tidak mau seperti itu."
"Ada apa dengan kalian?"
Suara pria pihak ketiga mengalun bagai tiupan udara di kutub utara. Jalinan tangan keduanya terlepas. Prada dan Hanna menoleh pada dua nyawa yang menatap curiga.
Prada dan Hanna sepakat menggeleng dalam bungkam.
***