Chereads / Bahagia yang Ringan / Chapter 22 - Lingkaran Luka

Chapter 22 - Lingkaran Luka

Sans melangkah santai menapaki lorong lantai pertama. Tas ransel gelap mendekap erat punggung lebarnya. Kedua lengannya memeluk tumpukan materi sains berbahasa asing.

Primadona teratas sekolah yang rupawan, kalem dalam tegapnya tanpa mengumbar pesona. Senyumannya pun seolah mahal harganya. Namun semua pasang mata tak sangup menolak keindahannya.

Derap alas sepatu Sans melintasi puluhan siswa lainnya yang berlalu-lalang. Dada bidang tampak semakin tegas di balik balutan jas. Sepasang mata gelap jernih menyorot tujuannya yang berada di ujung lorong. Gerak selaras sepasang tungkai melaju seiring semakin besarnya bayangan perpustakaan pada retina.

Telunjuk Sans yang hampir membelai gagang pintu tertahan tepukan ringan pada bahunya. Sans menoleh cepat. Bayangan gadis jelita menyapa penglihatannya.

"Ada keperluan apa?" tanya Sans sopan dan tenang.

Si gadis molek meraih lengan Sans. "Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu."

Sans meluruhkan cengkeraman tangan lembut pada lengannya. "Silakan!"

Si gadis bak boneka khayalan menutup celah antara keduanya sehingga dua bahu beda tinggi saling bersinggungan.

Sans menggeser kakinya. Raganya risih. Hatinya tak berminat.

"Tapi tidak di sini, Sans." rengek si gadis manja

Sans menaikkan alisnya. "Lalu di mana?"

Beautya, nama yang serasi dengan ayu paras eksotisnya. Sepasang iris gelap menghuni kelopak mata lebar. Hidung mungil yang menggoda jemari laki-laki untuk menyentil. Hampir semua adam keranjingan menatap wajahnya. Sebuah cetakan boneka idaman sejuta wanita dalam kerangka gadis dunia nyata. Segala yang mendekati sempurna pada boneka tersohor itu dimiliki Beautya.

"Kita bicara di taman sekolah."

Sans melirik penunjuk waktu pada pergelangan kirinya kemudian mengangguk setuju, "Baiklah. Aku memiliki waktu kurang dari tiga puluh menit sebelum tim pengajar sains datang ke perpustakaan."

Beautya membimbing langkah Sans meninggalkan lorong dan menuju jalan setapak taman sekolah. Bibir Beautya tak jenuhnya melengkung lebar sepanjang jalur menuju taman. Mereka berdua beriringan. Tangan si gadis beberapa kali membelai ringan lengan jas Sans. Dia berupaya memupuk kesan mesra keduanya. Namun Sans lihai mengelak. Kakinya selalu menambah jarak.

Bibir Beautya mengerucut. "Sans, kamu tidak suka berdekatan denganku, ya?"

Sans menggeleng dalam langkahnya yang teguh.

Beautya tetap mempertahankan gerakan tungkaianya. "Kenapa selalu menjauh?"

Sans mendesah panjang. "Kau lihat, kan? Aku membawa setumpuk buku. Aku takut jika kita bersentuhan, tumpukan ini akan roboh dan berserakan di atas rumput."

Leher Beautya berotasi mengamati barisan rumput rapi taman yang lembab karena diterpa gerimis siang tadi.

Sans tak berniat melirik sedetikpun.

Telunjuk Beautya mengarah pada bangku kosong dekat kolam ikan, "Ayo, kita duduk di sana!"

Sans menjawab dengan kebisuan. Haluan langkahnya mengekor Beautya yang telah menggapai bangku terlebih dahulu.

Beautya mendaratkan tulang duduknya diikuti Sans. Tumpukan buku tebal level perguruan tinggi menjadi pembatas keduanya. Sans dengan naifnya membangun pemisah antara mereka.

Beautya mengernyit kesal. Namun sekuat tenaga menerbitkan ceria.

Kaki Sans saling bertumpu. Tatapannya lurus tanpa fokus. Tak tampak makhluk bernapas selain mereka karena jam sekolah telah usai saat terik sang surya beberapa saat lalu. Hanya bayangan tinggi pagar sekolah tercetak dalam matanya. Namun angan lamunan memantulkan sosok lain.

Beautya menoleh. Bibirnya menganga terpana akan kilau wajah pemuda bagai berlian yang diterpa sinar senja. Garis wajah pahatan Sang Maha Kuasa begitu elok disertai butiran peluh yang memantulkan mentari sore.

Pandangan Sans tak bergeser. "Lalu hal penting apa yang ingin dibicarakan? Maaf, waktuku tidak banyak."

"Mungkin bukan hal penting bagimu tapi bagiku sangat penting."

Sans menoleh. Dahinya mengerut.

"Aku lihat selama di sekolah ini kamu hanya terlihat bersama Prada dan Shara. Apa kamu tidak ingin berteman dengan yang lain?"

Sans kembali berpaling pada pagar pembatas pelataran sekolah dengan jalan raya.

Sans mengambil udara perlahan sebelum mulai berargumen. "Sebenarnya aku tidak menutup diri dari siapapun. Prada dan Shara mengenalku sebelum kami masuk bangku taman kanak-kanak. Jadi mereka paham bagaiamana aku."

Salah satu kaki Beautya menumpu pada kaki yang lain.

Dia beropini, "Kamu terlihat tidak mengizinkan orang lain dekat denganmu. Seperti membangun benteng tak kasat mata."

Sans terkikik ringan. "Siapa bilang? Aku terbuka berteman dengan siapa saja. Hanya saja aku tidak tahu mereka mampu bertahan atau tidak."

"Maksudmu dengan bertahan?" tanya Beautya penasaran.

Sans mendesah panjang. "Aku bukan orang ramah yang pandai mengobrol dengan lawan bicara."

Beautya merasa santai menyelami percakapan mereka.

"Lalu sekarang apa? Kamu bisa mengobrol panjang denganku." sanggah si cantik.

Sans menggeleng. "Karena kamu bertanya aku menjawab. Itu saja."

Beautya menukar posisinya dengan tumpukan cetakan ilmu. Kini raga mereka berdua hanya terpisahkan semilir udara bergerak.

"Berarti aku boleh berteman denganmu?" tanyanya memohon.

Sans menaikkan bahunya. "Kita sudah menjadi teman satu sekolah."

Beautya berpikir keras. "Kalau bersahabat bagaimana?" tawarnya lugas.

Sans melipat lengannya. Sebelah sisi wajahnya menoleh.

"Bagaimana?" ulang Beautya memberikan penawaran.

"Tidak masalah kita bersahabat tapi...."

Beautya melotot. "Tapi apa?"

Sans tersenyum tipis. "Istilah persahabatan itu ada jika hubungan teman telah mendalam. Dipupuk dengan rasa saling menghormati, mendukung, menghargai dan tolong-menolong. Bahkan hingga pada altriusme."

Beautya menggembungkan pipinya. "Kamu ini rumit."

Sans menggeleng kalem. "Tidak juga."

Beautya pantang menyerah mengorek keterangan. "Bagaimana dengan pasangan?"

Sans terdiam sesaat sebelum kembali menaik-turunkan sepasang bahu tegap.

"Apa kamu tidak tertarik memiliki pasangan?"

Sans membelai ujung hidungnya yang tegas. "Kita masih belasan tahun. Untuk apa memikirkan pasangan? Takdir ke pelaminan masih jauh."

"Bisa untuk menjadi kekasih atau pacar, kan? Sehingga kita bisa mendapatkan motivasi dalam belajar." timpal Beautya pantang padam.

Sans terbatuk kecil. Jujur, kerongkongannya merindukan guyuran hujan air mineral.

Beautya menepuk punggung Sans pelan. Namun Sans mengelak canggung.

"Yang ada di benakku adalah cara menggapai impian dan masa depanku. Aku belum sempat membayangkan yang lain."

Beautya mengernyit. "Bukankah masa depanmu sudah terlihat sangat cerah? Sans adalah pewaris tunggal bisnis dan nama besar Ken."

San menyandarkan punggungnya pada bangku. "Itukan hanya ada dalam perkiraanmu. Masa depan sesungguhnya masih misteri untuk kita. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Jangan menggantungkan harapan pada apapun yang ada di muka bumi ini."

Beautya menahan bibirnya yang akan terbahak. "Kamu ini mirip orang tua. Lalu apa yang akan kamu lakukan jika tidak bergantung pada kekayaan keluarga?"

"Jujur, sementara ini aku bergantung pada orang tua. Tapi aku menyandarkan harapanku hanya pada Yang Maha Kuasa. Kewajibanku hanya perlu berusaha giat dan berdoa sepenuh hati."

Semakin mengetahui pemikiran Sans, Beautya semakin menerima prinsip pemuda itu. Kematangan yang tak biasa tertanam dalam benak seorang pemuda belasan tahun.

Anggukan Beautya menyetujui cara berasumsi Sans. "Kamu tidak berniat mencari pasangan saat ini. Kamu juga tidak berminat memiliki kekasih maupun pacar. Berarti caraku tepat agar bisa menyentuh hatimu."

Kening Sans mengernyit.

Jemari Beautya saling terjalin. "Langkahku benar meminta bantuan ayah, agar ayah menemui orang tuamu untuk membahas perjodohan kita."

Kerutan Dahi Sans semakin tajam. "Perjodohan?"

Kepala Beautya bergerak vertikal. "Kita tinggal menunggu kabar baik peresmian pertunangan kita."

Sans menyeka peluh yang mengalir sepanjang pelipisnya. Detak jatungnya mulai tak senada. Diam Sans beberapa saat sedikit meredam bunyi dadanya yang bergemuruh. Kejutan hebat yang mendadak menyengat jiwanya terasa perih. Namun Sans pantang mengumbar air muka yang berlebihan.

Sans beranjak. Lengannya kembali meraih lalu mendekap tumpukan buku. "Terserah kamu mau melakukan apa. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Aku tidak punya waktu lagi."

Beautya menyusul Sans beranjak dari kedudukannya. "Kamu mau ke mana?"

Sans memutar tubuhnya. Punggung lebarnya menghadap Beautya.

"Sepertinya pertanyaanmu tak perlu aku jawab karena kamu telah menyita jadwal dan waktu berhargaku sore ini." sahut Sans dingin

Beautya hanya tercengang. kalimat Sans begitu beku hingga mampu menegakkan bulu romanya.

Beautya menyinggung punggung Sans. "Aku masih ingin berbincang denganmu."

Sans mengayunkan satu langkah maju, mengelak dari belaian apapun pada raganya. "Aku sudah menangkap inti dari pembicaraanmu."

Mimik wajah beautya kecewa. "Tapi Sans...."

Sans menambah celah antara mereka. "Aku permisi." pamitnya singkat.

Beautya mendesah lelah. Dia tak lagi mampu menahan Sans bersamanya lebih lama. Sepasang iris gelap hanya mampu menyorot damba pada punggung yang semakin menjauh.

Di sisi lain tampak sepasang telinga menangkap dengan gamblang pembicaraan mereka dari balik salah satu pohon besar di taman sekolah.

Bibir sosok itu bergetar tiada sanggup menahan tumpahan air mata.

***