Chereads / Bahagia yang Ringan / Chapter 20 - Adamu Debarku

Chapter 20 - Adamu Debarku

Berulang kali Hanna menelan ludah kelu. Bukan karena berhadapan dengan barisan hidangan lezat. Sementara Marco melumat ujung telunjuknya. Juga bukan karena tergiur aroma masakan istimewa. Hanna dan Marco tengah tegak paripurna di ambang pintu gerbang pemakaman umum sebuah perkampungan. Maghrib telah berlalu. Jingga tak lagi menatap cakrawala. Detik ini tinggallah senyap dalam gelap.

Hanna dan Marco saling melempar pandangan. Tatapan penuh ketakutan yang terpendam.

"Kau yakin?" desah Hanna cemas.

Marco mengangguk ragu. Setengah hati mantap menapaki jalanan berliku di hadapannya dan setengah lainnya penuh resah.

"Tidak ada jalan lain?" tanya Hanna mengulur waktu.

Marco mendesah panjang. "Ada, tapi harus memutar dan melewati jembatan."

Hanna menggigit bibir bawahnya. Persiapan lahir batin seharusnya telah usai selepas sembahyang tadi. Doa pun terlantun lirih dari bibir tipisnya. Namun kini kegamangan kembali menyerangnya.

Marco meraih sebuah benda seukuran genggaman tangan dari dalam tas pinggang yang melingkari tubuhnya.

Secercah cahaya menyala dari genggaman Marco. "Siapkan penerangan!" perintahnya.

Hanna meraba tas bahunya. Penerangan berenergi baterai segera ditariknya menuju udara malam. Sekali menekan tombol, cahaya putih satu garis menerpa sebuah nisan tua.

Hanna terenyak. Telapak kakinya mundur selangkah. Jantungnya berdetak tanpa irama normal.

Punggung Marco yang menghadap Hanna berotasi. Marco memalingkan satu sisi wajah pada rekannya.

"Kenapa?" tanya Marco heran.

Hanna menelan ludah. "Isinya nisan semua!" balasnya.

Marco memutar matanya. "Ini kuburan, Hanna! Kalau isinya makanan itu restoran!"

"Malah becanda," sewot Hanna.

Marco melotot. "Kamu yang becanda!" sahutnya menolak kalah.

Bibir Hanna mengerucut kesal.

Pandangan Marco kembali berpaling pada celah sempit antara barisan nisan yang membujur rapi. Bunyi gesekan pelan sandal jepit Marco dengan dedaunan kering terdengar nyaring.

Hanna mengikuti langkah Marco.

Kedua gadis belia mengambil langkah waspada hingga sepanjang setengah area pemakanan. Meskipun angin begitu menusuk, butiran peluh tak jera meluncur dari pelipis keduanya.

"Sekali-kali lewat kuburan supaya ingat hari akhir!" celetuk Marco kultum tiba-tiba.

Hanna memutar bola matanya. "Sembahyang setahun sekali bisa-bisanya ceramah!"

Marco menyeringai keki. Dia gagal menimpali Hanna. Diam menunjukkan kekalahan telak dari tajamnya busur kalimat Hanna.

Mereka berusaha setia menyambung langkah tanpa deru. Meskipun embusan napas akan terasa menggelitik telinga ketika gelap. Dua pasang tungkai yang menjelajahi dalam keheningan jauh dari kemudahan. Tumit mereka tertahan sementara saat sorot penerangan menerpa barisan nama pada nisan sebelum kembali menapak.

Kondisi tanpa dialog yang hanya beberapa menit terpecah oleh pertanyaan Hanna.

"Apa masih lama?"

"Masih!" jawab Marco sinis.

Hanna mendesah. "Eh, merajuk ya?"

Sepasang telapak kaki berbalut sandal kamar mandi tetap menapak dan menghindari rimbun ilalang serta batu berserakan. Sepasang lain bersepatu pendek mengekor di belakang.

Hanna terkikik mendapat balasan kebisuan dari Marco.

"Jangan tertawa seperti itu. Kamu menyeramkan!" celetuk Marco tanpa berpaling.

"Kau takut, kan?" ledek Hanna.

Marco meninggikan kepalan tangannya. "Tidak ada orang takut yang berjalan di depan!"

Hanna mendengus. "Kalau begitu pemberani seharusnya berjalan sendiri!" tantangnya.

"Jangan banyak bicara! Perhatikan jalanmu!" perintah Marco tegas ketika lonjakannya meninggi.

Hanna kehilangan kewaspadaan hingga kakinya tersangkut akar pohon raksasa yang mencuat pada permukaan tanah. Tubuhnya terjerembab membentur tanah kering.

Rintihan Hanna menahan langkah Marco. Gadis setinggi galah memutar tubuhnya menghadap sang sahabat.

Marco terenyak. Tangannya segera mengulurkan bantuan. Namun Hanna tak sanggup beranjak ketika menggenggam telapak Marco. Pergelangan kakinya yang nyeri seolah akan terlepas.

Sayup-sayup merambat suara pria disertai angin. "Apa yang kalian lakukan di sini!"

Hanna dan Marco membeku. Dua pasang iris beda warna saling melempar pandangan ketakutan.

Hanna hanya mampu menunduk. Rintihan bibirnya meratapi kesakitan yang menimpanya.

Marco memberanikan sepasang lensanya menghadapi kenyataan di balik punggung Hanna. Marco menangkap sosok tinggi besar berbalut serba hitam. Rambut pendek kusut yang serupa emas berpadu paras pucat khas barat.

Bibir Marco bergetar. "Hanna, benarkah ini kuburan pribumi?"

Hanna menengadah. Dia mengangguk ragu dalam kebingungan.

Lutut Marco mulai bergoyang seram. "Harusnya penghuni tempat ini seperti kuntili, ponci dan gendi, kan?"

Hanna meringis miris antara tiada paham dan kesakitan. "Apa maksud semua itu? Aku tidak mengerti!"

Igauan Marco semakin menjadi. "Berarti ... berarti tidak mungkin ada vampi di pemakaman pribumi, kan?"

Hanna menyeringai perih. "Apa itu ... vampi?"

"Makhluk yang ... yang suka menghisap darah."

Hanna menutup layar matanya. Kepalanya berdenyut mesra menyaksikan rekannya yang semakin meracau kacau.

"Marco, apa maksudmu nyamuk? Nyamuk dimana-mana ada. Apalagi tempat gelap seperti ini."

Telapak tangan Marco bergetar. "Bukan ... bukan itu!" jawabnya.

Mimik wajah Hanna semakin kalut. "Apa ada lintah? Dimana? Dimana?"

Marco kembali menggeleng menolak tebakan Hanna.

Hanna mendesah sedikit lega meskipun bulu romanya masih terbangun.

Lutut Marco yang bergetar bertumpu pada tanah. "Ma ... maksudku vampi seperti di film yang tokohnya bernama Erwan Cullun itu!"

Dahi Hanna mengernyit. "Erwan? Cullun? Siapa Erwan Cullun?"

Energi dalam tenggorokan Marco mulai menipis. "Kalau dia menghisap darah manusia, manusia biasa bisa berubah menjadi vampi juga."

Hanna memukul dahinya setelah beberapa saat tercengang. "Maksud kamu makhluk sejenis drakula?"

Marco mengangguk cepat.

"Kamu melihat di mana?"

Jemari Marco terulur menuju arah belakang punggung Hanna. "Di ... di belakangmu!"

Hanna membatu. Energi dingin meraba sekujur kulit tubuhnya.

"Kau becanda!" sangkal Hanna.

Marco menggeleng. "Ini nyata sangat jelas!"

Mata Hanna mulai memanas. "Tapi kenapa kamu tidak lari?"

Marco menggigit tepi bibir bawahnya. "Tanggung ... vampinya ganteng banget!"

Sepasang bola mata Hanna menegang. Lehernya berputar perlahan menuju balik punggungnya. Tidak ada pilihan lagi selain menoleh dan mengetahui kenyataan.

Bayangan berbalut serba hitam tercatak jelas dalam retina Hanna. Kesadaran yang perlahan menipis kini hanya tinggal segaris. Gadis itu lunglai seketika memeluk tanah saat energi mencapai batasnya.

Marco histeris. "HANNA!"

Niat hati menggapai lengan Hanna tetapi langkah Marco tanpa sadar semakin menjauh. Makhluk berbalut hitam itu merendahkan tubuhnya menggapai Hanna.

Marco berbalik dan melesat tunggang langgang. Bibirnya yang beku sukar mengeluarkan teriakan. Sepasang tungkainya menyerupai pelari halang rintang yang siap menghalau segala hambatan yang tersedia. Bahkan pembatas tembok setinggi orang dewasa berhasil ditaklukkannya.

Marco mengatur napasnya yang tak berirama setelah melakukan tolakan dari ujung tembok. Tapak kakinya mendarat sempurna pada permukaan tanah. Tanpa berpikir dua kali, Marco kembali menyambung langkah menuju bangunan joglo yang hanya beberapa meter dari jangkauannya.

Bangunan asli kayu jati itu ditunggu puluhan pot tanaman asri yang mengepung dari segala sisi.

Kepalan tangan Marco menyinggung pintu kayu berulang kali. "Permisi! Pak Rame ... Pak Rame .... TOLONG SAYA! TOLONG!"

Setelah ketukan keras beberapa detik, pintu kayu terbuka dari dalam. Muncul pria setengah abad berbalut kemeja koko putih. Rambut yang memutih sebagian berkilap diterpa lampu temaram.

"Siapa kamu? Kenapa berteriak-teriak seperti itu?" tanya pria itu terkejut.

Lengan Marco terjulur pada arah makam. "Teman saya ditangkap hantu impor, Pak!"

Pak tua mengernyit. "Hantu impor? Hantu apa? Kamu baru saja datang dari mana?"

"Saya dan teman berencana menemui bapak pemilik kebun kelor untuk meminta ijin memetik daun kelor dan katuk. Kami membutuhkannya untuk eksperimen resep masakan."

"Lalu?"

Marco menyapu peluh yang mengaliri pelipisnya. "Kami melewati kuburan agar cepat sampai!"

Pak tua menggeleng. "Kenapa tidak lewat jalan biasa?"

Marco menggaruk pelipisnya. "Jauh, Pak! Ongkos ojek mahal."

Bapak berbalut putih bersih menepuk bahu Marco. "Saya ijinkan kamu memetik kapan saja. Saat siang saya belum pulang ke rumah, silahkan mengambil sesuai kebutuhan!"

Marco menyatukan kedua telapak tangannya. "Terima kasih banyak, Pak!"

Pak tua yang bernama Ramewanto mengangguk pelan. "Sudah banyak warga yang mendapatkan manfaat kelor dan katuk di sini."

Marco melirik pelataran pemakaman yang gelap pekat. "Lalu teman saya bagaimana, Pak?"

Pak Rame melewati ambang pintu. Dia bergegas memakai sandal karet yang tergeletak di depan pintu utama.

"Ayo, tunjukkan di mana temanmu berada? Bapak takut kalau ada penjahat yang berkeliaran malam-malam!"

Raga Marco kembali meriang. "Tapi ... saya takut hantu, Pak!"

Pak Rame mengaduk saku kemeja kokonya. Beberap detik kemudian, sebuah penerangan kecil telah menyala putih dalam genggamannya.

Pak Rame yang baru memulai langkahnya harus tertahan teriakan Marco.

Telunjuk Marco terjulur pada arah kuburan yang bersebelahan dengan kebun kelor. Sepasang retina yang masih muda dan segar menangkap penampakan pria serba hitam dengan seorang gadis dalam kedua lengannya.

Pak Rame menoleh. "Ada apa?"

Jari Marco bergetar. "Itu ... itu ... itu teman saya dibawa vampi, Pak!"

Pak Rame menajamkan mata tuanya. Bayangan pria muda tengah tergopoh-gopoh menghampirinya. Pak Rame segera meningkatkan kewaspadaan sebelum mendapatkan informasi sosok mencurigakan yang kian mengikis jarak.

Marco hanya mampu memejamkan mata di balik punggung Pak Rame.

Sosok serba hitam berteriak, "Tolong, Pak! Teman saya pingsan!"

Mata gelap Pak Rame membulat. "Kalian?"

Si pria berbalut hitam mengatur napas sejenak "Kami rekan satu kelompok tata boga dengan gadis di belakang, Bapak!"

Marco segera mencuat dari persembunyiannya setelah mendengar suara pemuda yang tak asing menyapa gendang telinga.

Marco mengintip dari balik bahu Pak Rame. Marco mendapati sosok pemuda kebingungan berhelai pirang tengah menahan berat seorang gadis dalam lengannya.

Marco membelalak. "Kamu Kak Pradana kelas XI, kan? Kenapa ada di belakang kami?"

Pemuda itu mengiyakan. "Aku diminta menggantikan Kak Elang dalam kelompok kalian untuk hari ini saja!"

***