Prada mengguyur seluruh badan mobil jeep kuno produksi eropa dengan gelombang pasang air keran. Setelah seluruh bagian mobil kuyup, si pemuda bule membalurkan sabun khas kaya busa. Mobil bernuansa gelap pudar itu tampak seperti terkubur salju.
Prada yang hanya berbalut celana selutut dan kaos santai tanpa lengan, begitu getol menjelajahi pekerjaannya detik ini. Pekerjaan yang menguras tenaga tapi menyuburkan bahagia. Siang yang membara selepas jam sekolah terasa sejuk dalam genangan air keran. Tubuh kekar yang begitu padat semakin menampakkan otot-otot kokoh.
Pria dewasa berbalut setelah jas resmi muncul dari balik pintu utama istana keluarga Ken lalu menghapiri sang pemuda pirang.
"Prada," panggil suara santun khas pria separuh baya .
Prada menghentikan gerakan lengannya yang asyik memandikan barang tua bernilai sejarah tinggi. Paras Prada menoleh balik punggungnya.
"Ayah Bos!" gumam Prada lirih kemudian bergegas membasuh gumpalan busa pada tangannya sebelum menutup aliran air.
Prada tergopoh menghampiri tuan besar Ken.
Senyuman hangat bak seorang ayah menghangatkan sore yang menusuk tulang. Sosok Marino Ken hasil perpaduan pahatan paras Eropa dan kelembutan Asia. Rambut dan matanya yang sekelam gerhana menyelaraskan paras dan rahang tegas. Cukup memukau setiap pasang mata yang menatapnya. Keindahan yang unik buah karya langka tanpa dua.
"Apa kamu ada acara setelah ini?"
Prada merenung sejenak. Sebenarnya langkah petang Prada telah diagendakan menerima kerepotan berbayar dalam lacker bakery. Namun karena pria yang telah ikhlas mengasuhnya melempar tanya penuh nada harapan, Prada membalasnya dengan gelengan yakin.
Marino Ken menggangguk puas. "Baiklah, kalau begitu. Setelah menyelesaikan pekerjaan ini, kamu segera merapikan diri dan kawal saya."
"Baik, Ayah Bos!" patuh Prada, "Maaf sebelumnya, kita akan pergi kemana, Ayah Bos? Saya hanya ingin menyesuaikan pakaian saya."
Marino menepuk bahu Prada. "Saya ada pertemuan penting dengan sahabat lama di Hotel Quadruplet Martin."
Prada meletakkan persatuan jemari kanan pada tepi pelipis. "Siap, Ayah Bos! Saya akan mengenakan seragam keamanan setelan hitam!"
Marino menjulurkan ibu jarinya setuju.
Kurang dari setengah jam, Prada telah memposisikan badan sedan panjang pada celah tersisa dalam rubanah Martin Hotels. Gedung bertingkat Quadruplet Martin berbaris rapi saling bersisihan. Dua bangunan Martin Hotels saling berdampingan dengan dua Martin Mall pada sisi berikutnya.
Marino Ken meninggalkan bangku penumpang setelah Prada melebarkan daun pintu beberapa saat sebelum Prada mengamankan mobil mewah pada tempat tersedia. Langkah tegap pria dewasa berpelindung mata hitam menyeruak puluhan pengunjung yang hilir mudik melintasi lobi.
Seorang pria tambun tak terlalu tinggi dan berdasi tergopoh menghampiri Marino Ken yang menapaki granit lobi seorang diri tanpa keamanan. Pengawal muda tuan besar Ken lenyap bersama kendaraan mewah setelah menikung menuju rubanah. Pria muda staff hotel menyongsong tamu kehormatan ceria. Pria gembul nan ramah membimbing langkah Tuan Besar Ken menuju tempat yang telah dijanjikan sebelumnya.
Sementara Prada yang telah menutup semua akses masuk kendaraan, harus kembali menyentak daun pintu mobil majikan. Pesan singkat Tuan besar Ken memaparkan tentang barang tergeletak dalam bangku penumpang yang harus tersampaikan pada empunya.
Kecepatan tungkai Prada mengganda melintasi barisan mobil yang memenuhi rubanah menuju tangga darurat. Lift tak menjadi pilihan karena tak sebanding dengan gesit gerak Prada jika harus menunggu lama.
Prada terengah setelah menginjak lantai lobi utama Martin Hotels. Tubuhnya bergegas menggapai atmosfir Martin Resto setelah mampu mengendalikan kerja paru-parunya. Langkah lebarnya berayun kalem ketika melintasi barisan meja mewah bernuansa keemasan. Pemuda pirang itu menutup langkahnya saat sebaris kalimat tercipta dari bibir pria dewasa asing dan terasa menggelitik gendang telinganya.
Prada menahan kerja pernapasannya sesaat. Sepasang elang biru membidik dua manusia yang berbincang ramah saling berhadapan. Prada tegap tak jauh dari mereka. Bayangan keduanya begitu memenuhi retina Prada.
Sekali lagi makna lantunan kalimat yang selanjutnya bergetar bagai menampar pendengaran Prada.
Suara ramah pria asing membaur dalam tawa renyah. "Ide jenius, Marino. Aku sangat menyukai pemikiranmu. Namun apa mereka akan menyetujui?"
Prada masih setia bergeming.
Tawa pelan Marino antusias. "Kita hanya ingin menjodohkan mereka bukan memaksa mereka menikah sekarang. Kita buat putra tunggalku dan princess kesayanganmu saling mengenal lebih dekat."
Punggung lebar lawan bicara Marino menghadap Prada. Prada kesulitan menebak sosok kekar di balik rambut cokelat kemerahan itu. Jas cerah membungkus punggung tegapnya.
"Aku suka pada Sans. Dia tenang dan berprestasi. " puji rekan Marino.
Marino mengangguk menyetujui. "Princess milikmu juga gadis yang baik, tegas dan cerdas!"
Setiap kalimat yang mengalir dan saling mendukung dari keduanya terasa menenggelamkan tubuh Prada yang kebas. Entah mengapa wacana perjodohan Sans menumbuhkan kegamangan pada hati Prada. Apa sebesar itukah tanggung jawabnya sebagai sahabat melebihi tugas pengawal pribadi? Prada cemas pada benaknya yang liar akan masa depan karibnya. Bayangan sahabat yang putus asa sebab kandas cinta bergentanyangan dalam kepalanya.
Prada kembali mengayun langkah setelah mampu menekan emosinya. Derap sepatu kets gelap mengusik percakapan dua pria. Keduanya bepaling pada sumber suara.
Marino yang pertama menatap Prada, melambai ringan. "Kemari sebentar, Nak!"
Prada mengangguk dalam langkahnya. Setelah sepasang tumit menutup, lengannya terjulur sopan menyerahkan amanah majikan.
"Apa dia Sansco putramu?" tebak kawan Marino.
Marino menggeleng pelan sambil menerima kopor gelap dari Prada. "Dia anak asuhku. Pradana. Kami sudah seperti keluarga karena kami merawatnya sejak bayi."
"Bagaimana orang tua kandungnya?"
Gelengan Marino semakin lemah. "Kedua orangtuanya sudah...."
Kawan lama Marino menepuk bahu sahabatnya. "Sudah, aku paham."
Tuan besar Ken mengangguk sebelum menghela panjang.
Pandangan Kawan Marino jatuh pada sosok gagah pemuda belasan yang berdiri sopan. "Karena menurutku bentuk hidung kalian mirip. Aku pikir putramu."
Marino terkikik kecil. Kepalan tangannya melayangkan bogem palsu tak bertenaga pada bahu sang sahabat.
"Kami sama-sama memiliki darah eropa jadi tidak heran." timpal Marino.
Prada menyembunyikan parasnya dalam tundukan yang semakin dalam hingga suara sang majikan menyentak angan semunya.
"Baik, Ayah Bos!" sahutnya cepat.
"Sepertinya kami akan lama bernostalgia di tempat ini. Prada silahkan pesan makanan di sini atau kalau ingin cari angin di sekitar Martin Mall. Nanti jika kami sudah selesai aku akan menghubungimu."
Prada membungkuk patuh sebelum berlalu.
Helaian keemasan menari terhempas angin petang yang senada dengan kesyahduan tatapan Prada. Pemuda pirang itu memilih bangku cafe atap gedung yang mendekati pembatas. Kerlip warna pelangi lampu kota terpantul pada sepasang iris samudera. Bahunya semakin menurun disertai helaan napas panjang.
Bersantai membantai waktu pada tempat makan atap mall tak sedikitpun menggeser kegelisahan di benaknya. Lukisan nyata kota besar saat malam belum dalam selalu mampu menyeret para remaja berswafoto ceria. Namun hanya hangat selimut usang dalam kamarnya yang dibutuhkan saat ini untuk lari dari fakta. Sayang suara Ayah Bos baik hati tak kunjung menyapa melalui alat komunikasi.
Prada merangkum parasnya dalam telapak tangan.
Hati kecil yang dikepung gundah. Berbagai kemungkinan masa mendatang hilir mudik tak tentu arah dalam layar otaknya. Akankan lebih baik menutup rapat-rapat agar sang sahabat berbahagia dalam masa remajanya? Ataukah mengungkap kenyataan yang telah dirancang saat ini? Kenyataan yang akan mengobrak-abrik cinta pertama yang telah semerbak.
Prada mendaratkan kepalanya pasrah pada permukaan meja dengan dua lengan menguburnya. Secangkir kopi hitam tanpa gula terabai begitu saja hingga terasa beku didekap sang bayu.
Hiruk pikuk malam tak lagi dapat menyentuh gendang telinganya. Bahkan nyaring langkah kaki yang semakin menghampiri tak terdeteksi.
Tepukan keras pada punggung Prada berhasil menyadarkan si pemuda dari gelombang lamunan yang sempat menenggelamkannya.
Prada berpaling pada sosok yang menepatkan diri di hadapannya. Meja kayu menjadi pembatas keduanya.
Mata pemuda itu melebar. Kerja otaknya semakin tak sesuai orbitnya. Pemikiran-pemikiran liar saling bebenturan. Analisis otaknya semakin kacau.
Si gadis rambut merah melambai hingga sepasang biru samudera berkedip.
"Prada, kenapa ada di sini?" tanya suara halus yang dikenalnya lebih dari separuh hidupnya.
Prada hanya menggeleng pelan membalas keingintahuan sang sahabat.
Shara yang berbalut jins panjang dan sweater navy hanya mengernyitkan dahi. Dia tak paham dengan jawaban sang sahabat.
"Bersama Sans?" tanya Shara seolah curiga.
Prada peka akan pasangnya gelombang ragu pada benak Shara. Telapak tangan kanannya segera berayun cepat. "Bos ada les privat piano di rumah. Aku mengantar Ayah Bos."
Akhirnya Shara mengangguk paham. Kelegaan melonggarkan kerja paru-parunya yang sedikit menyempit. Gadis itu tak selayaknya menaruh curiga pada sang kekasih yang tengah berjibaku dengan banyak tuts di balkon rumah.
"Kamu sendiri kenapa bisa sampai sini?"
Kalimat tanya Prada meluncur sesegera mungkin berharap mampu mengubah tema pembicaraan. Tema pembicaraan yang mampu menyamarkan kenyataan.
Shara melipat lengannya pada permukaan meja.
"Aku jalan-jalan bersama paman dan bibi juga sepupu-sepupuku yang masih sekolah dasar. Tapi sepertinya mereka sibuk masing-masing. Aku memutuskan ke sini."
Kening Prada berkerut. "Saudaramu berkunjung ke rumah?"
Shara menggeleng. "Justru aku yang satu tahun belakangan tinggal di rumah adik laki-laki ayah. Rumahnya tak jauh dari rumahku. Ayah sedang melakukan penelitian tentang virus di Jerman dan Belanda. Ibu mendampingi ayah ke sana."
"Begitu, ya." sahut Prada tanpa antusias.
Beberapa pasang mata pengunjung cafe lainnya melirik keduanya dalam diam. Dua pasang di antaranya mengernyit heran menyemai prasangka.
***