Chereads / Bahagia yang Ringan / Chapter 17 - Jauhmu Kosongku

Chapter 17 - Jauhmu Kosongku

Prada menyeka peluh yang mengaliri paras hingga membasahi kaos gelapnya. Semakin punggung tangannya menyapu peluh, semakin bertambah pula volume keringat yang merembes melalui pori-pori kulit. Susunan piring kotor bekas tamu yang menggunung telah dibilas tuntas. Prada menyusunnya tengkurap agar cepat kering pada tempat khusus.

Tumpukan cangkir kotor berikutnya mendarat manis di tempat cuci menggagalkan kegiatan Prada meregangkan otot. Karyawan yang bertugas menjaga kebersihan dalam cafe memamerkan ibu jarinya sebelum kembali bekerja.

Sepasang tangan kekar Prada menyambung tarian lincah di bawah guyuran air keran yang sempat tertahan setelah membaluri tumpukan cangkir keramik dengan busa sabun. Kemudian meletakkan tengkurap di sebelahnya jika sudah terasa kesat.

Seorang pemuda dua puluh tahunan segera menuntaskan estafet tugas dari anak SMA di sebelahnya. Jemari kanan yang berselimut kain lap berotasi di dalam lambung cangkir. Pemuda berambut keriting gondrong, kulit pucat dan wajah bulat. Dia mahasiswa kekal yang siap-siap dilempar jika tak mampu menamatkan cerita pilu perkuliahan.

Phoe-G nama rekan setim Prada dalam membasmi kuman dan bakteri alat makan. Mereka bergabung menjadi keluarga lecker bakery hanya selisih satu hari.

Phoe-G meletakkan cangkir kering terakhir. Dia memperhatikan Prada yang tampak kepayahan.

Phoe menepuk bahu rekannya. "Tuan Pra, kamu sedang sakit?"

Prada menoleh sejenak untuk menggeleng kemudian menuang sabun cair dalam wadah.

Phoe menyambut seorang pelayan pria yang baru menginjakkan kaki di dapur kemudian menerima segunung piring kotor.

Phoe menyinggung rusuk Prada. Bahunya menggeser kedudukan Prada hingga berpindah dari muka wastafel.

Prada menoleh heran. Sorot sepasang iris samuderanya penuh tanda tanya. Entah mengapa Prada enggan berkata-kata, berbeda dengan jati dirinya yang selalu ceria.

"Kamu seperti menyimpan beban berat. Malam ini memang pengunjung dua kali dari malam-malam sebelumnya. Karena ada pengenalan aneka jajanan tradisional. Aku tidak ingin terjadi sesuatu. Kita tukar posisi, Tuan Pra!" papar Phoe menjawab kebingungan Prada.

Prada mengangguk pelan. Jemarinya meraih kain lap khusus yang tercampak di antara barisan cangkir dan piring.

Phoe menoleh pada Prada yang tertangkap basah melamun. "Kamu sedang memikirkan apa sebenarnya? Kamu seperti sedang gelisah. Ceritakan! Aku siap mendengar."

Prada kembali menggeleng. "Aku tidak apa-apa, Tuan Kak Phoe!"

Phoe mendesah panjang. Jemari kanannya segera memutar keran setelah mengubur segunung alat makan kotor dengan busa melimpah.

Derap sepatu pantofel menarik perhatian dua pemuda yang tengah tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Beberapa asisten juru masak yang berlalu lalang seraya menggaet peralatan makan, memberi salam sejenak.

Manager muda menghampiri Prada. Pria itu selalu berbalut setelan jas rapi dan berkharisma.

Prada tersenyum berat menyambutnya. Sementara Phoe-G melempar hormat jenaka dengan tetesan busa dalam telapak tangannya.

Arco menepuk bahu Prada. "Saya minta tolong, Tuan Prada! Segera ganti pakaian dengan seragam pelayan dan membantu tim pelayanan yang tengah kualahan karena kekurangan orang."

Prada pastilah mengangguk. Satu-satunya jawaban tanpa beban. Keputusan tepat tanpa debat. Dia tak punya pilihan dan tak berniat memilih. Diapun tak bersemangat mendengar uraian tugas tambahan. Biarlah untuk saat ini dirinya mengalir tanpa berpikir. Biarlah untuk malam ini benaknya mencampakkan semua harapan.

"Lalu saya bagaimana, Tuan Kak Manager?" tanya Phoe meratapi nasibnya yang akan menjadi pemain tunggal dalam pentas cuci piring.

Arco tersenyum. "Aku meminta satu staff kebersihan membantu di sini."

Mata hitam Phoe berbinar. "Matur thank you, Tuan Kak Manager Arco." ucapnya.

Arco mengangguk sebelum berlalu disusul Prada di belakang punggungnya.

Prada telah rapi berbalut kaos lengan pendek oranye, asesoris celemek gelap dan topi hitam terbalik. Telapak tangan kanan menahan nampan berisi pesanan meja nomor tujuh belas. Dua kopi pahit dan beberapa macam aneka jajanan tradisional.

Memandang Lecker Bakery yang begitu luas dan padat seolah mengalirkan nyeri susulan dalam kepalanya. Entah akan ke mana arah sepasang tumitnya melangkah. Prada belum tahu urutan meja pelanggan dimulai dari sisi mana.

Sejenak iris cerahnya mengamati. Akhirnya dia menemukan fakta tentang urutan nomor meja yang dimulai dari ambang pintu masuk.

Prada melangkah berirama di antara lautan manusia yang menjejali ruangan. Antrian mengular hingga memenuhi celah antar meja. Bibirnya menggumamkan hitungan dasar hingga tujuan di depan mata.

Senyum ramah menyertai sapaan untuk dua tamu. Dia segera menyajikan pesanan dengan berhati-hati.

Prada menunduk sopan. "Terima kasih atas pesanan anda. Selamat menikmati!"

Suara renyah satu dari dua wanita dewasa sekitar seperampat abad menahan langkah Prada yang hampir berlalu.

Prada berpaling. Tatapan birunya mendata satu per satu. "Ada pesanan tambahan, Kak?"

Kedua wanita cantik saling tatap. Seorang berambut merah keunguan mengulum senyum.

"Kamu baru di sini?" tanya wanita rambut gradasi merah ungu berbasa-basi.

Prada mengangguk sopan.

Wanita berhelai navy terkikik senang bagai anak kontrakan menang undian. "Berarti setiap malam bisa ketemu sama kakak ganteng ini, kan?" celetuknya.

Prada tersenyum kaku. Jemari kanannya menggaruk tengkuk kikuk.

Si wanita navy cantik tak sanggup menggeser bola matanya dari bule ganteng di hadapannya. "Namamu siapa?"

Prada merapatkan sepasang telapak tangan di depan dada. "Saya Prapto, Kak! Saya tidak setiap hari di sini karena saya masih sekolah, Kak!"

Kedua wanita cantik itu saling tatap. "Wah, brondong. Nama yang eksotis," celetuk mereka.

Sebelah sudut bibir Prada terangkat heran.

"Belum punya pacar, ya? Pasti belum, kan? Masih sekolah kemungkinan masih single." tanya si navy memaksakan harapan.

"Maaf, kak! Saya sudah punya kekasih," balas Prada tegas.

Keduanya memasang wajah patah cinta, putus asa dan gundah gulana.

"Sayang sekali, ya," tukas si rambut dua warna.

Kawannya mengangguki. "Beruntung sekali pacarmu. Apa kalian teman sekolah?"

Prada mulai jengah. Dia pikir dengan jujur bisa menamatkan wawancara tak bermakna ini. Namun sesi tanya jawab tetap berlangsung.

"Iya, tapi dia sudah pergi meninggalkan saya." lirih Prada

Kedua wanita terperanjat. "Apa? Mana mungkin bule ganteng ditinggalkan pacarnya. Dia gadis populer pastinya, ya? Bisa-bisanya mencampakkan populasi dilindungi."

Prada mengutuk mulutnya. Entah mengapa kemiringan otaknya semakin curam hingga mencurahkan lelah hati pada orang asing. Sunggu menghancurkan harkat martabatnya sebagai pemuda menawan.

Prada menunduk. "Dia gadis biasa, Kak. Hanya saja dulu aku pernah tidak mengakuinya sebagai kekasih sehingga dia pergi."

Si rambut merah ungu terang menggaruk pelipisnya. "Kalau tidak mengakui, kenapa kamu bilang sudah punya pacar tadi?"

Prada menunduk semakin dalam. "Saya menyesal, Kak! Jadi dalam benak dan hati ini saya masih kekasihnya."

Tangan keduanya saling menggenggam haru. "Manis sekali...." puji keduanya serempak.

Prada membungkuk ringan sebelum permisi undur diri. Prada bergegas tanpa mengacuhkan dua suara cumengkling yang meneriakkan namanya.

Ketika retina terbelalak, langkah tertahan dan bibir yang bergetar, bayangan sosok itu tercetak besar. Di depan meja kasir berdiri tegak gadis mungil bersetelan rok panjang dan atasan lengan pendek. Kedua sisi rambutnya digelung rapi. Meskipun hanya sebagian paras pucatnya yang tampak, penglihatan dan ingatan Prada masih sehat untuk memanggil memori dalam benaknya.

Prada tidak hanya merasa yakin gadis yang tengah berbincang serius dengan Manager Arco pastilah dia yang telah tersakiti, tapi juga percaya pada debaran hatinya.

Kedua lutut Prada bergetar. Untuk beberapa saat kakinya bagai melekat di tempat hingga sosok itu berlalu menapaki lorong menuju kamar kecil.

Prada bergegas mengikutinya. Lengannya segera meraih bahu sang gadis saat tak ada lagi jarak berarti antara mereka.

Si gadis berbalik badan. Parasnya yang manis mengernyit heran.

Irama satu detak jantung Prada terasa sumbang. Sungguh nyeri mengetahui harapan tak sesuai apa yang ada di hadapan.

Prada menelan ludah panik. "Maafkan saya, Nona! Saya kira anda Hanna."

Bibir gadis berkulit sawo matang melengkung manis. "Kamu mencari Hanna, ya?"

Prada mengganguk kaku.

Pahatan usia nampak pada paras sang gadis. Aura dewasa jauh melebihi Hanna.

Si wanita mengulurkan tangan kanan. "Perkenalkan .... saya Martania. Panggil saja Nia. Saya bagian marketing di lecker bakery. Jadi saya jarang terlihat karena harus mengurus bazar promosi di berbagai tempat. Kamu anggota baru kami, ya?"

Prada menjabat singkat tangan yang tersaji di hadapannya. "Iya. Saya Prada, Nona Nia."

Si wanita bergelung dua menelusuri penampakan pemuda belasan di hadapannya sebelum mendesah panjang. "Hanna itu tidak pernah mengambil jam kerja malam. Kamu teman sekolahnya?"

Prada tersenyum miris. "Lebih dekat dari teman, Nona! Satu bulan belakangan kami mengambil jam kerja yang sama. Kami masuk petang."

Nia meninggikan sebelah alisnya. "Teman dekat? Setahuku hanya Elang satu-satunya pemuda yang dekat dengan Hanna."

Umpatan Prada yang hampir terlepas tertahan akal sehatnya. Dia tidak mungkin memuntahkan celaan dalam lingkungan yang penuh kesantunan. Satu nama yang membuat kepalanya erupsi. Elang. Pria baik dan tenang yang selama ini dalam bimbingannya. Karateka yang berbakat pada tingkatannya.

"Anda mengenal ... Elang?" pertanyaan penuh penekanan pada akhir kalimat.

Nia melipat lengan. "Tentu, keluarga lecker bakery tidak mungkin tidak mengenalnya. Dia putra kedua dari pengacara cerdas termahal di wilayah barat. Tuan Raven juga pengacara dari lecker bakery."

Prada menunduk dalam. Bahkan ketika Martania permisi undur diri, si pemuda hanya mengangguk lemah. Bukan saatnya mengolah kepala hanya untuk Elang. Ada hal lain yang mengganjal dalam angan-angan. Prada meyakini biru samuderanya masih waras. Gadis yang tadi berdiskusi dengan Manager Arco tampak seperti Hanna. Hanna yang berkulit susu. Namun mengapa saat terkejar di lorong kamar kecil berbeda.

***