Pandangan Elang beredar dari ujung tempat parkir siswa hingga gerbang utama sekolah. Lingkungan sekolah telah lengang oleh hiruk pikuk gelombang siswa yang berebut melintasi gerbang sekolah siang tadi. Sore ini hanya beberapa gelintir penampakan saja yang berlalu lalang tanpa mengenakan atribut sekolah. Mereka mengenakan seragam ekskul masing-masing. Hanya beberapa ekskul saja yang diselenggarakan hari ini.
Elang merapatkan jaket biru gelap yang melapisi setelan putih berikat pinggang cokelat.
Sekali lagi pandangannya berotasi, mencoba keberuntungan untuk menjumpai seseorang di sore berangin ini. Asanya jadi nyata ketika bayangan dua gadis semakin membesar dalam retinanya.
Gadis mungil dan sahabatnya nampak melangkah tergesa meninggalkan gedung sekolah. Emosi tak terkendali seolah menggantung di atas kepala mereka. Hanya menunggu waktu munculnya gelegar guntur dan kilat cahaya. Kondisi mencekam yang akan ditutup dengan badai air mata.
Elang menghampiri keduanya. Menyambut dengan lengkungan ceria.
"Kalian baru keluar kelas ekskul?" tanya Elang berbasa-basi mengindahkan aura gelap yang terasa.
D menggaruk tengkuk kikuk. "Sudah dari tadi, Kak Elang. Tapi...." jawabnya menggantung.
Elang terpancing. "Tapi apa?"
D merendahkan intonasi suaranya. "Hanna dihadang singa betina yang kelaparan."
Elang memicing dengan seribu tanya dalam tatapannya. "Apa yang kamu bicarakan? Aku tidak mengerti. Siapa itu singa? Singa lapar bagaimana?"
D mendekatkan telunjuknya pada pertengahan bibir disertai desis lirih.
Dahi Elang berkerut.
"Ratu pemandu sorak sekolah kita salah paham dengan hubungan Hanna dan Kak Prada. Dia menghadang Hanna di taman belakang sekolah." papar D berbisik.
Elang terhenyak. Parasnya segera berpaling pada Hanna yang hanya bergeming dalam tundukan kepala.
Jemari Elang meraih sepasang bahu Hanna. "Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Elang cemas.
Hanna mengagguk tipis. Kepalanya masih tertunduk menyembunyikan matanya yang memanas.
Elang menghela napas panjang. "Sebenarnya ada masalah apa sampai kalian berurusan dengan gadis yang seharusnya tidak berurusan dengan orang seperti kita?"
Deborah mengawali narasi. "Begini, Kak...."
Elang diam. Pria manis itu memasang telinga siap mengetahui kenyataan yang terjadi.
Deborah melanjutkan, "Aku tahu kalau Hanna itu mengidolakan Kak Prada sepertu aku yang mengidolakan Kak Sans. Hanya sebatas itu saja. Tadi saat Hanna berbincang dengan Kak Prada singa betina salah sangka. Dia pikir ada apa-apa di antara mereka."
Elang membola. Tatapannya kembali jatuh pada Hanna yang sibuk meredakan isakan. Jemari kekar Elang membatu Hanna menyapu aliran bening yang membasahi parasnya.
Elang cemas. Jantungnya bekerja sedikit lebih keras. "Apa dia sudah menyakitimu, Hanna?"
Hanna menggeleng cepat.
Elang mendesah lega mendapatkan jawaban Hanna.
Elang membelai helai hitam Hanna yang terasa selembut sutera. "Sudah, sayang! Tenanglah, ada aku di sini. Tidak akan terjadi apa-apa." hiburnya
Bibir D menganga mendengar panggilan sayang yang menerobos tanpa ragu dari bibir Elang. Fakta baru yang tampak antara Hanna dan Elang. Padahal panggilan dari Elang yang mendalam sering muncul ketika meredakan kesedihan Hanna.
"Kan sudah aku bilang jangan mengidolakan orang yang aneh-aneh," nasihat Elang.
Hanna memukul Elang pelan. "Tidak aneh, kok! Aku tidak mengidolakan siapa-siapa. Hanya saja aku merasa suka sama Kak Prada."
Ada jeda dalam diam sejenak sebelum si pemuda manis terbahak. "Iya, maksudku jangan menyukai orang aneh."
"Sudah aku bilang bukan orang aneh!" sangkal Hanna kesal.
Elang meraih mahkota sutera hitam Hanna kemudian mendekapnya lembut. "Prada itu meskipun hanya anak asuh keluarga Ken, dia salah satu siswa tersohor di sekolah kita. Dia tampan, seorang pengawal pribadi pewaris keluarga Ken dan seorang pelatih utama karate."
Hanna memberengut. Tangan mungilnya memukul dada Elang tak bertenaga. Elang selalu hadir dalam awan kelabu Hanna. Dia menenangkan dengan sapaan sayang. Dia menepuk kepala Hanna perlahan bahkan mendekap ketika air mata ada. Sahabat karib yang selalu mendampingi cerita hampir seumur hidup Hanna.
"Emang apa anehnya?" tanya Hanna bersikeras.
Elang tertawa kecil. "Aneh dalam sudut pandang kita karena kita hanya murid biasa tidak menonjol seperti mereka. Sudahlah, kamu cari idola lain saja untuk disukai."
Hanna masih nyaman dalam aroma mint bercampur peluh yang semerbak dari atasan putih Elang. "Lalu aku harus menyukai siapa?"
"Bisa saja orang itu pemuda di dekatmu. Seperti aku misalnya," celetuk Elang percaya diri.
Hanna tertawa. Lengannya segera menekan dada Elang. Elang melepaskan belaian pada kelembutan beraroma buah.
Hanna bertolak pinggang. "Sungguh lucu hingga aku hampir terbahak."
Elang mengulum senyum. "Akhirnya kamu tertawa."
Hanna spontan bungkam. Kepalanya menunduk malu menyembunyikan serangan merah pada sepasang pipi bulat cerah.
Elang menyentuh dagu Hanna hingga sang gadis kembali menengadah. Telapak tangan lebar merangkum sepasang rahang mungil.
Hanna mengerjab beberapa kali ketika tatapan Elang serupa predator yang membidik target. Retina yang tegas dan siaga.
"Aku serius," bisik Elang
Deborah mendadak gerah menyaksikan siaran langsung drama asmara dunia nyata. Telapak tangannya mengibas cepat. Permukaan kulitnya terasa panas di antara tiupan bayu sore yang dingin.
Hanna terkesiap. Bungkam menjadi pegangan. Benaknya tak cukup pandai membedakan keseriusan dengan candaan untuk saat ini.
Deborah bertepuk ringan. Kakinya melonjak-lonjak ceria. Rasa bahagia dalam dadanya membuncah hingga ke angkasa.
"Keputusanku tepat membawa Hanna ke sini karena aku membawa Hanna pada jodohnya." celetuknya cengengesan.
Hati Elang sumringah. Batinnya menyetujui perkataan D dengan tiga kali amin sebagai pamungkas.
Wajah Hanna menekuk kesal. "Kalian memang berencana membuat aku jadi malu." tuduhnya.
D meraih bahu Hanna. "Tidak perlu membuatmu malu, tingkahmu sudah memalukan."
Hanna merajuk. Dia memukul bahu D sedikit kuat. Dia berusaha keras mengulum bibirnya menahan tawa. Meskipun kesal, Hanna sangat berterima kasih pada dua karibnya.
Elang meraih kesepuluh jemari Hanna. "Ternyata mudah membuatmu kembali bahagia."
Hanna mengayun genggaman keduanya. Tak ada kalimat yang ingin dia lontarkan untuk menanggapi Elang. Dia memilih bungkam dalam senyuman.
Lengkungan tipis bibir Elang terbit untuk kesekian kalinya. "Baiklah, setelah ini aku akan mengantarmu pulang atau ke lecker bakery?"
"Aku mau pulang, Elang!"
Elang mulai kembali menjejakkan kaki pada paving halaman sekolah. Tangan kanannya masih mendekap jemari Hanna, menuntunnya melintasi pintu gerbang.
D berlarian menggapai keduanya. "Hei, kenapa aku tak dianggap? Aku juga berjasa!" protes D.
Sementara itu sepasang bola mata samudera menegang kuat dari kejauhan. Urat dua pelipisnya membentuk ukiran amarah. Pemilik mata biru itu menyaksikan keseluruhan episode dengan geram. Tangannya terkepal kencang.
Kepalanya yang berdenyut semakin terpuruk. Nyeri semakin nyata hingga gendang telinga berdenging.
Niat hatinya melangkahkan kaki tapi betisnya enggan berpindah. Dia pasrah terpasung pada pijakan. Dia terombang-ambing oleh gelombang keadaan. Dia memberatkan tanggung jawabnya sebagai pengawal pewaris keluarga Ken dari pada rasa dalam hatinya.
Pemuda berambut gelap mengikuti arah pandang pengawalnya. "Melihat apa?"
Si pirang menggelang cepat membalasnya.
Tuan muda tak menggeser tatapannya. Dia memastikan siapa yang tengah menyita seluruh emosi Prada.
Beberapa saat kemudian Sans menghela kasar.
Tangan Sans menepuk bahu sang sahabat. "Prada, ikuti kata hatimu. Jangan menyakitki anak orang. Aku tahu semua yang kamu lakukan hanya untuk melindungiku dan Shara. Namun pernahkah kamu melindungi perasaanmu sendiri?"
Prada berpaling pada Sans. Matanya melebar mendengar barisan kalimat panjang dari bibir Sans.
"Dia sudah berlalu bersama pemuda lain." lanjut Sans.
Prada mengusap parasnya kasar. "Sebenarnya perasaanku tidak perlu kamu khawatirkan karena ada hal yang lebih besar yang seharusnya dicemaskan."
Dahi Sans mengernyit. "Apa maksudmu?"
Prada melipat kedua lengannya. "Hal yang sangat membahayakan untuk hubunganmu dengan Shara."
***