Chereads / Bahagia yang Ringan / Chapter 15 - Mulus Paras Rembulan 2

Chapter 15 - Mulus Paras Rembulan 2

Pembina ekstra kulikuler tata boga baru saja rampung memaparkan isi informasi kontes memasak usia remaja tingkat kota dan kabupaten. Kegiatan ekstra yang rutin menyapa setiap satu minggu sekali itu menambah jam pertemuan menjadi setiap selesai jam sekolah untuk sementara waktu.

Penghuni markas ekskul tataboga dimonopoli oleh gadis-gadis berseragam celemek yang cekatan menaklukkan bahan mentah. Ibu Gingeria Rosa, pembimbing tetap kegiatan mengkreasi resep sedikit menemui jalan buntu dengan syarat kontes memasak dua bulan mendatang. Setiap kelompok harus beranggotakan tiga orang siswi dan minimal seorang siswa.

Sudah tujuh hari tujuh malam ekskul tataboga membuka pendaftaran khusus pria. Namun susunan lembar formulir kosong masih utuh dan kotak penyerahan formulir tak berpenghuni.

Tidak mudah menggiring pria masuk ekskul tataboga meskipun dengan jutaan tipu daya. Bahkan mereka melintas begitu saja di ambang pintu ruangan tata boga tanpa melirik selembar kertas yang melekat pada dinding dan tercetak tulisan tebal di sana.

Bagaimana mungkin para jagoan olahraga berat, pendaki dataran tinggi dan kekasih setia dasar samudera mau menyempatkan diri mencium aroma ruang kelas yang penuh barisan kompor, oven dan peralatan tempur pengolah berbagai pengisi energi tubuh lainnya.

Ibu Gin, panggilan pembimbing ekskul, menutup kegiatan dengan salam sopan sebelum meninggalkan lantai depan papan tulis.

Desahan lelah serempak meramaikan ruang kelas setelah daun pintu tertutup dari luar sepeninggal pembimbing ekskul tata boga.

Ruangan berdengung bagai sarang lebah. Keduapuluh empat penghuninya saling berdiskusi tegang dengan anggota kelompok masing-masing. Setiap kelompok yang beranggotakan tiga bidadari kebingungan mencari pangeran. Pangeran penyelamat yang pandai menguleni adonan dan mencincang bawang

Hanna bersisian dengan Deborah dan Marco. Hanna dan Deborah serempak mendaratkan kepala pada permukaan meja kayu. Sementara Marco mendaratkan kotak bekal makanan ukuran besar.

Marconah sekarsari, gadis sejangkung galah olimpiade dan sepipih penampakan papan bangunan. Model rambutnya terlalu pendek menyerupai pria. Anting rantai perak panjang menjuntai hampir menyentuh bahu. Kulitnya sewarna langsat cerah. Nafsu makannya bersaing tipis dengan kuli panggul pasar sembako.

Sementara anggota ekskul tataboga satu per satu melangkah keluar kelas, Marco justru antusias mengungkap isi kotak bekal di depan matanya.

Bunyi berisik berpisahnya penutup dengan wadahnya mengusik kelelahan Hanna dan D. Aroma gurih sukses membuat kedua orang itu tinggal landas dari permukaan meja.

Hanna menatap dengan binar. "Banyaknya...."

Leher D menjulur. "Apa itu?" timbrungnya.

Marco menyeringai bangga. "Nama makanannya adalah Nasi uduk sambal terasi dalam indahnya taman hijau kolam ikan asin!"

Hanna dan D melongo serentak.

Tema dari bekal Marco hari ini sedikit unik dengan judul sepanjang sinetron nasional yang selalu kejar tayang. Terendus aroma gurih nasi uduk yang bertabur bawang goreng. Sambal merah menyala duduk manis di sudut kotak makan berdampingan dengan hijaunya sayur rebus. Ikan asin jumbo menyelimuti sebagian nasi berbumbu itu.

Marco menarik dua lembar kertas minyak dari dalam perut tas sebelum membaginya pada dua rekan kelompok tata boga.

Hanna dan D saling tatap tak paham.

Marco membagi bekal makan siangnya pada dua makhluk yang kelaparan dengan sama rasa, sama cinta dan sama rata.

Hanna dan D terpaku pada gundukan makanan di hadapan mereka. Ludah mengaliri tenggorokan mereka yang setandus gurun sahara.

Setelah melumuri telapak tangan dengan antiseptik khusus, Marco meraih satu kepal nasi. "Kita makan dulu baru setelah itu mencari sosok pangeran bercelemek yang akan menyelamatkan hidup kita."

Bagai terhipnotis aroma surga, tangan kanan keduanya sigap memenuhi rongga mulut dengan kombinasi gurih nasi, pedas sambal dan renyah dedaunan.

Keringat mengaliri pelipis Hanna. Mulut D mengunyah tergesa. Virus makan rakus mulai menginfeksi hanya dalam kedipan mata.

"Ini daun apa? Rasanya lumayan." celetuk D diangguki Hanna.

Marco menyapu sudut bibirnya setelah menguras bersih isi kotak bekalnya. "Daun kelor."

Hanna dan D membeku seketika. Mereka hanya mampu saling melirik melintasi sudut mata.

Bibir Hanna yang penuh nasi bergetar. "Daun ... mistis?"

Punggung tangan Marco mendarat pada ubun-ubun Hanna. "Jangan buat kacau. Ini jaman moderen saking moderennya sudah mendekati akhir jaman. Sudah banyak penelitian tentang daun kelor. Bisa untuk obat. Kita yang sehat bisa semakin kuat. Bisa juga membantu membuat otak kita yang buntu menjadi cemerlang."

Hanna menaikkan sebelah alisnya sementara D mendorong kertas minyak sedikit menjauh.

"Diberi ilmu pengetahuan malah bengong. Ketahuan suka percaya tahayul," celetuk Marco.

Hanna hanya bergeming. Bulu roma sekujur tubuhnya mulai bangkit dari rehat. Entah apa yang melintas dalam benaknya. Hanna seolah tak mampu memproses kerja otak.

Pandangan Hanna terlempar pada ambang pintu ruangan yang terbuka. Banyak sosok berseragam berlalu-lalang pada lorong di balik dinding ruangan ekskul tata boga. Salah satunya pemuda berbalut serba putih yang menyita detak jantung Hanna. Pemuda itu melintas cepat setengah berlari.

Hanna beranjak tiba-tiba. "Mar, sepertinya perkataanmu ada benarnya. Aku menemukan pangeran bercelemek yang akan membawa kita menjadi juara."

D dan Marco kompak berpaling pada Hanna.

Si gadis mungil berhelai sepanjang panggul menghampiri wastafel di sudut pintu kemudian bergegas menyapa udara lorong.

Hanna mengikuti langkah cepat si pemuda hingga taman belakang. Dia mempercepat laju tungkainya bersusah payah menggapai pemuda berbalut putih. Si pria menoleh setelah merasakan tepukan halus di punggungnya.

"Hanna? Masih di sekolah? Kamu belum pulang dan kerja sambilan di toko roti? Ada apa, sepertinya ada yang gawat?" Rangkaian pertanyaan Prada tersusun sepanjang gerbong kereta.

Hanna mengatur napasnya yang sedikit lebih giat. Kepalanya menggeleng cepat.

"Aku baru saja selesai kegiatan tata boga. Aku mau minta tolong, Kak Prada! Kakak sudah selesai melatih?"

Si Pelatih muda karate mengangguk dalam senyum lembut. "Aku mau berganti pakaian setelah itu kerja sambilan. Minta tolong apa, Hanna?"

"Lalu Kak Sans? Kalian tidak bersama?"

Prada menghela panjang. "Dia ada di perpustakaan mengerjakan soal-soal latihan untuk persiapan mengikuti olimpiade sains. Nanti setelah mengantar dia sampai rumah, aku akan menuju Lecker Bakery."

Hanna terdiam paham.

Paras Prada menghampiri pipi bulat kemerahan milik Hanna. "Lalu cute girl ini sedang butuh pertolongan apa?"

Hanna tersentak. Parasnya menunduk malu. "Aku ingin...."

Bunyi derap langkah geram yang kian nyaring memenggal kalimat Hanna yang belum sempurna. Si gadis tenar menerobos celah sempit antara Hanna dan Prada.

Sang putri sekolah bertubuh semampai membatasi perbincangan keduanya. Si cantik yang tampak aduhai dalam balutan kaos oblong dan legging gelap. Peluh berlomba meluncur pada lekuk lehernya. Sepertinya si pimpinan pemandu sorak baru saja menyelesaikan latihan tari moderennya.

Beautya menekan tubuh Hanna pelan. Kaki si gadis mungil bergeser ke belakang.

Hanna menahan napas.

Mata Beautya mendelik di hadapan Hanna. "Jadi kamu pura-pura berteman dengan Shara, si gadis berprestasi, karena ingin mendekati Prada?"

Hanna melirik Prada melalui celah antara bahu dan kepala Beautya. Bola mata Prada beredar cemas. Tatapannya sukar diurai maknanya.

"Jadi kamu ingin menikung Shara yang selama ini disukai Prada?" tanya Beautya melanjutkan.

Hanna masih setia bergeming. Otaknya kehilangan ide jitu menjawab dengan kalimat tepat.

Beautya melipat lengan rampingnya. Kulitnya yang gelap bercahaya bagai mutiara dalam lautan yang berpendar ditimpa sang surya.

"Masih diam? Lalu dari mana kamu punya nyali mengalahkan Shara? Kamu hanya gadis biasa tanpa talenta."

Hanna memejamkan kelopak matanya. Berharap gadis kurus menjulang secepatnya menghilang. Namun keinginan hanya akan jadi harapan tanpa disertai upaya.

Langkah kaki cepat seseorang terdengar mendekat disertai teriakan histeris. Lengannya segera meraih bahu Hanna menjauh dari sang singa betina.

Gadis manis berambut gelombang menyembunyikan Hanna di balik punggungnya.

Beautya menguap bosan. "Satu lagi orang aneh dari kumpulan murid biasa."

"Sebentar! Jangan salah paham dulu Kak Princess." sela Deborah kehilangan batas sabar.

Beautya menaikkan sebelah alisnya yang gemulai. "Apa maksudmu dengan salah paham?"

Deborah mengangguk yakin. "Kami ini meskipun hanya murid sangat biasa sekali sampai-sampai sering serobot siomay sahabat, tapi tetap seorang gadis yang mengidolakan seorang pangeran tampan. Meskipun sering halu tapi tidak berniat merayu."

Kini dua alis gemas Beautya sama tinggi. "Benarkah?"

D kembali mengagguk sangat yakin. "Ya, tidak ada salahnya kalau kami bermimpi punya kekasih Kak Sans atau Kak Prada. Mimpi saja ini ya!"

Hanna menatap heran pada D. Sementara Prada tak terbaca apa yang tergambar pada mimik wajahnya.

Beautya masih setengah percaya. Dia menyipit pada penampakan gadis manis sawo matang di hadapannya.

D merogoh telepon pintar dari saku jasnya. Setelah beberapa saat dua ibu jari berdansa pada permukaan kaca, lengannya terulur di hadapan Beautya.

Beautya mengamati sejenak rekaman singkat pada ponsel D.

D sedikit membusung. "Aku melihat Kak Prada dan Kak Shara berbincang akrab di cafe atap Martin Mall. Memang menurut pengakuan Kak Prada, dia sedang mendekati Kak Shara, kan? Mungkin saja mereka akan menjadi pasangan dalam waktu dekat."

Lensa mata Hanna menangkap sekilas bayangan rekaman pendek dalam posel D. Mimik kedua pelaku cerita berbinar ceria. Tawa mengiringi perbincangan segar penuh kebahagiaan.

Hanna membidik mata Prada. Satu ketukan jantung Hanna berdentum keras ketika tatapan Prada berpaling darinya. Rasa nyeri itu mendadak tembus hingga ulu hati.

Tubuh Beautya berotasi menuju Prada. "Bagaimana Prada? Apa hubunganmu dengan Hanna hanya sebatas idola dan penggemarnya?"

Aura Prada menggelap. Ada jeda beberapa detik sebelum kepala pirang mengagguk pelan. "Ya, tidak lebih dari itu."

Hanna terperangah. Rasa kebas tiba-tiba seakan membelit sepasang tumitnya dan merambat pelan menuju kepala. Energi dalam tubuh Hanna seolah menguap lenyap. Hanna hampir limbung. Namun kewarasan benaknya mampu mempertahankan tegaknya rangka tubuh Hanna.

Hanna menghirup udara pengap di sekelilingnya sebelum memulai menentukan arah lidahnya.

Hanna berupaya penuh melengkungkan bibirnya. "Benar, Kak Beautya. Aku hanya penggemar Kak Prada. Kami bukan sepasang kekasih. Mana mungkin kami memiliki hubungan. Itu tidak akan pernah terjadi."

Sebelah sudur bibir Beautya tertarik. "Bagus! Hanya Prada dan Shara pasangan serasi. Aku tidak akan membiarkan Prada jatuh pada gadis biasa yang tidak berguna."

Prada menutup layar matanya sejenak sebelum dua telunjuknya mengurut pelan dua pelipis.

Hanna meraih lengan D. D beranjak mengikuti langkah Hanna setelah memahami isyarat kepala.

Hanna berpaling sejenak pada Prada. "Kak Prada terima kasih untuk semuanya. Selamat tinggal"

Prada terbelalak. Mulutnya bergetar seolah akan melontarkan balasan. Namun pilihannya hanyalah kembali diam. Sepasang biru samudera hanya sanggup menatap Hanna yang telah memunggunginya dan berlalu.

***