Chereads / Bahagia yang Ringan / Chapter 13 - Bersama Diam 3

Chapter 13 - Bersama Diam 3

Hanna mendaratkan sepasang tumitnya pada pelataran halaman Lecker Bakery yang padat. Memang tak mudah menggapai tempat duduk penumpang motor besar seperti halnya saat meninggalkan jok belakang. Tubuh mungil Hanna harus berupaya keras melakukannya.

Prada hanya melirik tingkah gemas si imut dari balik spion kiri sembari menahan tawa kecilnya. Prada bukannya jahat. Prada hanya tak ingin melewatkan manisnya bibir mungil itu mengerucut saat berjibaku dengan ketinggian sepeda motor besar Prada.

Prada bagai menghayati setiap debar cepat dalam rongga dadanya akibat tingkah polah Hanna.

Bibir maskulin Prada tak hentinya mekar.

Sementara Hanna merapikan seragamnya yang sempat dipermainkan angin jalanan, Prada meletakkan pelindung kepalanya pada spion kanan.

Pandangan Prada beredar dari ujung pelataran parkir lecker bakery hingga pembatas bangunan di sebelahnya. Tak ada celah yang tersisa untuk kendaraan roda empat. Beruntung motor Prada masih bisa dijejalkan pada deretan parkir roda dua sehingga tidak harus melangkah terlalu jauh menuju tempat pembuatan roti langgganan bunda bos Ken.

"Sudah gelap tapi masih ramai." celetuk Prada.

Hanna berpaling pada Prada sebelum mengangguk-angguk. "Lecker Bakery buka dari jam tujuh pagi hingga sepuluh malam. Kalau malam begini ada menu rahasia racikan kopi spesial dari Kakak Manager. Sekaligus ada diskon 90% untuk roti yang dimasak hari ini mulai jam empat sore sampai sepuluh malam."

Prada membelai dagunya sembari manggut-manggut.

"Tapi roti itu khusus untuk yang kurang mampu. Antriannya ada di sisi barat toko roti. Jadi para tamu kelas atas hanya menikmati resep rahasia dari Kak Manager."

Prada mengernyit curiga. "Kak Manager? Sepertinya kau akrab dengannya."

Hanna menahan tawa. "Bagaimana tidak akrab aku ini anak buahnya. Kak Arco melarang kami memanggilnya bapak karena memang dia masih

muda dan lajang."

Prada membuang muka. Hatinya kesal setiap kali bibir mungil Hanna mengeluarkan sebuah nama seorang pria.

"Sampai di sini saja, Kak Prada. Aku akan masuk sendiri."

Prada menolak. Jemarinya segera meraih pergelangan tangan Hanna.

Hanna menatap Prada heran.

Prada hanya mampu membuang muka. Jantungnya tak kuasa melawan keindahan mata bulat kelereng di hadapannya. "Aku antar sampai dalam."

Bibir Hanna membulat. Gadis imut itu diserang panik entah sebab apa. Kepala gadis itu berkali-kali menoleh sembarang arah. Rasa hati hendak menolak tapi lengan terasa berat. Membiarkan langkah Prada mengiringinya menuju toko roti itu juga bukan pilihan tepat. Hanna masih setia menunduk sembari menghitung dua pasang langkah harmonis mendaki anak tangga menuju pintu kaca hingga paru-paru keduanya telah menghirup aroma mentega berbaur moka.

Hanna membuka layar matanya. Ruangan lapang terasa sesak oleh pengunjung yang berhimpit hampir tak bercelah. Antrian mengular di hadapan tiga kasir laki-laki. Para pelanggan telah menyiapkan kesabaran seluas samudera hanya untuk segelas minuman dingin ataupun hangat. Minuman racikan berbahan dasar kopi yang tiada duanya di kota ini.

Prada menaikkan sebelah alis pirangnya yang tebal. "Apa? Sudah gelap masih padat?"

Hanna mengangguk mantap. Ada setitik rasa bangga dalam hatinya.

Samar-samar tertangkap suara berat khas pria dewasa menyapa gendang telinga Hanna dan Prada. Sejoli ini berpaling pada sumber suara yang tengah memangkas jarak dengan mereka. Tampak seorang pria dewasa berparas oriental dan bersetelan rapi melambaikan tangan.

Setengah lingkaran bibir tipis sang pria dewasa mampu menyulut suasana hati Prada.

"Nona Hanna baru kembali," sapanya lembut.

Prada memicing pada Hanna, "Nona?"

Si pria dewasa menepuk bahu Prada ramah. "Kami memanggil semua karyawan dengan sebutan nona dan tuan."

Bola mata besar Prada semakin menyipit. "Begitukah?"

Hanna mengangguk pelan.

"Kenapa?" tanya si pirang dengan rasa keingintahuan yang menyentil hatinya.

Sang pria bermata khas asia timur menyimpan sebelah tangannya dalam saku celana. "Karena kita semua istimewa sehingga kami ingin sesama anggota keluarga lecker bakery saling menghormati dan bersopan santun."

Prada mengernyitkan dahinya. Entah mengapa dia sukar memahami metode kerja dalam lecker bakery. Namun dampak istimewanya begitu besar. Perbedaan latar belakang masing-masing karyawan mampu tersamar dan tanpa kesenjangan.

Si pria tampan berkulit pucat berponi legam meraih lengan Hanna. "Mari keruangan saya, akan saya ambilkan uang saku hari ini."

Kening Prada berkedut. Telapak tangan kekarnya segera memisahkan singgungan tangan si pria dewasa pada lengan sang bidadari.

"Aku akan menemani Hanna!"

Si pria dewasa beriris legam berpaling pada Prada. Tangan kanannya terulur. "Oh, Maaf! Perkenalkan saya Arco Aristo menager di sini. Anda?"

Prada balas menggenggam jemari lawan sedikit geram. "Pradana Ultinos. Kakak kelas sekaligus kekasih resmi Hanna."

Senyum sejuta cahaya Arco tetap bertahan pada tahta tertintinggi. Kepalanya mengangguk ringan.

Hanna hanya mampu menyembunyikan pipi gembilnya yang memerah jambu. Ada kesenangan tersendiri ketika gendang telinganya menangkap nada bicara Prada yang tegas.

Hening melintas beberapa detik sebelum Hanna memulai pembicaraan kembali.

"Sebelum itu...." kalimat Hanna menggantung sesaat. "Apa lecker bakery cabang ini masih menerima karyawan?" lanjut Hanna menyempurnakan pertanyaannya.

Arco mengangguk yakin. "Tentu! Kami membutuhkan banyak karyawan!"

Hanna mendesah lega.

Paras Arco menghampiri wajah cantik Hanna. "Apa Nona Hanna berniat kerja sambilan bulanan?"

Hanna mengambil satu langkah ke belakang. Dia tidak pernah membiarkan siapapun mengetuk hatinya selain Prada.

"Bu ... bukan Kak Manager! Kak Prada ingin bekerja sambilan harian di sini."

Tatapan Arco membidik pemuda yang baru dikenalnya. "Apa sudah mendapat ijin dari orang tua?"

Prada menaikkan kedua bahunya cuek.

Hanna mendelik gemas. Aura Prada yang selalu meriah tiba-tiba sunyi. Entah alasan apa yang sedikit mengubah Prada menyerupai Sans yang pintar berhemat dalam berkata-kata.

Hanna meraih jemari Prada. "Kak Prada yatim piatu sejak kecil," lirihnya.

Arco tersentak. Rasa sesal menggelanyut di hatinya. Lensa matanya memanas hampir leleh. Arco tak sanggup menyentuh anak sebatang kara dengan kata tanpa peduli. Telunjuk lentiknya menyeka cepat sudut matanya.

Prada mendesah panjang. Genggaman Hanna dipererat.

"Maafkan saya. Saya tidak tahu. Tuan Prada boleh bekerja di sini saat tidak sedang jadwal sekolah. Boleh bekerja harian." tukas Arco berhati-hati dan sopan.

Hanna mengangguk girang. "Terima kasih Kak Manager."

Prada melirik Arco sejenak sebelum mengagguk kaku. "Kalau begitu kapan saya bisa mulai dan apa tugas saya di sini?"

Arco membelai dagu proporsionalnya pelan. "Kapan saja saat Tuan Prada ada waktu luang. Boleh besok atau lusa. Tugas untuk pemula sementara menjaga kebersihan peralatan masak dan makan."

Mata biru Prada melebar. "Cuci piring?"

Arco mengiyakan. "Sanggup, Tuan Prada?"

Bibir maskulin Prada mengembang rupawan. Keceriaan bawaan lahir Prada telah kembali mengusir awan pekat kecemburuannya.

Hanna semakin bersemangat mendengarnya.

"Jangankan cuci piring, Kak. Saya juga bersedia kalau diminta memperbaiki atap rumah, pintu dan jendela bahkan menambal panci-panci usang! Saya terbiasa kerja keras, Kak!"

Arco menepuk bahu Prada beberapa kali. Kehangatan tangan seorang kakak dari wibawa Arco membelai hati dan meleburkan kecurigaan tak berdasar Prada.

"Sepertinya saya bertemu orang yang tepat!" celetuk Arco

***