Hanna menggiring sepeda mininya melintasi halaman luas sebuah rumah megah dibimbing seorang petugas keamanan senior kepercayaan pemilik rumah. Sebuah kotak rotan ukuran besar duduk manis di atas boncengan menahan berat muatan yang berlebih.
Hanna menyusuri lorong panjang menuju dapur setelah meninggalkan sepedanya di depan garasi mobil tuan rumah. Kedua tangannya menggenggam sebuah pegangan keranjang anyaman berisi penuh aneka roti untuk sarapan pagi. Nampak gores cetakan "Lecker Bread" pada setiap kemasan cantiknya.
Seorang pelayan bagian dapur mengiringi langkah pelan Hanna setelah petugas keamanan kembali pada pos jaga. Gadis jelita itu tetap tenang dalam langkah anggunnya. Setelan seragam cantik yang sedikit longgar membungkus kulit pucatnya.
Pelayan muda mendorong pintu dapur utama perlahan. Mata Hanna melebar takjub. Pemandangan dapur yang sibut tercetak dalam retinanya.
Pelayan tua menyambutnya ramah sebelum mempersilakan Hanna menempati kursi meja makan besar di tengah ruangan.
Hanna mengedarkan pandangannya dari sudut hingga ujung. Beberapa juru masak profesional tengah melaksanakan tanggung jawab masing-masing dengan cekatan. Mereka bertarung bersama peralatan masak mutakhir melawan bahan-bahan mentah. Hasil seri karena aroma surga tercium membumbung tinggi menembus langit-langit. Beberapa asisten juru masak melengkapi tugas atasan. Mereka mempersiapkan segala kebutuhan juru masak utama hingga menyediakan peralatan penyajian menu.
Hanna masih dalam wajah terpesona.
Kedatangan kepala dapur berusia lebih dari setengah abad memecah kekaguman Hanna. Wanita setengah tua menyajikan segelas cokelat hangat ke hadapan Hanna.
"Hari ini pengantar roti berbeda ya," sapa wanita tua itu ramah.
Hanna mengangguk kecil.
Kepala dapur mengamati penampilan Hanna dengan seksama. "Kamu mau sekalian ke sekolah?"
Hanna kembali mengangguk.
Wanita kepala dapur segera meraih setumpuk uang dari saku celemek yang melapisi seragam kerjanya. Tak butuh waktu lama kepala dapur melunasi pembayaran pesanan hari ini.
Hanna menerima santun sejumlah rupiah yang tercetak dalam tagihan. "Terima kasih, Bu!"
Si kepala dapur mengangguk cepat. "Habiskan cokelatnya sebelum berangkat ke sekolah!"
Sekali lagi Hanna berterima kasih sebelum melenyapkan segelas penuh volume cokelat hangat. Setelah keperluan terpenuhi, Hanna pamit undur diri pada semua penghuni dapur.
Gadis berambut terurai itu kembali menyusuri lorong menuju garasi depan tanpa penunjuk jalan. Sedikit gelisah saat melangkah sendiri dalam bangunan asing.
Napasnya berembus lega saat bayangan sepeda mini miliknya tercetak pada retina. Hanna segera meletakkan keranjang dalam kotak rotan pada boncengan sepeda. Kakinya belum sempat mengayuh saat suara lembut wanita setengah baya menyapanya.
"Hai, Sayang! Kamu dari Lecker Bakery?"
Hanna kembali menuruni sadel sepeda sebelum menyambut si wanita cantik. Tubuhnya ramping menjulang, kulitnya secerah rambut dan bola matanya. Tubuhnya bebalut setelan senada. Blazer menyelimuti bagian dalam bahan satin tak berlengan. Kaki jenjangnya terbungkus celana bahan panjang.
Hanna memberi salam. "Iya, Nyonya. Saya baru kali ini mengantar ke sini."
Wanita blonde bermata safir tersenyum kecil.
"Panggil saja, Tante! Tante Karolin. Nama kamu siapa? Masih sekolah? Kelas brapa?" serbuan tanya dari pemilik rumah membuat Hanna sedikit panik.
Hanna mengangguk semangat. "Iya, Tante. Saya Hanna masih duduk di tahun pertama bangku SMA."
Wanita seanggun namanya mengamati seragam Hanna mulai dari blazer hingga rok lipit panjangnya.
Hanna mengernyit heran. Dia sedikit kebingungan dengan wanita paras Eropa itu. "Tante?"
Karolin meraba dagunya yang ideal. "Sepertinya saya familiar dengan seragam dan logo identitas sekolahmu. Hanna bersekolah di Budi Mulia Nusantara?"
"Benar, Tante." sahut Hanna.
Tante Karolin menjentikkan kedua jemarinya. "Berangkat bersama anak tante saja, ya? Biar cepat sampai sekolah." tawarnya.
Kedua telapak tangan Hanna bergerak secepat gelengan kepalanya.
Tak berapa lama, derap alas kaki terdengar semakin nyaring dari balik sepasang pintu utama kediaman Karolin yang bergeser sebagian. Seorang pemuda tampan berambut dan beriris arang muncul memanggul tas ransel hitam.
Hanna menganga.
Si pria tampan berhidung tinggi meraih tangan Karolin kemudian mengecup lembut. Sang wanita membelai bahu si pemuda pelan.
"Saya berangkat, Bunda!"
Karolin mengangguk hangat. Parasnya segera berpaling pada Hanna yang masih bergeming.
"Ajak dia berangkat bersama, ya! Dia gadis dari toko roti langganan bunda. Kalian satu sekolah, kan?"
Si pemuda mengikuti arah pandang sang bunda. Keningnya bergelombang sejenak sebelum mengangguk patuh.
"Nak, ayo kalian berangkat sekarang!" saran Karolin membelai bahu keduanya.
Hanna menggenggam tangan Karolin. "Maaf, Tante. Saya tidak mau merepotkan apalagi saya bawa sepeda."
Karolin tersenyum meyakinkan. "Letakkan saja sepedanya di sini. Setelah pulang sekolah kamu ambil kembali."
"Tapi...."
Kalimat Hanna terhenti saat bunyi berisik mencuat dari balik pintu utama. Seorang pemuda berantakan tengah kerepotan mendekap ranselnya sembari menggigit sepotong roti isi. Helai pirangnya yang menantang gravitasi masih berembun dengan aroma sampo.
Hanna membeku. Kedua lututnya bergetar.
Si pirang segera memposisikan kedua lengan ransel pada bahunya masih sambil mengunyah sarapan. Kontak mobil dalam genggamannya bergemericing pelan.
Si pirang meraih genggaman Karolin kemudian menempelkan pada keningnya. "Maaf, saya baru keluar. Saya berangkat, bunda bos!"
Si pirang meraih bahu si rambut arang untuk menghampiri armada yang telah tersedia di luar garasi. "Ayo, Bos!" ajaknya ceria.
Hanna menggumam lirih, "Kak Prada!"
Hanna melirik Karolin ragu. "Saya ikut mereka sekalian ya, Tante."
Karolin memgangguk girang sementara Prada melepas lengannya dari bahu si rambut gelap. Prada menahan langkahnya yang bergairah berangkat sekolah. Dia termangu sejenak sebelum berpaling ke balik punggungnya.
Mata Prada membola dengan mulut menganga.
Hanna melambaikan jemari kanan ceria.
"Kenapa ada di sini?"
"Aku mengantar pesanan roti rutin di rumah ini."
Prada melirik penanda waktu di pergelangan kirinya. "Yakin akan berangkat bersama kami?"
Hanna mengangguk semangat.
Prada meraih jemari Hanna. "Baiklah," sahutnya pasrah sembari membimbing langkah Hanna bersamanya.
Karolin terkikik gemulai setelah keduanya berlalu mendahului si rambut hitam.
Tuan muda Ken melirik sang bunda. "Lihat, Bun! Kelakuan si Prapto!"
Karolin menepuk bahu putranya. "Kenapa, Sans? Ternyata mereka kenal. Biarkan saja Prada senang. Mereka klop sepertinya. Sudah sana susul mereka."
Meskipun Sans mengangguk malas sepasang tungkainya tetap menyusul keduanya.
Senda gurau dan perang kata meramaikan kabin mobil depan dalam perjalan menuju sekolah. Sans hanya memasang wajah datar. Sesekali melirik tajam spion dalam yang menghadap belakang.
"Sudah lama bekerja sambilan di toko roti?"
Hanna menaikkan kedua bahunya. "Kalau dibilang bekerja bukan dan kalau dibilang bukan ... ya bekerja."
Pandangan Prada tetap konsentrasi pada jalan raya. "Terus maumu apa?"
"Sebenarnya Lecker Bakery itu ramai sekali setiap hari dan pemiliknya memerlukan karyawan sebanyak mungkin. Mereka menerima lowongan untuk karyawan bulanan bahkan karyawan lepas harian mereka juga menerima."
Prada memgangguk paham.
"Aku hanya membantu jika ada waktu luang.
Setelah satu hari pekerjaan selesai aku diberi uang saku." lanjut Hanna
Prada sesekali berpaling pada Hanna. "Lumayan juga, ya!"
Hanna tersipu.
"Tapi tumben sekali ya kamu memakai sepeda ke sekolah?"
Hanna membalas tatapan Prada. "Sebenarnya setiap berangkat dan pulang sekolah aku selalu bersama Elang. Jalan kaki sampai halte terdekat kemudian menaiki kendaraan umum. Tapi dia sedang berada di GOR. Katanya ada turnamen antar sekolah."
Mendengar nama seorang pria terlontar dari mulut Hanna membuat paras merekah Prada seketika layu. "Bisa tidak berhenti membicarakan Elang?"
"Tapi kamu tadi bertanya. Memang setiap hari mulai dari SD kami berangkat bersama," balas Hanna.
"Tapi jawabanmu membosankan karena selalu berkaitan dengan Elang." timpal Prada.
Sans yang tengah menahan amarah berdehem palsu. "Kalian membuatku merasa seakan hanya menumpang padahal mobil ini milikku."
Prada dan Hanna membatu seketika. Jangankan kembali beradu kata, bergerak saja mereka ketakutan. Mereka hanya saling melirik melintasi sudut mata.
"Prapto, sudah saatnya."
Prada mendesah panjang. "Baik, Bos!" balasnya sembari menepikan roda mobil menghampiri bahu jalan raya yang bersebelahan dengan pendopo balai kota.
Pandangan Hanna kebingungan melintasi kaca jendela samping. Pemandangan ramai khas pagi hari tersaji dalam retinanya. Jalanan dijejali anak-anak berseragam dan orang-orang dewasa bersetelan. Namun penampakan gedung sekolah yang megah belum menyapa penglihatannya.
Hanna berpaling pada Prada dengan kening penuh tanda tanya.
Prada hanya menyeringai sembari mematikan mesin kemudian menekan pintu pengemudi. Prada meraih tas punggungnya yang bersandar di tempat duduk Hanna sebelum melempar pintu.
Hanna masih bergeming di kabin depan dalam kebingungannya.
Prada menarik pegangan pintu mobil depan sebelum mempersilakan Hanna turun dengan isyarat kepalanya.
Wajah Hanna masih setia dalam kebingungan bagai korban kejahatan gendam. Namun kakinya tetap beranjak meninggalkan jok mobil yang senyaman tumpukan busa.
Mobil berlalu setelah Sans memasuki kursi pengemudi. Tak lupa wajah datar Sans berpamitan dengan lambaian ledekan.
Hanna menggenggam kuat tali tas sekolahnya yang melintang hingga pinggang. "Lalu?"
Prada terbahak. "Ya.... Walking-walkinglah!" balasnya dengan tata bahasa yang jauh dari tepat.
Hanna masih belum lepas dari kebingungannya. Dia tetap bergeming manis hingga Prada harus menyeretnya ke tepi trotoar supaya tidak menghalangi para pedestrian.
Prada menyentil dahi Hanna agar si gadis kembali mendapatkan separuh jiwanya yang galau.
Hanna terperanjat dan mendapatkan kembali kesadarannya dari penjara lamunan.Tangan kanannya membelai nyeri di dahi.
"Sejak awal aku sudah menanyakan apakah kamu yakin mau berangkat bersama kami?"
Hanna menggeleng belum juga mengerti.
Prada mendesah kesal. "Ya, seperti ini. Setiap hari aku selalu berjalan setengah perjalanan ke sekolah."
Hanna menoleh pada jalanan yang padat. "Lalu Kak Sans?"
Prada bertolak pinggang. "Menjemput pacarnya dong! Buat apa bersama kita. Kita bukan hal penting."
Hanna mengintip penunjuk waktu digital pada tangan kirinya. "Kita akan dihukum. Jalan kaki tidak mungkin membuat kita sampai sekolah dalam waktu kurang dari lima menit."
"Kalau walking tidak bisa ya kita running!"
Hanna menyeringai ngeri. "Aku tidak bisa berlari."
Prada melipat lengannya. Otaknya berusaha keras menggali ide.
"Kak Prada?"
"Kamu memakai legging dalam di balik rok seragam?"
Hanna mengangguk pelan.
Telunjuk dan ibu jari Prada beradu. "Naik ke punggungku lalu aku akan berlari!"
"Tidak!" tolak Hanna, "Kak Prada bisa pingsan saat tiba di sekolah."
Prada merendahkan punggungnya dihadapan Hanna. "Aku baik-baik saja jika membawa tubuh seukuran anak SMP."
Hanna kesal tapi tak punya pilihan
***