Chereads / Bahagia yang Ringan / Chapter 9 - Penjara Cinta 2

Chapter 9 - Penjara Cinta 2

D meraih bahu Hanna gemas. Si gadis manis sawo matang tak jenuh menatap penampilan baru sang sahabat semenjak pelajaran pertama dimulai hingga terdengar jerit penanda sekolah usai. Sebenarnya tak banyak yang berubah dari ujung sepatu hingga helai gelap yang menjuntai di pinggang Hanna.

Hanna tetap terbungkus seragam sedikit longgar dan sopan. Atasan putih berbalut blazer gelap dan rok lipit hingga mata kaki. Sepatu pantofel ber-heels rendah dan kaos kaki polos tertutup rok panjang. Penampakan yang mengikuti adab dan tata krama keluarga besarnya.

Terlihat sebuah pembeda pada tatanan paras Hanna kini. Sepasang kaca tebal yang selalu bertengger pada tulang hidung kini tiada. Hanya menyisakan paras mungil dengan bola mata berbinar. Rambut tebal yang lembut terurai di kedua sisi tubuhnya.

D enggan melepas dekapan kedua lengannya pada bahu Hanna.

Hanna hanya mampu bergeming menahan gerah.

"Kau cantik sekali, sahabatku!"

Hanna tersenyum ringan. Tubuhnya bergerak pelan berusaha terpisah dari lingkaran lengan D.

"D, aku mau mencari seseorang dulu untuk kuajak pulang bersama."

D tersenyum menggoda. "Kak Elang, kan? Kalian kenapa tidak menjadi sepasang kekasih saja?"

Hanna menggeleng. "Orang lain yang kemarin telah mejadi kekasihku."

Dahi D mengkisut. "Siapa? Kenapa kamu hanya diam-diam?" rajuknya.

Hanna menepuk bahu D lembut. "Deborah, aku itu bukan siswi populer jadi buat apa bilang-bilang kalau punya kekasih?"

D melengos berpura-pura kecewa. "Tapi Deborah yang indah dan megah ini sahabatmu."

Kedua telapak tangan Hanna saling beradu mengisyaratkan sesal.

D semakin besar kepala. "Kalau begitu beritahukan siapa dia."

"Dia...."

D enggan berpaling pada Hanna sebelum maksud hatinya tergapai dan keingintahuannya terpuaskan.

"Dia Kak Pradana Ultinos," jawab Hanna lirih.

D menoleh dengan mata memanas. "Apa? Kak Prada? Kamu halu atau sedang menikung orang yang disukai sahabatmu?"

Hanna mendesah panjang. Kedua lengannya saling bertumpu. Sementara wajah D tertekuk sempurna.

"D, jangan mulai lagi atau aku akan menelpon Kak Nicko dan kamu tidak akan diijinkan datang ke sekolah lagi."

Wajah merana D berubah panik. Dia meraih tangan Hanna memohon ampun.

Nickolas Wahyu Permana, seorang pria muda dengan kecerdasan sangat superior berusia seperempat abad dan telah mendapat gelar profesor dalam bidang sains. Nicko memiliki hati seluas samudera dalam menghadapi tingkah D si remaja yang baru beranjak dewasa.

Karena besarnya perasaan pria tampan berambut legam dan berkulit langsat itu pada D, tukar cincin menjadi jalan keluar menekan D yang masih tergila-gila paras Eropa.

Hanna menyeringai jahil. "Makanya D, kamu itu sudah bertunangan dengan Kak Nicko seharusnya kamu mengurangi pandangan buas pada semua laki-laki tampan."

Deborah mengangguk patuh. "Aku hanya bercanda, Han. Sebenarnya, aku juga tidak berani macam-macam."

Hanna menghadiahi D dua jempol.

D mendadak mendelik kesal menyadari sebuah kata dalam kalimat Hanna. "Apa maksudmu pandangan buas pada semua laki-laki tampan?"

Hanna menarik tumit perlahan sebelum mengayunkan seribu langkah secepat gerak cahaya. Tangannya melambai ringan sebagai ucapan sampai jumpa.

Deborah mengepal geram. Bibirnya tampak meliuk-liuk emosi. Berusaha meledakkan seluruh amarah pada ubun-ubun. Namun teriakannya hanya terdengar samar pada gendang telinga Hanna yang telah menjauh.

Napas Deborah naik turun. Matanya membuka lebar menangkap bayangan Hanna yang terkikik kecil.

Hanna setia dalam senyum jahilnya. Langkahnya riang menuju jantung hatinya yang terlihat gelisah di luar pintu mobil pada tempat parkir khusus siswa.

Hanna menyapa Prada ceria. Tepukan halus mampu membuat tubuh tinggi tegap itu melonjak kaget.

Tatapan seram Prada jatuh pada paras anggun Hanna. Kedua bola matanya bahkan lupa berkedip. Kerutan halus tampak nyata pada kening Prada setelah sejenak bergeming.

"Siapa kamu?"

Hanna menggembungkan pipinya kesal. "Kak Prada masih muda tapi sudah pelupa. Nenek aku saja masih segar daya ingatnya."

Jemari Prada memelintir daun telinga si gadis. "Sudah datang tiba-tiba tanpa salam sekarang malah menghina orang pikun."

Hanna mengelak cepat. "Aku ini kekasih Kak Prada. Kemarin kita baru jadian, kan?"

Prada menggeleng panik. "Tidak mungkin! Tidak mungkin seorang gadis yang lebih cantik dari Shara menjadi pacarku. Aku bahkan tidak punya pacar."

Jantung Hanna mempercepat gerak pompa dalam tuhuhnya. Suara detaknya terasa hingga kulit kepala. Sebaris bait dari Prada mampu mengundang pasang kekagumannya dan menimbun rasa kecewa sebelumnya.

"Ayo, kita pulang bersama!" bujuk Hanna manja.

Prada mengelak cepat. Bunyi dering HP membuat jeda interaksi keduanya. Prada merogoh saku jas gelapnya. Dia segera menerima panggilan masuk dari seseorang yang selalu menguras energinya.

"Iya," gumam Prada lirih.

Kepala pirang mengangguk beberapa kali sembari melantunkan sebuah kata yang sama tanpa variasi hingga percakapan dua arah tersebut usai.

Prada kembali melempar alat komunikasinya dalam saku jas sekolah.

Prada menatap si gadis mungil. Kedua tangannya mencengkeram lembut kedua sisi bahu Hanna.

"Oke, aku tidak tahu apa maksudmu tapi aku minta tolong kamu segera pergi dari sini karena aku sedang bekerja!"

Hanna menaikkan kedua alisnya. Hanya harapan semu dan kekecewaan nyata yang dia terima. Apa mau dikata, memang hubungan sepihak itu bukan kehendak Prada. Semua terjadi karena desakan Hanna. Wajar saja jika Prada tak mengingatnya. Pertemuan mereka bahkan mampu diperkirakan tanpa hitungan.

Prada berpaling pada tepukan halus di punggungnya. Tampak gadis seangkatannya telah berdiri tegak di belakangnya.

Gadis berhelai merah tersenyum merekah. "Bagaimana? Kita jadi berangkat?"

Prada mengangguk semangat.

Hanna mengepalkan sepasang tangannya kesal.

Prada melirik si gadis mungil. "Kamu cepat pulang! Aku ada kencan dengan Shara!"

Hanna menekan tubuh Prada sekuat tenaga. "Kak Prada bodoh. Lupa denganku! Suka berpura-pura demi menutupi hubungan mereka!"

Prada terbelalak sementara Shara terbungkam. Kini otak Prada telah terbangun dari kebodohan akan daya ingat. Bayangan hari kemarin mendadak berputar dalam benaknya.

Hanna telah mengambil seribu langkah sebelum Prada mewujudkan niat menggapai sang gadis mungil kembali.

Shara memicing curiga. "Kamu mengenal gadis bertumbuh mungil itu?"

Prada menarik dua sisi rambutnya kemudian mengangguk kecil.

"Kalian ada masalah?"

Prada menggeleng dengan gerutuan. "Kenapa aku bisa tidak ingat kalau dia Hanna?" gumamnya lirih.

Sementara itu, langkah Hanna mengentak-entak kesal sepanjang perjalanan menuju gerbang keluar. Tangan kanan yang mengepal geram melayangkan tinju pada telapak tangan lainnya.

Seorang pemuda yang menyandar pada pintu gerbang tiba-tiba menghampiri. Banyak tanda tanya menggantung pada dahinya yang berkerut.

"Aku menunggumu dari tadi Hanna. Aku pikir kamu sudah pulang bersama D. Ternyata masih di sini."

Hanna masih memasang bibir mengerucut.

"Apa ada hal yang buruk terjadi?"

Hanna menjawab dengan kebisuan kemudian meraih lengan si pria hitam manis sebelum memaksanya melangkah tiba-tiba.

Elang masih terheran-heran dalam langkahnya. "Hanna?"

"Aku mau pulang. Lapar!"

Elang terbahak. "Jadi kalau lapar wajah cantik bisa jadi burik?"

Hanna memelintir kecil lengan Elang.

"Sakit, Hanna!" keluh Elang.

Hanna tertawa meledek.

Riang gembira keduanya tak luput dari tajamnya sepasang biru samudera dari balik kaca mobil. Rahang tegasnya mengeras. Deretan giginya menggemeletuk. Sepasang tangan mencengkeram kemudi dengan emosi.

Shara mengernyit menyadari pertukaran suasana hati Prada yang mendadak. Keceriaan di awal lenyap berganti kebencian.

Prada perlahan menepikan kemudi pada bahu jalan.

"Kenapa berhenti?" tanya Shara yang tak jua sembuh dari kebingungan.

Prada mematikan mesin. "Shara tahu kan di mana kalian akan bertemu?"

Shara mengangguk yakin.

Kedua tangan Prada mundur dari kemudi. "Ada hal yang harus aku urus. Kamu bawa mobil ke tempat janjian kalian. Jika majikan sialan itu protes biar aku yang bertanggung jawab."

Shara menghela napas panjang sembari mengedikkan kedua bahunya.

Prada segera meninggalkan bangku kemudi dan membanting pintu depan. Kemudian berlari mengikis jarak dengan dua orang yang tengah bersenda gurau di sepanjang trotoar.

"Hanna!" teriaknya lantang.

Hanna dan Elang membatu. Mereka memutar badan mengamati seorang pemuda jangkung yang tunggang langgang menggapai mereka.

Prada menahan langkah di hadapan Hanna. Grafik nafasnya tak signifikan.

"Hanna, ayo ... kita ... pulang bersama!" Ajak Prada dalam sengal napasnya.

Hanna mencebik. "Kita tidak saling kenal."

Paras Prada memelas. "Aku minta maaf, ya! Aku sungguh tidak mengenali penampilan barumu. Kamu cantik lebih dari gadis manapun yang pernah aku temui."

Hanna enggan menimpali. Tungkainya segera berlalu untuk menyembunyikan jantung yang tak mau diatur untuk tenang.

Elang menyamai langkah cepat Hanna. "Kalian ada masalah?"

Hanna menggeleng cepat.

Prada meraih bahu Elang. "Kalau begitu kita pulang bertiga saja."

Elang menyetujui.

"Katanya mau kencan. Kenapa tiba-tiba kemari? Sudah lelah dengan sandiwara?" sindir Hanna.

Prada membungkam bibir Hanna dengan sebelah tangannya. "Aku traktir makan es krim sepuasnya tapi berhenti bicara."

Elang mengernyit heran. "Kalian bagaimana ceritanya bisa akrab begini?"

Hanna mendorong Prada menjauh. "Kalau Kak Prada tidak melakukan arahan majikan nanti potong gaji lho...."

Prada terbahak hingga harus menahan perutnya yang berguncang. "Sudah biasa itu."

Elang melipat lengannya kesal. "Kalian mengabaikan satu manusia di sini."

Prada menggaruk tengkuk kikuk. "Maaf, Kak Elang!" lirihnya.

Elang hanya mendelik sementara Hanna menahan tawa.

Prada mengepalkan tangan kemudian mengangkat tinjunya melawan gravitasi. "Ayo kita pulang bersama dan makan es krim sampai buncit!"

Hanna mengangguk semangat. Kedua lengannya menggenggam Prada dan Elang.

***