Pradana menghirup panjang aroma senja jingga. Sepasang tungkainya mengayun santai di antara para pedestrian yang berlalu lalang. Siulan riang mengiringi langkah ringan yang berlabuh pada sebuah toserba swalayan.
Langkah si pirang tertahan di ambang pintu kaca lebar swalayan. Kedua tangan Prada membentangkan gumpalan kertas yang lusuh. Sejenak sepasang mata samudera menatap lelah dan pasrah.
Tangannya kembali meremas gemas sebelum melemparnya pada tong sampah yang bersandar pada dinding dekat pintu. Kelalaian Prada pada situasi disekitarnya menggali kerugian seseorang. Seorang gadis lemah lembut yang tengah membawa beberapa kantung belanjaan, mendorong pintu dari dalam menggunakan sebelah sikunya. Naasnya, dia harus bersinggungan hebat dengan pemuda yang langkah dan pikirannya berbeda haluan.
Sang gadis berambut sepinggang terdorong mundur lalu terjungkal. Kantung-kantung belanjaannya terpelanting kemudian mendarat pada permukaan lantai. Isi kantung yang penuh berhamburan menyelimuti beberapa bagian permukaan lantai serambi swalayan.
Si gadis masih bergeming dalam keterkejutan. Matanya membelalak disertai mulut yang menganga.
Prada panik. Tak pikir panjang, tubuhnya segera merendah. Tangan cekatan mengumpulkan kembali beberapa tepung yang menyelimuti lantai. Kemasan tepung menipis karena sebagian isinya melarikan diri keluar.
Prada merasa bersalah. "Maafkan aku!" pintanya sembari memunguti cangkang telur yang berkeping-keping.
Isi cangkang telur melebur menjadi satu tak tertata lagi. Bau khasnya memercik pada terusan polos si gadis. Beberapa lainnya juga melekat pada seragam Prada.
Si gadis masih bergeming hingga tatapannya menemukan sebuah gumpalan. Sebelah lengan segera meraihnya dalam genggaman.
Seorang karyawati muncul tergopoh-gopoh dari dalam swalayan kemudian membantu memapah si gadis untuk kembali tegak.
"Anda tidak apa-apa, Nona?"
Si gadis mengangguk pelan. "Terima kasih, Kak!"
Si gadis menyeret langkahnya menghampiri bangku santai pada serambi swalayan. Dia menghela lega ketika telah menyamankan punggungnya pada sandaran.
Prada menengadah saat Karyawati itu menyinggung bahunya.
"Silakan berbelanja, Tuan! Biar saya yang membersihkan semuanya!"
Prada menyetujui. Tubuhnya kembali bangkit. "Terima kasih ya, Kak!"
Si karyawati tersenyum simpul menanggapi sebelum asyik merapikan sebagian serambi toko yang berantakan.
Prada mengurungkan niat sementara membeli air mineral. Langkahnya berputar menuju wastafel terdekat membasuh bau anyir jemarinya sebelum menghampiri penampakan gadis lugu yang tertimpa sial. Gadis yang tengah duduk sembari mengurut lengannya.
"Maafkan aku ya! Aku benar-benar tidak sengaja. Aku hanya tidak memperhatiakan sekitar."
Si gadis berambut gelap terurai menunduk dalam.
Prada melanjutkan paragraf yang belum sepenuhnya utuh, "Aku akan menggantinya!"
Tampak kepala si gadis bergerak tanda menolak.
"Tapi... "
Si gadis kembali menggeleng. "Kakak memang menyebabkan aku gagal membuat kue. Tapi aku tidak mengapa."
Prada mengerutkan dahinya. Terdengar suara kalem yang tak asing baru saja menyentil gendang telinganya.
Prada meraih bahu sang gadis, memaksa berpaling padanya.
"Kamu...."
Sepasang mata abu jernih berkelip beberapa kali.
"Bocah ceroboh di perpustakaan," lanjut Prada menutup kalimat.
Si bocah ceroboh menyunggingkan lengkungan yang sanggup membangun gelombang dalam hati Prada. Gadis yang tak pernah berpisah dari lensa tebal kini tampil anggun tanpa kacamata dan berbalut gaun.
Si gadis mendesah panjang. "Aku punya nama, Kak. Jangan panggil aku bocah, ya."
Prada menaikkan sebelah alisnya. "Tetap saja nama gadis selain Shara itu tidak pen...."
Nada bicara si gadis menanjak. "AKU HANNA KENANGA!"
Jemari Prada menyumpal kedua telinganya yang berdenging.
Hanna menunduk. "Maaf, Kak! Aku memaksa Kak Prada untuk mengenal namaku."
Prada menggaruk tengkuknya. "Sudah terlanjur. Tidak usah dipikirkan."
Paras jernih Hanna semakin sumringah. Gadis itu beranjak dari bangku sebelum berhadapan dengan Prada. Rambut terurainya yang tampak selicin sutera menari-nari digenggam angin sore.
Sekali lagi gelombang aneh itu pasang dalam jantung Prada. Begitu menyesakkan dan menyakitkan saat pecah di tepian hatinya. Pemandangan langka bagi Prada. Tatapan gemas iris abu-abu Hanna berpadu semburat merah muda pipi bulatnya. Pemuda itu hanya mampu menelah ludah kelu.
Hanna memamerkan selembar kertas ujian tengah semester siswa kelas XI.
"Terlebih lagi ... bagaimana mungkin Kak Prada yang asli Eropa tidak bisa bahasa asing?"
Prada menahan napas. Kedua lengannya meraba saku celana dan jas. Barang bukti yang akan dimusnahkan telah lenyap. Kini beralih pada genggaman Hanna.
Prada menjulurkan telunjuknya yang bergetar. Sekujur tubuhnya bagai tak bertulang.
"Bagaimana bisa seseorang yang hidup di lingkungan bangsawan yang sering melakukan pertemuan penting dengan orang asing tetapi nol dalam pemahaman bahasa asing?"
Prada menyapu parasnya. "Tuan Besar Ken yang sering ke luar negeri. Aku hanya anak asuh sejak masih bayi. Lagipula aku hidup di sini bersama orang-orang pekerja Tuan Ken yang memakai bahasa nasional dan daerah."
Hanna tersenyum kecil.
Prada menjulurkan lehernya mendekati paras Hanna. "Kenapa aku harus menjelaskan panjang lebar padamu?"
Hanna menaikkan kedua bahunya. "Kakak sebenarnya bisa ikut bimbingan privat bersama majikan kakak."
Prada berpaling dari Hanna. Tatapannya mengabsen beberapa kendaraan yang berlalu-lalang.
"Malas belajar bersama Sans," balasnya seadanya.
Hanna menepuk lengan kokoh berselimut jas gelap. "Nah, kan?"
Kening Prada berkerut. Jemarinya segera menyapu bekas sentuhan Hanna.
"Mengapa sejak bertemu denganmu aku selalu bertemu denganmu. Padahal yang aku harapkan itu Shara!" keluh Prada.
Hanna menyentil kening Prada. Rasa kesal berbaur gemas memberi kekuatan pada ujung telunjuk dan ibu jarinya.
Prada tersentak. Keningnya berdenyut sebelum sempat mengelak. Belaian kecil telunjuknya cukup meredakan nyeri.
"Kenapa Kak Prada selalu berkata begitu? Aku yakin Kak Prada sangat menghormati Kak Sans. Jadi tidak mungkin Kak Prada menyukai pacar Kak Sans."
Sepasang iris samudera membola. Sesuatu yang dikawal ketat dan ditimbun rapat mana mungkin terendus dunia. Darimana sumber kebocoran berasal?
***