Prada melangkah gontai menelusuri panjangnya lorong lantai dua kelas XI. Sang surya baru saja memulai tugasnya. Kemilaunya mendekap hangat bagian permukaan bumi yang tersinari. Sengatannya belum mengancam keindahan kulit justru meningkatkan cadangan nutrisi. Atmosfirnya masih terasa lega. Namun peluh semakin menganak sungai melintasi mata serupa samudera hingga pipi tan Prada.
Napasnya memburu seiring laju tungkainya yang menderu. Berulang kali lengan jas seragamnya menyeka tetesan yang hampir tertarik grafitasi pada ujung dagunya.
Lorong begitu padat oleh para siswa yang berjejalan menuju ruangan mereka. Hanya tersisa lima menit untuk merapikan posisi pada bangku masing-masing sebelum para pengajar menjejakkan kaki di depan kelas.
Prada menahan langkahnya di ambang pintu kelas XI Sains 5. Kepalanya menjulur sebagian. Pandangannya menjelajahi setiap sudut kelas. Namun bayangan seseorang tak tercetak dalam retinanya.
Prada mendengus kesal. Langkahnya berotasi menuju kelas tetangga. Bagai hilang ingatan akan kesopanan, Prada menginjak kawasan lain tanpa permisi. Dia menyeruak antara beberapa siswi yang bergerumun di depan kelas menduplikat tugas sekolah seseorang. Kerumunan massa terurai menyajikan jalan pada ksatria setia tuan muda keluarga Kei.
Para siswi saling mendengung kegirangan menikmati punggung tegap beransel gelap.
Prada menepuk bangku seorang nara sumber jawaban tugas sekolah. Si juwita peringkat puncak yang tak lepas dari sanjungan adam.
Si gadis berambut menyala melonjak kaget.
"Shara, dimana Sansco?" tanya Prada cepat
Shara menaikkan sebelah alis yang kecokelatan. "Bukankah sudah masuk kelas kalian?"
Prada mengusap dahinya yang berdenyut. "Dia tidak ada di sana!" balasnya kalut
Shara hanya mengerutkan kening menanggapi.
Prada menampar bangku Shara pelan. "Dasar majikan durhaka! Bisa-bisanya sopir diturunkan di tengah jalan. Lebih baik aku diturunkan di halte saja. Mana ada bis kota mau berhenti di sembarang tempat."
Shara menepuk punggung Prada pelan. Niat baiknya untuk menurunkan kadar emosi si pirang mendapat siulan menggoda penghuni lainnya.
Paras Prada mendekati daun telinga Shara. "Dia menjemputmu dan kalian berangkat bersama, kan?"
Shara mengangguk pelan dalam tundukan.
Prada mengusap rambutnya frustasi. Rambut jabrik yang selalu berantakan semakin menggelikan seperti brandalan kalah tawuran.
"Dia enak sedangkan aku enek. Memang majikan kurang ajar. Aku berjalan sampai sekolah dia malah menghilang!"
Shara menggeleng pelan mendengar celotehan panjang Prada yang tak kunjung usai. Mungkin si paras bule terlalu rajin mengikuti alur cerita sinetron bertema hati yang terkhianati. Sehingga segala kesal yang tak tenggelam dalam batin, diluapkan ke permukaan.
Prada kembali berbisik. "Kalian tidak terlihat bersama, kan?"
Shara mengangguk ringan. "Kami paham, Pak Pengawal! Dia menurunkanku di pagar belakang."
Suara dehem palsu memecah keasyikan keduanya yang tengah berbisik. Mereka berpaling serentak pada deretan siswi yang sedang terkikik menggoda.
Seorang gadis berkucir kuda menghampiri Prada. "Ksatria ganteng sedang pendekatan, ya?"
Prada tergagap. Tubuhnya kembali tegak. Sebelah lengan bertolak pinggang sedangkan tangan satunya menyisir helai pirang berlawanan.
Deretan siswi melonjak-lonjak kegirangan.
"Mana mungkin ada pemuda yang melewatkan gadis secantik Shara." bualnya cengengesan.
Suara mereka yang melengking senang menghasut tatapan risih para siswa lain yang sedang berlomba menyalin jawaban tugas di sudut ruangan. Mereka menggeram sebal karena kecepatan menduplikat mereka harus turun dalam detik-detik penghabisan.
Shara hanya memijit pelipisnya pelan. Denyutan mendadak menyerang saraf otaknya.
Derap langkah cepat melintasi ambang pintu dan tenggelam dalam meriahnya sorak-sorai kaum hawa penggemar Prada. Penampakan pemuda berponi legam terabaikan untuk sejek.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Prapto? "
Prada membeku seketika. Celotehan segarnya yang menghibur para siswi teman kelas tetangga menguap seketika.
"Dari mana saja, Prapto?"
Prada berpaling pada suara kalem yang mengalun sedingin kutub utara. "Seharusnya aku yang mengatakan itu! Kau menendangku dari mobil lalu menghilang begitu saja. Aku harus berlari agar tidak terlambat masuk gerbang. Apa kau tidak merasakan penderitaanku?"
Telunjuk kanan Sans mencolek lubang telinganya. Rangkaian kalimat sepanjang jalur kereta api mengusik gendang telinganya. Tanpa membalas kata, telapak tangan Sans menyapu paras Prada.
Prada menghalau tangan jahil Sansco.
Sansco mengelak dari gerakan Prada sebelum mencengkeram lengan jas pria pirang itu.
"Ayo, pergi dari sini!"
Sansco menyeret paksa Prada untuk melangkah bersamanya. Susah payah Prada berkelit dari kekangan Sans tetapi tidak berhasil meloloskan lengannya.
Histeria para siswi semakin bergemuruh. Paduan detak jantung mereka menyemarakkan keriuhan suasana.
"Pangeran dan Ksatrianya. Kalau tak dapat menjangkau pengeran, aku bersedia menyerahkan hati pada mister pengawal!" celetuk seorang teman Shara.
Gadis lain menyanggah. "Hatiku hanya tertancap pada Sans si rambut sehitam malam gerhana."
Shara mendesah panjang. Parasnya lulai di antara dua lengan yang terlipat
celetukan genit masih terlontar saling sahut meskipun dua sosok idola hanya tersisa jejak aroma tubuhnya.
"Meskipun ada pangeran, hatiku tetap untuk tuan pengawal. Pangeran saja dijaga apalagi cintaku!"
***