Dua pemuda sebaya berkejaran sepanjang jalan setapak halaman depan sebuah bangunan megah tingkat tiga. Pijakan seukuran telapak kaki dewasa berbaris di tengah hamparan rumput yang terpangkas rapi. Tak hanya sekali alas kaki keduanya melampau batas jalan setapak dan mengusik ketenangan barisan hijau. Bibir pemuda berhelai legam melengkung lebar dalam langkah cepatnya. Sebelah tangan berbalut kemeja putih lengan panjang menggantung di udara.
Si pirang sesekali melonjak tinggi dalam derap kakinya, berharap mampu menggapai sang majikan yang tak lebih tinggi dari tubuhnya.
Suara gaduh yang menyatu dengan tawa puas dan jeritan memohon menghidupkan senja yang senyap. Pak Aman, penjaga keamanan hanya menggeleng kecil sembari merapatkan kembali pintu gerbang utama. Pria enam puluh tahun pensiunan angkatan darat itu tak menghiraukan drama remaja dunia nyata yang hampir setiap hari kejar tayang.
Jemari kanan Prada sukses menggapai punggung kemeja Sans. Namun gerak gesit Sans mampu meloloskan diri.
"Sans, kembalikan kertas itu!"
Sans hanya menjulurkan lidah. Lengan kanannya semakin menjulang menantang angkasa. Tawanya semakin menggelegar.
Deheman ringan terdengar sesaat setelah pintu rumah utama bergeser. Seorang pria paruh baya berbalut pakaian formal hitam lengkap dengan jas dan dasinya, menyembul dari balik daun pintu.
Pak Abdi Sanjaya, Karyawan setia keluarga Ken. Seluruh pewaris nama Sanjaya merupakan kepercayaan keluarga Ken sejak turun-temurun. Tubuhnya menjulang dan kurus. Kepalanya diselimuti helaian serupa kapas. Gerak kesopanan tubuhnya terkendali. Punggungnya membungkuk pelan menyuguhkan salam.
"Tuan muda sudah kembali dari sekolah," sapanya.
Gerakan kedua pemuda sebaya membeku. Kebisingan beberapa detik lalu berubah lengang seketika.
Sans menata perilakunya. Posisi tubuhnya beralih tegap sempurna diikuti dagu dan dada yang membusung.
Satu anggukan membalas sapaan.
Bibir Prada menyeringai tipis. Satu gerakan gesit jemarinya merenggut sesuatu dalam genggaman Sans.
Sans tersentak. Saat tatapannya berpaling dari kepala pelayan yang menyambut kedatangannya, Prada telah jauh di mata. Punggung lebar pengawalnya itu pontang-panting menghindari barisan tanaman langka di hadapannya.
Sepasang tangan Sansco mengepal geram di kedua sisi tubuhnya. Hatinya ingin menyusul dan membekuk Prada lalu melemparnya ke hadapan Tuan dan Nyonya Ken. Namun raganya setia bergeming dalam pasungan tata krama.
Kepala pelayan bertubuh tegap menggeleng heran. "Ada-ada saja," celetuknya.
Sans menghela lelah diikuti punggung tangannya yang menyapu tetesan di pelipisnya.
Bayangan punggung Prada nampak samar pada retina Sans ketika sepasang tungkai lincah pengawal itu merambati gerbang utama dan meluncur menuju udara bebas.
Petugas keamanan kebingungan menyadari sebuah kontak mobil meluncur searah gravitasi bumi setelah sosok prada lenyap.
Beruntung, kontak mobil itu dapat mendarat dengan sukses pada ubun-ubun petugas keamanan. Meskipun kepalanya berdenyut, tidak ada cidera pada tubuh kontak barang mewah tersebut.
"Awas kamu, Prada! Tidak akan aku bukakan pintu sampai kapanpun!" omelnya
Tawa kemerdekaan Pradana menggema lantang membuat Pak Aman memberengut dendam.
***