Natsuki El
....
Itulah namaku
....
Laki laki yang tidak bisa berbuat apa apa
....
Aku berdiri di antara dua batang besi hitam yang mengkilap. Menginjakan kaki di atas batuan kerikil putih yang seakan menjadi lautan di tengah jalur kereta ini. Kalian mungkin bertanya mengapa aku bisa disini, kenapa aku sampai bisa berpikir pendek, dan apa yang bisa membuatku ingin menghapus keberadaan ku di dunia ini. Tangan kanan ku menyembunyikan tanggung jawab di dalam saku jaket putihku ini. Tangan kiri mengepal kuat menahan rasa takut di dada. Rambut hitam berantakan yang melambangkan perasaanku sekarang ini. Tatapan mata kosong memandang ke masa depan.
Angin sepoi sepoi malam berhembus melewati leherku. Daun daun di ranting mulai melambai seolah tak mau aku pergi. Sepi, aku sengaja pergi ke jalur kereta yang membelah hutan Mori ini. Karena aku yakin tak akan ada yang bisa menyelamatkanku, tak ada yang bisa melihatku berakhir di sini juga. Kanan dan kiri rel ini hanyalah pepohonan yang berbaris, hanya merekalah yang menjadi saksi detik terakhir hidupku. Angin mulai berteriak kencang, ranting pohon mulai melambai lambai.
Nguuungg!!!!
Bisik klakson kereta api yang terdengar samar samar di telingaku. Namun, disaat yang sama...
Brrrrttt... Brrtt...
Ponsel di saku kiri celana hitam panjang ku bergetar. Dengan tatapan kosong ke depan aku merogoh saku celanaku dan melihat siapa yang mengirim pesan padaku untuk yang terakhir kalinya.
Haruka Nekochi
{Natsuki, cuma mastiin...}
{Kamu ada di rel kereta?}
Setelah membaca pesan dari aplikasi Line tersebut, kepalaku langsung menoleh sembilan puluh derajat ke kanan. Pandangan mataku yang kosong ini pun terisi oleh cahaya yang keluar dari antara dua pohon di kananku itu.
"Oohhh beneran Natsuki! Kamu ngapain di sini?" Suara perempuan yang masuk ke telingaku.
Kelopak mata kusipitkan, silau yang menutupi pandanganku ternyata berasal dari senter di genggaman tangan Haruka. Sepersekian detik kemudian wajahnya mulai terlihat. Gadis rambut sebahu dan memakai kacamata untuk membantu penglihatannya.
Aku pun menyembunyikan niatan hatiku lalu mengalihkan pertanyaannya.
"Hmm? kamu sendiri ngapain di sini malem malem?" Tanyaku.
"Hoo... Aku lagi kemah, kan ini baru libur musim panas." Jawabnya sembari mematikan senter di tangan kanannya.
"Ohh...," Aku hanya mengangguk-angguk tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Eh... kamu ngalihin topik ya? Ngapain di situ?!" Sergah Haruka.
"O-oohh.... nyari sinyaal! nda ada sinyal tadi!" Sahutku terbata bata mencari alasan.
Nguuungg!!!!
Kami berdua pun menoleh ke arah kereta yang datang dari arah belakangku. Tanpa basa basi Haruka melangkahkan kakinya cepat menghampiriku.
"Natsuki! Ayok sini bahaya tau!"
Pekiknya lalu menarik tangan kananku, setelah di seret beberapa langkah kami pun berada di posisi awal dimana Haruka berdiri tadi. Lalu kami menghabiskan beberapa detik dengan berdiam diri. Kereta yang seharusnya menjemput nyawaku itu melintas di jalurnya dengan kecepatan tinggi. Kami berdua tak beranjak dari tempat dan memperhatikan gerbong demi gerbong yang melintas. Waktu mengalir seperti sungai, akhirnya gerbong terakhir melintas. Mata kami masih tertuju kepada kereta itu sampai ia ditelan oleh jarak.
"Natsuki...," Suara lirih Haruka menusuk telinga kiri ku.
"Huh..?"
Saat ku menoleh, kelopak mataku langsung terbuka lebar. Kehangatan yang kurasakan di tangan kananku ini menghilang seketika. Aku bingung bukan kepalang, hanya bisa terdiam dan menyadari bahwa aku sendirian lagi. Batang hidung Haruka sama sekali tak terlihat. Hanya ada angin malam dan pepohonan yang menemaniku. Sang rembulan juga melihatku dengan tatapan heran.