Haruka menekan tombol dengan angka dua puluh tertulis padanya. Yap, itu adalah lantai dimana perpustakaan negara terletak. Memakan sampai lima lantai di gedung termegah di kota ini. Kami berdua berdiri berdampingan di dalam kotak baja yang terseret ke atas perlahan. Sunyi, sepi, tanpa sepatah kata pun, hanya terdengar suara bisikan mesin. Mataku tertuju pada penunjuk lantai di atas pintu lift ini. dua, tiga, empat, dan terus meningkat seiring waktu berjalan.
"Natsuki, aku...," kalimat lembut Haruka itu terputus ditengah jalan.
"Hmm?" Aku menoleh ke kiri untuk memastikan ia baik baik saja.
"Nda apah, nda ada apa apa...," sahutnya tetap mempertahankan lirik matanya ke bawah.
"Kamu kenapa? Ada masalah?" Aku sedikit memiringkan kepala untuk menyamai tingginya.
"Rahasia! Eheheheh!" Ujarnya disertai tawa palsu yang sangat jelas.
Hati ku merasakan sesuatu yang aneh. Rasa, sedih, kesepian, marah, dan ketakutan disaat yang bersamaan. Aku kembali meluruskan perhatianku ke depan. Mengepalkan kedua tanganku menahan semua rasa aneh yang bergejolak di jiwaku.
Emang bener dia penjelajah waktu?
Kalau iya, kenapa dia menemui ku?
Kenapa?
Kapan aku mengenalnya?
Berapa kali aku melewati waktu ini?
"Natsuki, nda akan ada hal buruk kok!" Ia memancarkan tatapan penuh harapan. Bola matanya nampak seperti kegelapan tanpa batas, namun air mata memberikan secercah cahaya yang bersinar dari dalam sana.
"Hah? Maksudmu?" Aku merasakan genggaman tangan kanan Haruka di tangan kiri ku.
"Hem hem!" Haruka menggelengkan kepala ke kanan dan kiri seakan membendung semua perasaannya.
"Haruka? Aku mungkin ga kenal kamu tapi, kamu bilang kita pernah ketemu kan?" Kalimat yang terucap dari bibirku.
"Mungkin aku ga inget kenangan kita, tapi aku yakin...," ku pandang angka penunjuk seberapa tinggi kami dibawa oleh lift ini.
Delapan, sembilan, sepuluh, dan terus menerus naik tanpa henti.
"Kita pasti punya kenangan kan?" Disaat yang sama, hatiku juga tersayat sesuatu yang tak bisa diterangkan oleh para penyihir sekalipun.
"Iyap!" Haruka mengangguk diiringi air mata pertama yang mengalir.
"Ya, aku pernah nonton film time travel seh, tapi pasti bad end... hehehe...," lanjut ku terkekeh menahan rasa sakit di hati yang semakin besar.
Sebelas, dua belas, tiga belas, angka yang bersinar merah terang itu seakan menunjukan waktu bagi kami berdua.
"Tapi kita bakal tetep ketemu kan?" Itu bukanlah pertanyaan, namun sebuah harapan yang entah datang dari mana.
"Iyap!" Haruka kembali mengangguk, namun kali ini ia mempererat genggaman tangannya padaku.
Empat belas, lima belas, enam belas. Perjalanan naik kami hampir berada di ujung waktu.
"Natsuki! Aku..., mau kamu janji!" Nekochi mengacungkan jari kelingking tangan kirinya di depan dadaku.
"Hemm? Janji apa?" Entah kenapa aku secara otomatis menyerahkan jari kelingking kanan ku.
Kami berdua saling mengaitkan jari kelingking. Tujuh belas, delapan belas, angka penunjuk keberadaan kami itu terus mendekati akhir dari tujuan perjalanan kami menaiki lift ini.
"Kita bakal terus selalu sama sama, sampai selamanya!"
"Kita bakal habisin waktu bareng selamanya!"
"Haru bakal terus berusaha ingetin Natsu!"
"Walau harus jutaan kali!"
"Haru bakal terus ingetin Natsu!"
"Kalau kita punya kenangan!"
"Kenangan yang gak terbatas!"
"Natsu!"
"Tolong inget janji ini sampe selamanya!"
Mataku terbelalak lebar melihat Haruka berteriak sembari membanjiri wajahnya dengan tumpahan emosinya.
"Janji bulan! Kalau ngelanggar Haru bakal nangis seratus tahun!" Kata terakhir dari hujan emosi Haruka.
"Iya... aku ga akan ngelanggar!" Kuanggukan kepala ke atas dan ke bawah sekali.
"Dah Lupain! Ndak penting!" Haruka melepas kedua tangannya dari ku dan mengusap air mata di wajah cantiknya itu.
"Haruka... ya, walau aku belum tau apa apa buat sekarang...," Ku mendongakkan kepalaku dan melihat penunjuk perjalanan kami.
Sembilan belas, dan akhirnya memberi tahu kami bahwa pintu sudah siap terbuka, lantai dua puluh.
"Aku pasti bakal tau suatu saat nanti!" Ujarku dengan penuh keyakinan.
"Natsuki...," suara lirih diiringi tangan kanannya yang menjangkau lengan kiri ku.
"Hemm?!"
Kring!!!!!
Suara penanda bahwa pintu lift yang kami tumpangi ini perlahan terbuka lebar. Namun, bersamaan dengan cahaya yang masuk dari celah pintu lift yang terbuka sedikit demi sedikit itu. Lengan kiri ku mulai kehilangan kehangatannya. Ku tengok ke kiri dan tak seorangpun berdiri di sampingku. Haruka Nekochi, gadis misterius itu menghilang tanpa jejak, tanpa sepatah kata perpisahan, dan secepat aku mengedipkan kelopak mataku.
"Haruka?"
Panggilku penuh pertanyaan yang tak bisa dijelaskan.