Memakai kemeja putih yang sedikit kebesaran. Rok hitam panjang dan sepatu warna merah muda. Rambut sebahu yang terombang-ambing angin musim gugur. Aku tak tahu mengapa ia di sini, namun aku tak keberatan sama sekali.
"Emang apaan surprise yang kamu bilang tadi?" Tanyaku penuh dengan rasa kepo di hati.
"Yakin mau tau?" Ia melangkah satu kali ke belakang.
"Iya lah! Hobi banget bikin aku kepo!" Sergah ku melepas tangan dari gagang pintu dan melangkah keluar rumah.
"Sini!" Haruka melempar senyum sambil mengulurkan tangan kanannya.
"Huh?" Dengan rasa bingung dan pasrah, ku serahkan tangan kiri padanya.
"Angin, dan bumi..., izinkan kami terbang ke angkasa!" Ujarnya seiring dengan seribu pertanyaan yang ada di kepalaku.
Swusss!!!
"HEEEE!? Apaan ini?!"
Teriak ku lantang saat dua pasang kaki kami terangkat dari tanah. Isi otakku penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Namun kenyataan tetap menghujani ku dengan hal mustahil yang terjadi ini. Kami berdua melesat terbang ke langit hanya dalam beberapa detik. Adrenalin di dalam darahku ini terpacu kencang, jantung ku berdetak dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Mata ku melirik ke bawah melihat rumahku yang sekarang sekecil semut dan dikelilingi oleh hijau rumput.
Boomm!!
Namun, dalam sekejap mata. Rumahku ditelan oleh api ledakan yang muncul entah dari mana. Aku tak mungkin seceroboh itu meninggalkan sesuatu yang bisa menghancurkan rumahku satu satunya. Namun, itulah yang terjadi. Walau begitu, pikiranku masih berada pada Haruka. Perempuan yang membawaku terbang ke arah matahari. Tinggi, semakin tinggi, sampai kedua kepala kami menembus awan.
"Haruka?" Aku mencoba memanggilnya.
"Takdir, waktu, ruang, terbuka lah untukku!" Tangan kirinya diangkat ke atas. Setelah sedetik mengucapkan kalimat seperti mantra itu. Sebuah lingkaran cahaya menerima kami berdua masuk ke dalamnya.
Kedua mataku tertutup rapat karena tak bisa menahan silau yang menusuk. Tapi, telapak kaki kanan ku perlahan menyentuh permukaan datar, begitu juga dengan kaki kiri ku. Sampai badan ini berdiri tegak di atas suatu tempat. Ku buka dua mataku ini perlahan. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, depan dan belakang. Tempat ini rasanya tak asing, namun masih aneh bagiku. Hanya ada warna putih tak terbatas sejauh mata memandang. Tidak ada batas atas bawah maupun samping.
Haruka masih berada di sisi kiri. Namun, di hadapan kami berdiri seseorang yang aneh. Perhatianku terpusat padanya, terutama topeng besi yang menutup seluruh bagian kepalanya. Mata topeng pria itu hanya berupa satu lingkaran merah yang menyala di tengah. Laki laki itu memakai jaket hitam dan celana panjang hitam, tak lupa sepatunya juga berwarna sama.
"Natsuki! Penghianat!" Kata si topeng besi dengan suara yang terdistorsi itu.
"Aku? Penghianat? Maksudnya?" Aku menunjuk diriku sendiri dengan jutaan pertanyaan.
"Natsu, uda saatnya kamu inget!" Suara lirih haruka yang masuk lewat telinga kiriku.
"Inget apaan Haruka?!" Pekik ku kesal dengan semua kenyataan yang sangat kacau sekarang ini.
"Aku..., aku minta maaf, karena kita uda lakuin berjuta cara. Tapi hasilnya tetep begini." Haruka memandang tangan kirinya sendiri.
Sementara itu tangan kanan laki laki di hadapan kami bersinar merah. Bukan tangan, lebih tepatnya syaraf dan pembuluh darahnya. Bersinar seperti bara api neraka. Entah apa pun itu, ini pasti bukan pertanda baik. Dan benar saja, kehangatan tangan kanan Haruka yang menggenggam ku ini perlahan memudar.
"Haruka?"
"Aku tunggu di masa lalu lagi ya?" Ucapan terakhirnya sebelum menguap jadi pasir yang terbang ke atas lalu lenyap.
"Tunggu?!"
Kedua mataku terbuka lebar, memandang ke depan. Menghadapi laki laki yang ternyata bernama 'Fate Keeper' itu. Penjaga takdir, sekarang aku mengingat semuanya. Dari mana aku berasal, dan mengapa aku selalu mengulang kejadian yang sudah pernah aku alami dengan Haruka.