Tap! Tap! Tap!
Sano melangkahkan kakinya dengan kecepatan tinggi. Memakan waktu 3 detik saja, kami hanya terpisahkan oleh satu meter jarak. Ia bersiap mengayunkan tangan kanan yang didalamnya mengalir cahaya merah itu. Akan tetapi aku sudah belajar dari pengalaman, ku tutup kelopak mata kananku. Dan bersinar lah bola mata kiri ku dengan warna biru. Mata Takdir, dengan ini aku bisa membaca semua kemungkinan yang bisa melukai tubuhku. Walau begitu aku tetap harus mengambil keputusan yang tepat dan cepat. Karena aku hanya memiliki waktu kurang dari satu detik.
Ku buat komitmen pada diriku untuk menghindari pukulan Sano. Lalu, ku pikir itu adalah keputusan yang tepat. Setelah aku melompat ke arah kanan, pukulan tangan merahnya itu meleset.
"Cahaya dari langit, aku mohon bantulah aku!"
Suara gadis yang terdengar samar dari arah timur ku. Yap, setelah ku tolehkan pandanganku. Penyihir itu sedang membaca buku mantra yang bersinar terang. Juga, aku baru sadar jika awan hitam tebal menutupi gurun yang sudah jadi medan perang ini. Para kilatan cahaya saling menyapa satu sama lain di sana. Kali ini aku termakan jebakan mereka sekali lagi. Belum saja aku mendarat dari lompatan ku, sinar putih terjatuh dari langit, tepat ke arah tubuhku.
Boom!!
Aliran listrik yang cukup untuk menyinari satu kota itu mengatakan hai pada tubuhku. Rasa sakit yang luar biasa juga ikut berkeliling di sekujur badan yang terlempar kembali ke tanah tandus ini. Saat ku buka mata kembali, topeng besi yang aku pakai ini mengalami Overcharged, atau bisa dibilang kelebihan daya. Karena itu sistem pengelihatan dari dalam topeng ini sedikit terganggu. Tentu saja ini memudahkan Sano untuk mengenalkan pukulan tangan kanannya pada wajahku. Sekali, dua kali, kanan dan kiri. Namun aku tidak akan membiarkannya memukulku untuk yang ke tiga kalinya. Ku gulingkan badanku ke kiri lalu bangkit berdiri.
"Sial, aku lupa!" Sano sadar bahwa tangan kanannya tidak bisa menghapus ku dari kenyataan begitu saja.
Kami berdua memiliki kekuatan yang sama dan seimbang. Kami juga sama sama makhluk spesial yang diciptakan dewa. Setidaknya butuh waktu sembilan detik untuk melenyapkan ku dari dunia ini. Itu artinya Sano harus membekukan tubuhku lalu menggunakan teknik 'Pemotong Benang Takdir.' Yap, dengan menggunakan Time Fluids merah yang mengalir di tubuh kanannya itu. Sano bisa menghasilkan gelombang energi untuk menghapus sesuatu, atau seseorang dari kenyataan.
"Shiro!! Rencana B!" Pekik Sano menyampaikan katanya ke Penyihir itu yang ternyata bernama Shiro.
"Cih...," ku tekan tombol daerah telinga di kanan topeng ku ini.
Itu membuat bagian leher topeng ini menjadi longgar. Berguna bagiku untuk melepasnya, lalu membuang kaleng tak berguna itu ke atas tanah.
Fuuuu!!
Angin badai bertiup dari arah barat ke timur. Pasukan debu juga mengikuti kemana pemimpinnya berjalan. Kami terdiam sejenak tanpa suara, gerakan, atau apapun. Ku lihat Shiro sejenak, gadis itu fokus membaca buku mantra nya yang memiliki kertas bersinar warna emas. Lalu ku melirik ke wajah Sano, mirip, bukan lagi mirip. Tapi sama dengan wajah yang aku miliki. Bukan hanya wajah, tubuh, namun kekuatan kami pun setara. Walau begitu Sano memiliki keunggulan yang tak aku miliki, yaitu orang yang membantunya.
"Sano! Apa yang membuatmu memilih dia dari pada hidupmu sendiri?" Pertanyaan yang langsung keluar dari hatiku. Kali ini aku tak membaca perintah dari dalam topeng itu lagi.
"Heheh... kamu bakal tau kalau kamu menang!" Jawabnya terkekeh, dengan senyum lebar.
Dia memanglah lawanku, namun dia juga adalah diriku. Yang membedakan kami hanyalah warna rambut dan cara pandang kami.