Aku mengepalkan tanganku kuat, menghadapi sepasang kekasih yang melawan takdir. Shiro, penyihir itu menatapku dengan matanya yang bersinar warna oranye terang. Buku mantranya itu bersinar dan melayang di depannya, selalu mengikuti setiap gerak-gerik ya. Sedangkan tangan kiri dan kanan Sano bersinar biru dan merah. Menatapku dengan keinginan melenyapkanku dari kenyataan ini.
"Sang cahaya dari utara dan selatan dunia! Berikan aku kekuatan menghadapi lawanku!" Ucapan Shiro itu membuat halaman buku yang ia baca itu bersinar terang menyinari wajahnya.
Seketika bertiup angin dingin dari selatan dan utara. Awan hitam di atas medan perang ini memuntahkan salju lembut yang perlahan menyentuk kulitku.
"Salju?" Aku sempat terkagum, mengalihkan pandanganku dari lawan.
Swusshh!!!!
Dan dari situlah pintu terbuka bagi Sano untuk menyerang diriku yang lengah ini. Namun, Sano tidak menduga bahwa aku bisa menghindari pukulannya kali ini. Aku bahkan mengembalikan pukulan dengan tangan kiriku, lalu mencengkeram jaket hitamnya itu menggunakan tangan yang dialiri darah penghapus takdir ini. Perlahan tubuh Sano mengeluarkan cahaya, seperti kunang kunang keluar dari tubuhnya. Aku hanya butuh sembilan detik untuk menghapus keberadaanya. dan sekarang tersisa lima.
"Heheh! Mampus....," Sano tersenyum menahan rasa sakit.
Seketika itu juga aku menyadari, aku masuk dalam jebakan mereka untuk yang kesekian kalinya. Ku tolehkan pandanganku ke arah penyihir berambut putih itu.
"Haaaaaaaa!!!!" Teriakan Shiro diiringi gumpalan salju menerjang maju ke arahku. Salju itu nampak seperti air yang keluar dari keran, namun bedanya aku tidak dapat melihat dari mana asal salju itu berasal.
Bwuusshhh!!!!
Sekumpulan salju itu menghantam diriku dan Sano. Itu membuat tangan kananku terlepas darinya, dan terseret dalam gelombang putih ini menjauh dari diriku yang dulu.
"Kekuatan dari ujung dunia! Buatlah musuhku tak berdaya!" Mantra yang terus diucapkan Shiro.
Seketika salju yang menenggelamkan diriku mencair sejenak lalu berubah jadi kristal yang membuatku tak bisa menggerakkan tubuh.
Srakk!!!
Sano berdiri tegak diatas es yang menenggelamkan semua badan, kecuali kepalaku ini.
"Siapa namamu?" Tanya Sano dengan tangan kanannya yang siap menghapusku dari kenyataan.
"Huh?" Aku hanya diam tak mengetahui apa yang ada di pikiranku.
Akan tetapi satu detik kemudian aku mengingat sesuatu. Sarung tangan besi ini memiliki sistem penghancur diri otomatis. Aku bisa menggunakan ledakannya untuk keluar dari perangkap es ini yang menggenggamku erat.
Beeep!! Booomm!!!
Ledakan kecil terjadi, Sano terlempar ke udara, begitu pula denganku. Kami berdua mendarat bersamaan di atas kedua kaki kami. Berhadapan kembali untuk kesekian kalinya. Tidak satupun dari kami yang mengalah. Aku melihat sepasang tangan yang ku miliki ini. Pembulu darahnya terlihat bersinar dengan warnanya masing masing. Kanan merah, dan kiri biru. Setelah kedua sarung tangan besi itu hancur. Kini aku tidak memiliki batasan. Karena selain sebagai pelindung. Sarung tangan itu juga berfungsi sebagai Limiter, atau pembatas detak jantungku, agar tak melebihi 290 BPM. Dikarenakan jantungku hanya akan bertahan selama dua puluh detik jika berdetak lebih dari 300BPM.
Deg!!! Dug!!!
Aku merasakan detak jantungku yang semakin cepat. Pembuluh darahku ini semakin terang seperti lampu neon.
"Gunakan kekuatanmu! Lenyapkan mereka!" Suara samar yang keluar dari topeng besi yang tergeletak di tanah seperti sampah itu.
Suatu energi membakar tangan kananku, seperti api merah yang berkobar. Entah perintah dari siapa, tangan kananku mengarah ke arah Shiro, yang terpelongo karena tak tahu apa yang akan aku lakukan. Jangankan dia, aku pun masih belum paham dengan diriku sendiri.