"Hah? Natsuki? kamu sehat kan?"
Kegelapan, ketakutan, dan detak jantung yang cepat. Aku membuka kedua kelopak mataku, dan kembali melihat kenyataan. Berada di samping Haruka di dalam bus yang kami tumpangi. Kursi biru yang lembut dan nyaman. Tanganku merasakan kehangatan yang tak asing di tangan kananku. Aku melirik kanan kiri memastikan aku benar benar sudah lari dari mimpi buruk tadi.
"Natsuki?"
"Kenapa?"
"Ada yang salah?"
"Hemm?"
Berbagai pertanyaan yang Haruka tembakan padaku. Aku masih seperti bayi yang terlahir ke dunia. Walau tak menangis dan merengek. Aku tetap tak tahu apapun yang terjadi beberapa menit lalu.
"Aku ketiduran?" Tanyaku menoleh ke kanan.
"Yap, boboknya kaya keboh!" Ejekan diiringi senyum indahnya itu membuatku tak bisa marah. Bahkan, aku tak bisa berucap sama sekali.
"Oh... hmm...," Aku melirikan bola mataku sedikit ke bawah dan melihat kami berdua saling menggenggam tangan.
"Natsuki, bulannya cantik ya?" Haruka memalingkan pandangannya dari wajahku. Melihat keluar jendela, memandangi awan biru yang sangat cerah.
"Hah? Ini kan siang?"
"Maksudnya?" Aku mengerutkan dahiku heran.
Karena Haruka tidak merespon pertanyaan dari mulutku, aku pun berusaha melepas tangan kananku ini.
"Natsuki! Jangan...," Pinta Haruka lirih.
Mataku pun kembali tertuju pada mukanya. Matahari yang menerangi wajahnya itu tertutup bayangan. Bayangan yang membuatnya tak bisa tersenyum kembali. Tapi, aku, apa ini, justru hatiku yang tersayat oleh kenyataan saat melihatnya. Aku tak paham, aku tak mengerti, tapi ini terjadi.
"Haruka? Apa kita pernah ketemu sebelumnya?" Kalimat tanya itu otomatis keluar dari mulutku.
"Yap, tapi itu ndak penting buat sekarang." Dua bola mata hitam pekat itu terpusat padaku kembali.
"Hah? Kok isa?" Ku lontar pertanyaan kedua.
"Karena... Heeee.... kita uda lewat perbatasan Horeeee dah dekeet!!!" Seketika Haruka mengalihkan topik secepat kilat, ketika bus yang kami tumpangi ini melewati gerbang batas sektor pulau ini.
"Time travel? atau apa? dukun?"" Tebakan dari kepala yang turun ke mulut.
"Mana ada dukun, enak aja!" sahutnya tanpa menoleh ke arahku sama sekali.
"Terus?" Ku tetap memusatkan perhatianku padanya.
"Yap, salah satu dari itu bener." Haruka menganggukkan kepalanya sekali tanpa mengubah posisi.
"Time travel?" Sedikit ku miringkan kepala ke arah kanan.
"Iyap!" Jawabnya kembali membanting arah perhatiannya padaku lagi.
"Jadi? Kamu ketemu aku di masa depan atau masa lalu?" Aku, Natsuki El, mulai tertarik dengan gadis bernama Haruka Nekochi.
"Umm... jangan bahas itu dulu ya?" Bayangan itu kembali menyelimuti raut wajahnya. Ia menghindar dari tatapan mataku.
"Oke oke ...," Aku menengok ke arah depan bus untuk memastikan jarak Natsu tower yang sudah mulai terlihat itu.
Tertutupi kanan dan kirinya oleh pemcakar langit lain. Namun tingginya yang tak terkalahkan itu membuatnya tetap terlihat. Detik demi detik berlalu, gedung tertinggi itu mulai terlihat jelas. Haruka yang penasaran seperti anak kucing itu pun tak melepaskan genggaman tangan kirinya dariku, sedikit mengangkat kepalanya berusaha mengungguli tinggi kursi penumpang yang menghalangi pengelihatannya.
"Haruka, tenang aja kenapa... tar juga sampe sana!" Aku berusaha membuat Haruka duduk dengan benar di tempatnya.
"Heee... tapi tapi! Neko nda sabar!" Bantah Haruka kembali ke posisi duduk awalnya.
Aku tidak yakin dia time travel, tapi aku percaya padanya. Perasaan aneh apa ini, aku baru mengenalnya beberapa menit lalu, namun tingkah lakunya seperti kami memiliki hubungan khusus.
"Neko?" Kepalaku menanyakan panggilan nama Haruka yang tak biasa itu. Neko, artinya kucing dalam bahasa jepang. Memang sih namanya Nekochi, tapi apa tidak terlalu lucu kalau dipanggil Neko?