Haruka Nekochi, gadis cantik berkacamata. Rambut hitam sebahunya yang terurai. Kemeja seputih salju. Dan rok hitam panjang sampai ke pergelangan kaki. Ia duduk di samping kananku, aroma parfumnya mengetuk masuk ke hidungku. Kehangatan tangannya ini bagaikan musim semi, yang mencairkan salju dari musim dingin. Tanpa memisahkan bibirnya dengan jarak, ia hanya duduk memandang keluar jendela bus. Sementara ia meninggalkan pertanyaan dariku di tengah padang pasir tandus.
Perlahan tapi pasti, bus ini mendekat ke gedung tertinggi di pulau ini. Berada di tengah tengah sektor Natsu, dikerubungi kendaraan bermotor dari segala arah. Gedung megah itu berdiri sendiri, dipisahkan dari yang lain oleh jalanan yang mengelilinginya. Beberapa halte bus dan taksi diletakan di pinggiran trotoarnya. Bus yang kami tumpangi ini menempatkan badannya di belakang bus lain, yang menurunkan penumpang di halte nomer 9.
Sembari menunggu, aku mengalihkan pandanganku ke kanan. Haruka nampak tak bergerak sama sekali. Hanya diam memandang ke luar jendela. Melihat keramaian kota yang biasa. Pantulan wajahnya bisa ku lihat dari kaca jendela, tatapan kosongnya itu mulai membuatku cemas. Aku memerintah tangan kiri ku untuk ikut menggenggam tangan Haruka.
"Haruka? Uda sampe nih...," ucapku berusaha memanggilnya kembali ke dunia nyata.
"Oh?! Heee iya kahh?? mana mana mana!" Ia tersentak dan langsung berdiri dari bangkunya.
"Heh heh heh, santai aja napa?" Aku terkejut merasakan kehangatan tangannya itu terlepas dariku.
"Yuk yuk yuk!" Senyuman pelangi Haruka itu kembali muncul. Ia mendesak diriku agar ikut berdiri.
Haruka berjalan ke arah depan pintu bus yang masih tertutup itu. Aku pun mengikutinya, berdiri di sampingnya, menunggu bus ini untuk maju beberapa meter ke depan.
"Natsuki?" Panggil Haruka sembari memegang tiang besi di sebelah kirinya.
Bus ini melaju perlahan dan berhenti di depan halte. Kami bisa melihat jelas halte nomer 9 yang kosong dari pintu kaca bus ini. Seakan halte itu memang khusus disediakan untuk kami.
"Hmm?" Tanyaku sedikit terlambat atas respon dari panggilan namaku.
"Nda ada apa apah, yuk!" Ujarnya diiringi pintu bus ini yang terbuka lebar dengan sendirinya.
Haruka mengambil langkah besar lalu berbalik memandangku ketika ia sudah berada di atas Halte. Tanpa basa basi aku pun menjadi ekornya. Dua langkah ke depan dan Haruka kembali menggenggam tanganku.
"Buruan Natsuki!" Ajaknya dengan raut wajah seperti kembang api di musim panas.
Aku menyerahkan seluruh hidupku ini bersamanya. Mengikuti kemana ia melangkah, dan tetap tak bisa berpaling dari gadis itu. Kami berdua seperti sepasang kupu kupu yang terbang melewati taman bunga. Menuju ke pintu masuk Timur dari gedung tertinggi ini. Dari tiga pintu yang lain, pintu masuk ini lebih longgar dari pengunjung. Seakan Haruka tahu pasti pintu ini yang paling tepat untuk kami. Masalahnya, jika memilih dari tiga gerbang yang lain kami harus mengantri terlebih dahulu.
"Haruka? Kita mau ke perpus?" Tanyaku pasrah ketika tangan kanan ku ia bimbing ke arah yang ia mau.
"Iyap, kenapa? nda mauk?" Sahutnya diiringi dua pertanyaan baru.
"Ya mau... kan nanya doang," kata ku ketika kami masuk ke lantai dasar gedung ini.
udara dingin dari pendingin udara mulai menusuk kulit. Bau khas pendingin udara itu juga masuk lewat kedua lubang hidungku. Lantai dasar ini digunakan hanya untuk ruang tunggu dan istirahat. Banyak kursi kursi dan beberapa hiasan air mancur di tengahnya. Haruka yang bertanggung jawab atas tujuan kami hari ini, membimbing kami memasuki salah satu lift yang beroperasi. Dan lagi lagi, kami hanya berdua di dalam lift ini.