"Iyap... Kamu Natsuki kan?" Jawab Haruka ditambah pertanyaan dari lisannya itu.
"Hmm...," ku anggukan kepalaku seraya melangkahkan kaki maju ke depan.
"Heh! Malah ninggal, cuek banget dah!" Nyinyir Haruka membuntuti punggungku.
Kami berdua berjalan menyusuri halaman depan rumah milikku ini. Halaman ini menjadi penghalang rumahku untuk berdekatan dengan jalan aspal. Kanan, kiri, kanan, lalu kiri lagi, setelah sepuluh langkah kami pun memakai trotoar. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami berdua. Mengikuti arus jalan pedesaan yang tak banyak dilalui kendaraan itu.
"Haruka... Buat apa ke Natsu Tower?" Pertanyaan pertama setelah sekian lama kami berdua diselimuti kesunyian.
"Emm... Itu, beli buku bahasa inggris...," jawabnya sedikit gugup.
"Tapi tapi... Kamu belum bilang iya kan? Emang kamu mau?" Ia mempercepat langkah dan berakhir berjalan di samping kananku.
"Hmm... iya iya...," ku sembunyikan dua tangan ke dalam saku jaket merah ku ini.
Angin musim semi bergerak dari kanan ke kiri, berhembus melewati kami berdua yang terus berjalan maju menuju halte berjarak sekitar lima puluh meter lagi. Dedaunan di ranting mulai melambai. Mulut kami seakan dikunci rapat rapat oleh takdir. Bibir ini tak mau terbuka sama sekali, walau aku memiliki berjuta pertanyaan di hati yang menunggu keluar.
"Aku tau rumahmu dari Pak Riku," Haruka berucap dengan suara lembutnya itu.
Satu pertanyaan hati ku terjawab secara otomatis, ya setidaknya sekarang aku tahu dari mana Haruka bisa sampai di sini. Detik berlalu seperti bintang jatuh, sangat cepat sampai ku tak sadar. Bahwa halte bus yang kami tuju tinggal beberapa langkah lagi. Menaiki dua anak tangga dan kami pun sudah berada di halte bus nomer 25 ini.
"Natsuki, makasih...," bisiknya langsung berhembus masuk ke telinga kananku.
"Hah? Buat apa?" Pertanyaan yang otomatis terlempar keluar dari bibir ku.
"Nda apa apah, itu dah dateng bis-nya," Haruka mengarahkan jari telunjuknya ke bus yang melaju perlahan itu. Setelah menunggu beberapa detik mendengar suara bus itu perlahan semakin besar. Akhirnya kami bisa masuk ke dalam bus yang sudah berhenti dan membuka pintunya itu di depan kami berdua.
Dua langkah ke depan dan kami segera memilih tempat duduk yang kosong. Haruka mendahului ku untuk mendapatkan tempat duduk samping jendela. Ya, sebenarnya aku lebih suka duduk di tempat Haruka tapi mau bagaimana lagi. Aku mengalah, dan hanya duduk di sampingnya tanpa berkomentar sepatah kata.
Pintu bus ini menutup dengan sendirinya, lalu perlahan lahan menambahkan kecepatan lajunya. Aku menghela nafas lega karena tak perlu menunggu lama. Menyandarkan punggung ke belakang, menoleh ke depan dan belakang untuk memperhatikan lingkungan. Hanya ada dua pasang penumpang lain yang ikut serta dalam bus ini. Laki laki paruh baya bersama anak laki lakinya duduk di kursi paling belakang bus, dan dua murid SMA duduk di kursi belakang supir.
Kami memilih bangku tengah bagian kanan, ku melirik ke kanan untuk melihat gadis misterius itu sejenak. Haruka menempelkan dahi ke kaca, tersenyum tipis menikmati pemandangan yang ada di depan matanya itu. Aku baru sadar bahwa ia membawa tas tangan kecil warna merah yang ia letakan di atas kedua pahanya untuk sejenak. Perlahan Haruka menarik satu sisi syal putih yang melingkar di lehernya, sampai seluruh syalnya terlepas.
Teman sekolah yang tak pernah ku lihat itu berbalik dan menatapku dengan empat matanya itu.
"Natsuki?"