Suasana di Kediaman Mahardika sangatlah berduka, semua keluarga sangat kehilangan sosok Andra yang sangat mereka kasihi. Mama Amara ibu dari Andra sangat hancur, putra sematawayangnya kini telah tiada meninggalkanya untuk selamanya. Isak tangis dan deraian air mata terus menetes dari kedua bola mata hitam Mama Amara.
Papa Surya ayah dari Andra berkali-kali memberi pengertian pada istrinya bahwa Andra telah tiada. Ia mencoba terus membujuk Mama Amara untuk mengikhlaskan Andra pergi, agar jiwanya bisa pergi dengan tenang. Namun, Mama Amara lagi-lagi terus menganggap Andra masih hidup. Dia tidak percaya dengan kematian Andra bahkan menganggap kalau jasad dalam peti mati yang ada di hadapannya itu bukan Andra.
"Andra …," seru Mama Amara lirih yang terpuruk di atas peti mati Andra.
Papa Surya yang berdiri di samping Mama Amara pun meraih pundaknya dan berkata, "Ma … kita ikhlasakan Andra, ya. Biarkan Andra bisa pergi dengan tenang."
"Apa?" seru Mama Amara yang menoleh pada suaminya dengan tatapan mata yang menatap dengan tajam.
Mama Amara terbangun dari atas peti mati Andra menghadap pada Papa Surya. Matanya terus membulat tanpa mengedipkan matanya sedari tadi menyisakan genangan air mata di kedua matanya. "Kau bilang apa tadi? Aku … aku harus mengikhlaskan, Andra? Kau pikir Andra sudah tiada?"
"Ma, memang Andra sudah tiada. Mama seharunya bisa menerima semua itu."
"Kau pikir aku bisa menerima itu? Kau pikir aku bisa menerima kalau anakku telah tiada?"
Mama Amara pun menggelengkan kepalanya mengepalkan kedua tangannnya air matanya pun menetes kembali. "Tidak! Aku tidak bisa menerima semua ini. Anakku masih hidup!
"Sadarlah, Ma. Andra kini telah tiada, dia sudah pulang ke—"
"Tidak! Anakku masih hidup! Dia … dia … bukan anakku. Orang yang ada dalam peti mati itu bukan anakku, pasti dia bukan anakku!" teriak Mama Amara sembari menoleh ke arah peti mati Andra dan menunjuknya.
Clara yang berada di samping mereka berdua pun angkat bicara. Tadi ia memilih diam karena tidak ingin menganggu perbincangan mereka. Namun, kini ia pun mendekat pada Mama Amara menoba menenangkannya. "Ma, aku tahu Mama sangat sedih dengan kepergian Andra. Tapi, Mama tidak bisa beranggapan seperti itu. Kasian Andra, Ma … dia pasti ingin beristirahat dengan tenang. Bagaimana pun juga Mama harus mengikhlaskan Andra, ya. Andra pasti sedih kalau melihat Mama sedih seperti ini."
"Clara … kenapa kau percaya dengan semua ini? Kita bahkan tidak tahu dengan pasti apa benar yang ada dalam peti mati itu Andra atau bukan. Bisa saja itu orang lain," jawab Mama Amara yang beranggapan demikian.
Kematian Andra secara mendadak hal itu semua keluarga tidak percaya. Apalagi memang polisi tidak mengizinkan pihak keluarga untuk melihat jasad Andra di karenakan wajahnya yang rusak dan tidak bisa dikenali lagi. Polisi mengantisipasi agar pihak keluarga tidak histeris saat melihat jasad dari Andra.
Walaupun demikian Papa Surya tetap yakin dengan kematian Andra karena polisi menunjukkan identitas Andra. Begitu pun juga dengan kecelakakaan itu memang terjadi pada mobil yang di kendarai Andra. Secara otomatis memang benarlah kalau jasad yang di temukan dalam jurang itu adalah jasad Andra.
"Ma … mau sampai kapan Mama tidak bisa menerima semua ini? Jasad itu adalah jasad Andra, Ma. Anak kita," ucap Papa Surya yang mencoba menjelasakan pada Mama Amara kembali perihal kematian Andra.
"Iya, Ma. Apa yang di katakan oleh Papa Surya itu benar. Andra telah tiada dan itu benar jasad dari Andra," ucap Clara yang mencoba membantu menjelaskannya kembali.
"Tidak … itu bukan Andra. Bagaimana mungkin istrinya sendiri menganggap suaminya telah tiada. Padahal jelas-jelas itu bukan jasad Andra. Itu orang lain!" ujar Mama Amara yang masih bersih keras bahwa jasad dalam peti mati itu bukan Andra anaknya.
"Ma, cukup! Mama sudah kelewatan batas, dia itu anak kita Andra. Mama seharusnya mengikhlaskan dia," ucap Papa Surya yang mencoba bersikap tegas pada istrinya.
"Baiklah, kalau Papa menganggap itu Andra. Tapi, mama belum yakin, Pa. Perasaanku mengatakan kalau dia bukan anak kita. Dia bukan Andra, Pa."
"Ma … cobalah mengerti dengan semua ini. Tuhan lebih menyayangi Andra."
Mama Amara pun melirik Papa Surya dengan tatapan tajamnya dan berkata, "Apa? Tuhan lebih menyayangi Andra? Apa Papa sadar dengan apa yang Papa katakan? Bahkan Tuhan pun tidak pernah adil. Dia selalu mengambil apa yang aku miliki. Dia mengambil anakku!"
"Ma, Mama yang tenang, ya. Mama jangan seperti ini," ucap Clara yang sembari memeluk Mama Amara dari samping.
"Clara … katakan pada mama. Apa mama salah? Apa salah kalau mama tidak yakin kalau jasad yang ada di dalam peti mati itu bukan Andra?"
"Mama tidak salah, hanya saja Mama tidak benar kalau beranggapan seperti itu."
"Kalau tidak benar itu artinya salah."
"Ma, maksud aku bukan seperti it—"
"Sudahlah, kalian tidak mengerti dengan perasaan seorang ibu. Bagaimana ikatan seorang ibu dengan anaknya. Kalian semua sama sekali tidak mengerti."
"Ma, kami mengerti apa yang dirasakan Mama juga kami rasakan. Semuanya di sini merasa sangat kehilangan Andra karena kepergiaannya secara mendadak."
"Itu bukan Andra, Pa! Andra masih hidup!"
"Amara … berapa kali aku harus mengatakan padamu kalau Andra itu telah tiada! Kau harus sadar! Kau jangan terpuruk seperti ini, aku tahu kau merasa sangat kehilangannya. Jiwamu terguncang karena ini, tapi aku mohon jangan beranggapan demikian yang hanya akan membuat asumsi seseorang dan beranggapan juga bahwa Andra masih hidup." ucap Papa Surya dengan nada keras sembari menahan emosinya.
"Tapi memang Andra masih hidup!" teriak Mama Amara dengan penuh keyakinannya.
"Amara, tenangkanlah dirimu!" ucap Papa Surya sembari menyerkitkan dahinya.
Mama Amara pun tersenyum sembari meneteska air matanya dan berkata, "Baiklah, Pa. Jika kau mau aku tengang. Aku akan menurutimu … tapi jika kau mau aku percaya denganmu. Menganggap itu adalah jasad Andra itu tidaka kan pernah terjadi. Karena apa? Karena selamanya bagiku Andra anakku masih hidup."
'Kasihan sekali Mama Amara, dia sangat kehilangan putra kesyangannya sampai-sampai dirinya seperti itu. Aku sangat mengerti bagaimana seorang ibu menyayangi putranya. Wajar saja jika Mama Amara seperti itu.' Batin Clara sembari melihat Mama Amara dengan sendu.
Seorang ketua penjaga pun menghampiri Papa Surya memberitahu padanya bahwa prosesi pemakaman telah siap. Papa Surya pun memberikan intruksi padanya bahwa untuk segera memulainya. Hal itu dilakukan oleh Papa Surya agar Mama Amara jauh lebih tenang dan bisa menerima semua keadaan ini kalau memang Andra telah tiada.
"Permisi, Tuan Besar. Saya ingin menyampaikan bahwa prosesi pemakaman Tuan Muda Andra telah selesai di siapkan," ucap ketua penjaga yang melapor.
Papa Surya pun melirik Mama Amara dan berkata, "Baiklah, cepat segera lakukan prosesi pemakamannya. Agar Andra bisa pergi lebih tenang."
"Baik, Tuan Besar."
Melihat ketua penjaga membawa sebuah figura besar yang terdapat foto Andra di dalamnya. Serta rangkaian bunga putih yang berjajar menyatu menjadi sebuah kalung yang di lingkarkan pada figura itu. Mama Amara pun membuka mulutnya dan menatapnya dengan sayu, keseimbangan tubuhnya pun mulai tidak seimbang.
"Tidak," seru Mama Amara lirih.
"Kau harus ikhlas, ya! Biarkan Andra pergi dengan tenang," ucap Papa Surya lirih sembari memegang pundak istrinya menahannya agar tidak tumbang.
"A-a-andra," seru Mama Amara lirih sembari terbata.
'Andra … aku tidak menyangka kau akan pergi secepat ini. Aku bahkan belum membalaskan dendamku padamu, tapi kau justru telah lebih dulu pergi. Aku sudah memaafkan kesalahanmu dulu di masa lalu karena bagaimana pun kau telah tiada dan aku juga meminta maaf jika kehadiraanku dalam hidupmu.' Batin Clara sembari menatap peti mati Andra dengan raut wajah sedih.
Prosesi pemakaman Andra akan segera di mulai, ketua penjaga pun mulai melangkah keluar dari Kediaman Mahardika. Namun, langkah kakinya terhenti setelah ada sosok pria yang tengah menghadangnya di depan. Sosok pria itu mengenakan masker, pakaiannya sangat biasa bisa terbilang seperti orang desa.
"Berhenti!" seru sosok pria yang menghadang langkah dari ketua penjaga.
"Siapa kau? Kenapa kau menghalangi jalanku?" tanya ketua penjaga itu.
Sosok pria bertubuh kekar itu pun menatap ke seluruh penjuru ruangan. Matanya terfokus pada peti mati yang bertuliskan nama 'Andra' yang kini telah di angkat oleh beberapa penjaga. Setelah terdiam sejenak mengamati peti mati itu lalu dia melihat ke arah Mama Amara dan juga Papa Surya. Matanya sayu ia menatap Mama Amara tangannya pun mulai membuka masker penutup wajahnya.
Sosok pria itu membuka maskernya membuat semua orang yang ada dalam ruangan itu sangat terkejut. Bagaimana tidak sosok yang sudah tiada kini terlihat masih hidup di hadapan mereka semua. Senyuman terbit di wajah sosok pria misterius itu yang wajahnya mirip dengan Andra.
"Andra …," seru Mama Amara sembari tersenyum bahagia.