Mama Amara menunggu ucapan Andra yang menyatakan kalau dirinya setuju untuk berbagi kamar dengan Clara. Mama Amara sangat berharap kalau Andra bisa mengerti bahwa Clara dalah istrinya. Jadi, dirinya harus mencoba menerima Clara sebagai istrinya, walaupun Andra belum mengingat semua tentang Clara.
"Andra … bagaimana? Kau bisa bukan menerima Clara untuk tinggal di sini bersamamu di kamar ini?" tanya Mama Amara yang kembali mempertanyakan hal itu.
"Hm, aku …." Andra pun menghentikan ucapannya.
'Kalau aku tidak mengatakan hal itu, Mama pasti kecewa denganku. Apalagi jika wanita itu pergi dari sini. Walaupun aku tidak mengingatnya, tapi menurut Mama dia adalah istriku. Jadi, aku harus bijak mengambil keputusan.' Batin Andra.
"Baiklah, aku setuju. Dia boleh tinggal di sini, di kamar ini bersamaku. Tapi ada syaratnya," ucap Andra yang telah setuju, tetapi dirinya meminta syarat untuk itu semua.
"Syarat? Syarat apa?" tanya Mama Amara sembari menyerkitkan dahinya.
"Syaratnya, dia tidak boleh macam-macam padaku!"
Mama Amara pun melirik pada Clara dan berkata, "Tidak boleh macam-macam, bagaimana?"
"Ya, tidak boleh melebihi batasan. Walaupun menurut Mama dia itu istriku, tapi aku sama sekali tidak mengingatnya dank arena itulah dia seperti orang asing bagiku. Jadi, tolong bersikap wajar saja. Jangan berlebihan padaku."
"Oh, seperti itu," jawab Mama Amara sembari mengangguk setelah mengerti.
Mama Amara pun menoleh kembali pada Clara dan berkata, "Bagaimana, Clara? Kau juga setuju bukan dengan syarat dari Andra? Kau tidak jadi pulang, 'kan? Kau akan tetap di sini dengan Andra."
"Hm, bagaimana ya, Ma?" ucap Clara yang justru bertanya mengenai keputusannya pada Mama Amara.
"Mama mohon, Sayang. Tetap tinggal di sini, ya?"
'Aku tidak mungkin menolak permintaan Mama Amara. Ya, sepertinya memang aku harus tetap di sini. Sampai aku bisa menata kembali rencanaku untuk membalas dendam pada Andra.' Batin Clara sembari melirik Andra.
"Hm … baiklah, Ma. Aku akan tetap tinggal di sini, itu pun juga karena Mama yang minta. Sebenarnya aku juga masih tidak enak," ucap Clara sembari menunduk.
"Sayang, kau tidak perlu merasa sungkan begitu. Anggap saja ini rumahmu sendiri. Kau sangat baik memperlakukan mama saat mama di rumah kalian. Sekarang, mama akan memperlakukan kalian dengan sangat baik di sini."
Clara pun tersenyum sembari berkata, "Iya, Ma. Terima kasih."
"Iya, Sayang," jawab Mama Amara sembari mengusap bahu Clara.
Mama Amara pun menoleh pada Andra dan berkata, "Andra, Sayang … mama keluar dulu ya, kau jangan lupa istirahat."
"Iya, Ma," jawab Andra yang menatap Mama Amara.
"Ya, sudah. Kalau begitu, Clara kau jaga Andra dengan baik, ya? Mama titip dia," ucap Mama Amara pada Clara sembari menatapnya.
"Hm … iya, Ma. Pasti aku akan menjaga Andra dengan baik."
"Iya, mama percaya denganmu. Mama keluar dulu, ya."
"Iya, Ma," jawab Clara sembari melihat kepergian Mama Amara.
Meninggalkan jejak Mama Amara yang telah keluar dari kamar Andra. Clara pun melirik ke arah Andra yang ternyata juga tengah melirik ke arahnya. Kedua bola mata coklat itu pun bertemu, mereka berdua saling melirik. Clara pun langsung mengalihkan pandangannya dan berkata, "Hm … sebaiknya kau istirahat. Kau butuh banyak istirahat."
"Aku sudah merasa jauh lebih baik. Jadi, aku tidak perlu istirahat."
"Tapi, kau harus istirahat. Ingat apa kata mamamu tadi. Kau butuh istirahat yang cukup."
"Mama sudah pergi, lagi pula dia juga tidak tahu kondisi di sini bukan."
"Kenapa kau ini begitu keras kepala?" tanya Clara sembari melirik Andra.
"Aku rasa, aku sudah seperti ini sejak dulu. Harusnya kau sudah memahami diriku. Jika kau memang benar istriku," ujar Andra yang seolah mengatakan kalau dirinya tidak percaya dengan Clara.
Clara pun melangkah mendekat pada Andra, langkah kakinya terhenti di dekat ranjang. Matanya menatap ke arah Andra, Clara mengamati Andra dengan sangat jeli. Seolah dirinya tengah memeriksa dengan seksama fisik Andra.
"Apa kau benar-benar melupakanku?" tanya Clara lirih sembari menatap Andra.
Andra pun tersenyum sembari berkata, "Aku bahkan tidak ingat denganmu. Jadi, mana mungkin aku melupakanmu. Ingat denganmu saja tidak, apalagi melupakanmu."
"Ya, itu artinya kau melupakanku."
"Aku tidak melupakanmu. Hanya saja aku sama sekali tidak mengenalku."
"Tapi, bagaimana bisa aku mengenal dan menikah denganmu, ya? Apa dulu aku ini mencintaimu?" ucap Andra lagi yang bertanya pada Clara.
Clara pun terdiam dengan pertanyan Andra, pasalnya Andra menayakan hal yang jelas tentu jawabannya adalah kata 'Tidak'. Namun, Clara tidak mungkin mengatakan yang seperti itu karena nanti pasti Andra akan merasa heran. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak saling mencintai bisa menikah, pasti itu yang akan bermunculan dalam benak Andra.
'Kau bertanya seperti itu padaku. Aku bahkan tidak tahu harus menjawab apa. Ya, mungkin saja setahuku tidak. Kau tidak pernah mencintaiku dan tidak akan pernah mencintaiku.' Batin Clara sembari menatap Andra.
Melihat Clara yang terdiam sembari menatapnya, Andra pun kembali bertanya, "Hei, kenapa kau diam saja? Apa aku dulu begitu mencintaimu? Dan apa dulu aku yang mengejarmu?"
Clara pun tersenyum sembari berkata, "Menurutmu?"
"Aku sedang bertanya padamu, tapi kau malah kembali bertanya padaku. Konyol sekali …."
"Apa yang konyol? Aku hanya ingin menanyakan jawabanmu. Setidaknya agar aku tahu apa jawabanmu terlebih dahulu."
"Harusnya kau yang menjawab pertanyaanku terlebih dahulu."
"Hm … baiklah, coba ulangi. Apa tadi pertanyaanmu?"
"Apa dulu aku begitu mencintaimu? Dan apa aku yang mengejarmu?"
"Menurutmu apakah ada seorang wanita yang mengejar seorang pria?"
Melihat Andra terdiam sembari mencerna ucapannya, Clara pun kembali berkata, "Hm … baiklah, aku akan bantu menjawabnya. Mungkin iya, ada … tapi, coba kau pikirkan seberapa banyak? Dan umumnya itu seperti apa?"
Andra masih mencerna setiap kata yang Clara rangkai dalam sebuah kata-kata. Ia pun mulai mengerti dengan ucapan Clara. Andra menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan sembari berkata, "Apa artinya aku yang mengejarmu?"
"Kau tentunya bisa menjawabnya sendiri tanpa bantuanku," jawab Clara yang lalu membalikkan tubuhnya.
"Kalau benar begitu, itu artinya aku juga sangat mencintaimu?"
"Coba kau tanyakan pada hatimu. Kau pasti bisa mendapatkan jawabannya di sana," ucap Clara tanpa menoleh kembali pada Andra.
"Aku akan keluar sebentar, kau sebaiknya beristirahat," ucap Clara lagi sembari melangkah keluar kamar.
"Ahk, tunggu!" ucap Andra yang menghentikan langkah kaki Clara.
"Ada apa? Apa kau butuh sesuatu?"
"Iya," jawab Andra yang tidak langsung mengatakan maksudnya.
Clara pun menoleh ke belakang melihat ke arah Andra yang ada di ranjang. "Kau mau apa?"
"Aku mau … mau bertanya sesuatu padamu?"
"Mau bertanya apa lagi? Bukankah aku sudah menjawabnya tadi, apa kau belum puas dengan jawabanku?"
"Ini bukan mengenai pertanyaan yang tadi. Ya, walaupun aku belum puasa mendengar jawabannya darimu. Tapi, aku akan mencoba mencari jawabannya sendiri."
"Hm … iya, lalu?"
"Aku ingin bertanya mengenai … berbagi kamar ini."
Clara pun menyerkitkan dahinya dan berkata, "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."
"Maksudku adalah walaupun kita telah berbagi kamar ini, tapi kamar ini tetap menjadi milikku. Kau adalah tamu di kamar ini, hm … kau jangan tersinggung. Aku mengatakan hal ini karena aku benar-benar tidak ingat denganmu. Jadi, aku ingin kita menjaga jarak sebelum aku mengingat semuanya, walaupun kita adalah suami istri," jelas Andra.
"Jadi, kau ingin aku menjaga jarak darimu?"
"Iya, seperti itu. Kau jangan melebihi batasanmu."
"Melebihi batasanmu ini seperti apa?"
"Ya, tentu saja. Melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan."
"Hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan? Berarti kalau melakukan hubungan suami istri itu boleh?"
"Hah?" seru Andra sembari membuka mulutnya lebar.