Kini mereka semua telah tiba di Kediaman Mahardika, Mama Amara pun membantu Andra turun dari mobil. Kediaman megah yang di bangun di atas tanah berhektar-hektar bak istana milik sultan. Kediaman Mahardika tidak banyak berubah sejak dulu Andra kecil sampai saat ini.
Hanya beberapa tempat atau ornament yang di ganti karena telah di renovasi. Namun, semua itu tak menggubah Kediaman Mahardika sejak dulu. Andra pun sangat mengenali betul kediaman yang di tempatinya bertahun-tahun lalu di masa kecil hingga remaja.
Andra pun melihat area depan Kediaman Mahardika, senyuman terbit dalam raut wajahnya. Ia merasa senang bisa kembali ke tempat di mana Andra tinggal dulu. Namun, teringat jelas pula kalau ada beberapa yang berubah dari kediaman itu.
"Ma," panggil Andra pada Mama Amara yang berada di sampingnya.
"Iya, Sayang. Ada apa?"
"Kenapa rumah ini sedikit berbeda?"
Mama Amara pun menoleh pada Papa Surya sembari berkata, "Sayang … rumah kita melakukan beberapa renovasi. Jadi, ada sedikit perubahan. Tapi, kau masih ingat 'kan kalau ini rumah kita?"
"Iya, Ma. Aku masih ingat rumah ini, rumah kita … tapi, dulu tidak sepeti ini," jawab Andra yang terlihat sedih.
"Andra, Sayang. Kau kenapa, Nak? Apa ada yang salah dengan rumah ini?" tanya Mama Amara setelah melihat raut wajah Andra yang tadinya senang berubah menjadi sedih.
Andra menunjuk sebuah taman yang ada di area depan halaman Kediaman Mahardika. "Dulu, di sana ada ayunan kayu dan di sebelahnnya lagi ada air mancur yang berbentuk ikan. Tapi, sekarang semua itu sudah tidak ada. Tergantikan oleh air mancur yang lebih bagus."
Andra mengingat saat dulu di area halaman depan di taman ada ayunan yang terbuat dari kayu jati. Ayunan itu dulu sering Andra gunakan untuk bermain dengan teman-temannya, Dennis, Eddy dan Reno. Ketiga sahabatnya itu sudah bersahabat sejak kecil karena ayah mereka saling mengenal sebagai rekan bisnis.
Mereka berempat bersama dengan Andra sering main di Kediaman Mahardika. Tidak hanya main di sini saja, mereka sering bergantian main di rumah mereka. Namun, mereka sering bermain di tempat Andra karena lebih luas di bandingkan dengan rumah yang lainnya.
"Dulu aku sering bermain di sana bersama dengan Reno, Dennis dan Eddy," ucap Andra yang masih menatap ke arah taman.
"Iya, Sayang. Mama juga ingat itu."
"Iya, tapi sekarang sudah berubah tempatnya."
"Andra, perlu kau pahami bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi," ucap Papa Surya pada Andra sembari menepuk bahunya.
"Iya, Pa. Aku tahu," jawab Andra sembari menoleh pada Papa Surya.
"Ya, sudah. Ayo, kita masuk ke dalam," ucap Mama Amara yang mengajak semuanya untuk masuk ke dalam Kediaman Mahardika.
Clara yang berdiri bersama dengan mereka pun merasa asing di Kediaman Mahardika. Pasalnya ini kali pertama dirinya memasuki Kediaman Mahardika. Sebelumnya Clara tinggal di kediamannya bersama dengan Andra. Andra pun belum pernah mengajaknya ke Kediaman Mahardika karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
Selain itu juga karena pernikahan mereka terpaksa, semua acara pun di gelas secara mendadak. Walaupun demikian, tetapi pesta acara pernikahannya dulu terbilang cukup mewah dan memgah. Pernikahan seorang miliyarder tentunya harus terkesan mewah dan elegan.
Mereka semua melangkah masuk memasuki Kediaman Mahardika, tetapi Clara justru masih terdiam. Mama Amara yang menyadari Clara masih terdiam, ia pun menoleh pada Clara dan mengajaknya. "Clara, ayo masuk, Sayang."
"Ahk … iya, Ma." Clara pun tersenyum lalu melangkah bersama mereka untuk masuk ke dalam Kediaman Mahardika. Andra pun melihatnya dengan tatapan yang asing.
Mereka sudah berada di dalam Kediaman Mahardika, kediaman yang cukup megah itu terlihat sangat cantik. Beberapa pelayan pun sudah menyambut kedatangan Andra. Mereka mengucapkan selamat datang dan juga mengucapkan harapan agar Andra bisa segera pulih.
Meninggalkan sambutan dari beberapa pelayan, Mama Amara pun mengajak Andra untuk langsung beristirahat di kamar. Ia mengantar Andra beristirahat di kamarnya, kamar yang dulu Andra gunakan semasa anak-anak dan remaja. Sebelum akhirnya ia membeli apartemen dan tinggal di sana sendiri sebelum menikah dengan Clara.
"Sayang, ayo mama antar ke kamar, ya. Kau 'kan masih membutuhkan banyak istirahat," ucap Mama Amara pada Andra sembari tersenyum.
"Hm … iya, Ma."
"Ayo, Clara! Kita ke kamar bersama dengan Andra," ajak Mama Amara pada Clara.
Clara pun menoleh pada Mama Amara dan menjawab, "Hm … iya, Ma."
"Ayo, kamar Andra ada di atas."
Clara pun mengikuti Mama Amara yang membantu Andra melangkah menuju kamar. Mereka menaiki lift untuk sampai di lantai atas. Kamar Andra bisa terlihat setelah keluar adri lift karena jaraknya tidak jauh. Mereka pun melanjutkan langkah untuk sampai di kamar itu, kamar yang cukup luas untuk menjadi kamar satu orang.
Kamar itu dulunya adalah kamar Andra dan sekarang karena dia sudah menikah dengan Clara. Jadi, kamar itu menjadi kamar mereka berdua. Nantinya mereka akan tinggal dalam satu kamar yang sama yaitu di kamar yang dulunya milik Andra seorang.
'Jadi ini kamar Andra.' Batin Clara yang baru pertama kali memasuki kamar Andra.
"Ma … kamarku sedikit berubah, ya?" tanya Andra saat dirinya baru saja memasuki kamarnya.
"Iya, Sayang. Dulu kau yang merubahnya," jawab Mama Amara sembari tersenyum.
"Oh, iya … semuanya aku yang merubahnya."
"Iya, Sayang. Sejak aku mulai dewasa, kau merubah kamarmu sendiri sesuai dengan keinginanmu."
"Hm, begitu ya …."
"Iya, Sayang."
Mereka pun melanjutkan langkahnya menuju ranjang, Mama Amara membantu Andra mendudukannya di ranjang. Andra pun menatap Clara yang berdiri di samping Mama Amara dengan tatapan yang membuat Clara tidak nyaman karena merasa seperti orang asing. Andra menoleh pada Mama Amara dan berkata, "Ma … apa dia akan tinggal juga di sini?"
Mama Amara pun melirik ke arah Clara lalu tersenyum dan berkata, "Iya, Sayang. Clara akan tinggal bersama kita di sini karena kondisimu yang mengalami amnesia sebagian, kau tidak mengingatnya. Jadi, mama pikir kau pasti akan lebih nyaman jika tinggal di sini terlebih dahulu."
"Hm … iya, Ma. Aku tahu itu, memang benar aku pasti lebih nyaman di sini daripada di tempat lain."
"Sebenarnya bukan tempat lain, Sayang. Melainkan rumahmu sendiri, rumah kalian berdua."
"Aku sungguh sama sekali tidak mengingatnya, Ma."
"Ahk, ya sudah. Tidak apa-apa, semoga saja besok-besok kau akan ingat kembali semuanya."
"Iya, Ma. Semoga saja."
"Mama juga sangat berharap sekali kalau kau bisa sembuh, Sayang."
"Aku juga begitu, Ma. Aku ingin mengingat semuanya," ujar Andra sembari melirik Clara.
"Ya sudah, Sayang. Sebaiknya kau sekarang beristirahat, ya. Mama tinggal dulu," ucap Mama Amara yang menyuruh Andra beristirahat.
"Iya, Ma."
Mama Amara pun tersenyum lalu menatap ke arah Clara dan berkata, "Mama tinggal dulu, ya. Kau jaga Andra dengan baik, ya."
"Iya, Ma. Pasti aku akan menjaga Andra dengan baik," jawab Clara sembari tersenyum.
Andra yang mendengarkan percakapan mereka pun berkata, "Apa dia akan tetap di sini?"
"Tentu saja, dia 'kan istrimu. Dia akan menjagamu di sini," jawab Mama Amara sembari menoleh pada Andra.
"Tapi, Ma. Aku bahkan tidak mengingatnya, bagaimana bisa Mama membiarkan dia menjagaku?'
"Sayang, dia ini istrimu. Bagaimana pun dia harus di sini menjagamu. Lagi pula dia juga akan tidur di kamar ini bersamamu."
"Apa?" seru Andra yang terkejut.
"Iya, Clara akan tidur sekamar denganmu di sini. Kau sudah menikah, jadi kau harus berbagi kamar dengannya."
"Tapi, Ma. Aku tidak ingat dengannya dan aku merasa kalau dia itu orang asing. Bagaimana mungkin aku harus berbagi kamar dan ranjang dengannya, Ma?"
"Tentu saja bisa. Kau harus berbagi kamar dengannya dia itu istrimu."
"Tapi, Ma. Ak—"
"Tidak ada tapi-tapi, Andra! Kau harus berbagi kamar dengan istrimu. Apa kau mengerti?"
Andra belum sempat menjawab ucapan Mama Amara, tetapi Clara justru mencoba mengalah dengan mengatakan, "Hm … kalau memang Andra keberatan dengan adanya aku di sini. Tidak masalah kalau aku pulang saja ke rumah. Nanti aku akan sering-sering ke sini menjengguk Andra."
"Tidak! Tidak bisa begitu, Clara. Kau harus tetap ada di sini, kau adalah istri Andra. Jadi, kau harus tetap di sisinya."
"Tapi, Ma. Bagaimana pun juga aku mengerti dengan kondisi dan keinginan Andra. Dia tidak ingin aku ada di sini," ucap Clara sembari melirik Andra.
"Tidak, Sayang. Andra tidak bermaksud seperti itu."
Mama Amara pun menoleh pada Andra dan berkata, "Andra, cepat katakan pada Clara kalau kau tidak bermaksud seperti itu."
"Hm … iya, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tidak bermaksud untuk memintamu pulang kembali ke rumahmu, tapi aku hanya mengatakan kalau aku kurang setuju kalau kita berbagi kamar dan ranjang," jelas Andra.
'Heh, aku juga tidak ingin berbagi kamar apalagi ranjang denganmu. Kalau bukan terpaksa juga aku tidak mau.' Batin Clara sembari melirik Andra.
"Lihat 'kan … Andra tidak bermaksud seperti itu. Jadi, kau jangan kembali pulang ya. Kau tetap di sini bersama dengan Andra. Bagaimana pun dia ini suamimu, kau harus tetap di sisinya," bujuk Mama Amara pada Clara agar tidak jadi pulang ke rumahnya.
"Maaf, Ma. Bukannya kau tidak mau, tapi aku tidak enak jika Andra saja tidak bisa menerimaku."
"Bukan tidak bisa menerimamu. Andra hanya belum terbiasa karena dia lupa denganmu. Percayalah, perlahan Andra pasti bisa mengingat semuanya karena itu mama mohon agar kau tetap di sini, ya?"
Clara pun terdiam membuat Mama Amara kembali berkata, "Andra … katakan pada mama bahwa kau menerima Clara untuk tinggal di sini … di kamar ini bersamamu."
"Ahk, tapi … Ma, aku …." Andra pun menghentkan ucapannya.