Semua sangat tercengang melihat sosok pria yang menyerupai Andra. Bahkan sampai ada salah satu orang yang pingsan karena ketakutan mengira sosok itu adalah hantu dari mendiang Andra. Sedangkan Mama Amara seolah tidak takut dan yakin bahwa sosok pria misterius yang tengah menatapnya itu adalah putra kesayangannya.
'Andra? Bagaimana mungkin dia masih hidup? Kalau dia Andra, lalu siapa jasad yang ada di peti mati itu? Siapa yang semua orang tangisi sedari tadi?' batin Clara yang bertanya-tanya sembari menatap sosok pria misterius.
"Apa benar kau Andra?" tanya Papa Surya dengan sedikit keraguannya pada sosok misterius pria yang sedang menatap ke arahnya.
Sosok pria misterius itu memang Andra, ia pun terus tersenyum sembari melangkah menghampiri Papa Surya dan Mama Amara. Langkah kakinya yang pincang membuatnya kesusahan melangkah. Namun, perlahan ia melangkah mendekat pada kedua orangtuanya. Senyuman bahagia sangat terpampang jelas pada raut wajah Andra walaupun tersirat juga rasa sakit yang dirasakannya.
"Ma … Pa … ini aku Andra. Anak kalian berdua," ucap Andra sembari menatap Mama Amara dan Papa Surya secara bergantian.
Mama Amara pun mengulurkan kedua tangannya sembari berkata, "Andra, Sayang … anak mama. Sini peluk mama, Sayang."
"Iya, Ma …." Andra mendekat pada Mama Amara dan memeluknya. Mereka pun saling berpelukan seolah sedang melepas kerinduan yang sudah teramat lama sekali tidak berjumpa.
'Tidak … itu tidak mungkin. Aku pasti hanya bermimpi atau mungkin aku sedang berhalusinasi? Itu tidak mungkin, itu pasti bukan Andra.' Batin Clara yang ragu dengan apa yang dilihatnya saat ini.
"Andra, Sayang … kau dari mana saja, Nak? Mama mencemaskanmu," ucap Mama Amara yang masih berpelukan dengan Andra.
"Aku … mengalami kecelakaan, Ma. Aku bahkan tidak ingat kalau sudah berapa lama aku tidak pulang ke rumah."
Mama Amara melepaskan pelukannya kedua tangannya lalu memegang pipi Andra dengan raut wajah bahagia dan sedih yang bercampur menjadi satu. Mata sayunya menatap haru pada Andra dan berkata, "Andra … kau tidak apa-apa , 'kan? Mana yang sakit, Sayang? Kakimu yang sakit, ya? Apa ka—"
"Aku tidak apa-apa hanya sedikit terluka," ucap Andra yang memotong ucapan Mama Amara.
"Mana yang sakit, Sayang? Biar dokter segera mengobatimu."
Andra pun tersenyum dan berkata, "Aku sungguh tidak apa-apa. Jauh lebih baik dari sebelumnya, Ma. Aku sangat senang bisa kembali ke rumah bertemu Mama dan Papa."
Papa Surya pun menatap Andra dengan tatapan yang masih tidak percaya kalau dia adalah Andra anaknya. Sorot mata yang tajam itu menyikat jeli setia inci tubuh Andra memastikan kalau memang benar sosok pria itu adalah Andra. Postur tubuhnya memang sama persisi dengan Andra bahkan wajahnya tidak ada bedanya pikir Papa Surya.
"Sekali lagi aku bertanya padamu. Apa kau benar Andra?" tanya Papa Surya yang mencoba memperjelas semua ini.
"Iya, Pa. Aku Andra … aku Andra anak Papa. Apa Papa lupa?"
"Kalau kau Andra siapa orang yang ada di dalam peti mati itu?" tanya Papa Surya sembari menunjuk peti mati yang tertulis nama 'Andra' di depannya.
Andra pun menoleh pada peti mati itu matanya melebar sangat terkejut melihat apa yang barus aja ia lihat. "Apa maksud semua ini? Kalian … kalian mengira kalau aku telah tiada?"
"Bukan seperti itu, Sayang. Tapi mungkin ada kesalah pahaman di sini," jawab Mama Amara.
"Kesalah pahaman apa, Ma? Aku bahkan masih hidup sampai saat ini, tapi kalian malah sudah menyiapkan pemakamanku."
"Kalian tidak mencari keberadaanku. Kalian tidak mencoba mencariku! Lalu kalian menganggapku telah tiada, seperti itukah?" ucap Andra lagi dengan penuh kekecewaan.
"Tidak, Sayang. Dengarkan mama, Nak. Ma—"
"Kalau kau memang benar Andra, harusnya kau bisa menjelaskan semua ini. Harusnya kau tahu siapa orang yang ada dalam peti mati itu dan bagaiamana kejadian kecelakaan itu berlangsung," ucap Papa Surya yang memotong ucapan Mama Amara meminta kejelasan dari Andra.
Andra pun terdiam sejenak, berusaha mengingat saat kejadian kecelakaan yang menimpa dirinya tiga hari yang lalu. Matanya memejamkan mata karena kepalanya terlalu sakit untuk mengingat sebuah kejadian yang telah terlupakan. Andra menggelengkan kepalanya lalu berkata, "Pa … aku bahkan tidak ingat saat kejdian itu. Aku tahu kalau aku kecelakaan dari orang yang menolongku. Dia menemukanku di pinggiran sunga lalu membawaku ke rumahnya."
"Kau hanyut di sungai?" seru Mama Amara sembari menutup mulutnya.
"Iya, Ma. Aku juga tidak tahu, setelah aku sadar aku sudah berada di rumah orang yang menolongku."
"Kenapa dia tidak membawamu ke rumah sakit?" tanya Papa Surya yang masih belum percaya.
"Dia orang yang tidak mampu, dia tidak memiliki cukup banyak uang untuk memeriksakanku."
"Tapi setidaknya dia bisa melapor pada polisi kalau menemukan seseorang yang terdampar di sungai."
"Dia seorang kakek tua, dia takut mengatakan hal itu karena hidupnya terbiasa menyendiri."
"Apa aku bisa mempercayai ucapanmu?"
"Pa … apa Papa tidak mengenaliku? Sehingga Papa tidak percaya denganku."
Papa Surya pun menunjuk peti mati dan berkata, "Kau lihat di sana … polisi mengatakan kalau itu adalah jasad dari Andra. Anakku satu-satunya dan kau yang wajahnya mirip dengannya datang ke sini mengaku sebagai Andra. Apa mungkin aku langsung percaya begitu saja? Aku tidak mungkin semudah itu percaya denganmu."
"Aku harus membuktikan apa, Pa? Agar Papa bisa percaya denganku? Bahwa aku ini Andra anak Papa dan Mama," ucap Andra sembari menatap kedua orangtuanya secara bergantian.
"Iya, Sayang … mama percaya denganmu," ucap Mama Amara yang sangat percaya dan yakin kalau dia benar Andra putranya.
"Terima kasih, Ma. Mama percaya padaku." Andra pun tersenyum pada Mama Amara lalu kembali memeluknya.
'Apa ini semua benar kenyataan? Atau aku hanya bermimpi? Atau hanya berhalusinansi? Tapi kenapa begitu nyata dan terasa begitu lama sekali untuk sebuah mimpi atau halusinasi. Baiklah, coba aku buktikan saja. Aku akan menyubit tanganku dengan keras.' Batin Aurora lalu mencoba mencubit tangannya agar bisa mengetahui apa yang dia lihat saat ini nyata atau tidak.
"Ahk," seru Clara yang kesakitan karena mencubit dirinya sendiri dengan sangat keras.
Mama Amara pun melepasakan pelukannnya, ia pun menoleh pada Clara yang ada di belakang. Mama Amara pun berkata, "Kau kenapa, Clara?"
"Hm … tidak apa-apa, Ma," jawab Clara sembari menggelengkan tangannya dan menutupi tangan bekas cubitannya yang membekas merah.
'Tunggu, kenapa dia memanggil Mama pada Mamaku? Memangnya dia itu siapa? Apa dia adikku? Tapi bagaimana mungkin kalau dia adalah adikku ….' Batin Andra yang lalu justru bertanya tentang identisas Clara.
"Ma, siapa dia?" tanya Andra yang membuat semua orang terkejut dan terheran-heran. Pasalnya dia menanyakan seseorang yang jelas-jelas adalah istrinya sendiri.
"Apa yang kau katakan? Kenapa kau bertanya seperti itu?" tanya Mama Amara yang heran.
Andra pun menatap Clara dan menyerkitkan dahinya sembari mengingat sosok Clara lalu berkata, "Memang dia siapa, Ma? Aku bahkan tidak mengenalnya."
"Apa? Kau tidak mengenalnya?" tanya Mama Amara yang sangat terkejut.
"Iya, Ma … aku tidak mengenalnya atau aku melupakannya?" jawab Andra degan raut wajah bingungnya.
Mama Amara pun memegang kedua bahu Andra dan berkata, "Apa yang kau katakan, Sayang? Kau melupakan istrimu sendiri?"
"Istriku?" seru Andra yang sangat terkejut saat mendengar Mama Amara mengatakan bahwa wanita yang tidak ia kenal itu adalah istrinya.
"Iya, Andra. Dia ini istrimu."
Andra pun tertawa kecil seolah menertawakan sebuah lelucon konyol dari ibunya. "Ma, kau ini bercandamu sungguh sangat tidak lucu. Bagaimana mungkin di istriku? Aku bahkan belum menikah."
"Belum menikah … Andra kau sudah menikah dengan Clara. Dia ini istrimu," ucap Mama Amara yang kembali menjelaskan bahwa Clara adalah istrinya.
"Aku sudah menikah? Kapan?" tanya Andra yang tidak percaya dengan semua kenyataan itu.
Papa Surya yang sedari tadi diam pun angkat bicara. Dia kembali menuduh Andra kalau dia bukanlah Andra melainkan orang lain yang berpura-pura datang menjadi Andra. Hal itu membuat Andra sangat terkejut pasalnya bagaimana mungkin ayahnya tidak mempercayainya.
"Tangkap dia!" perintah Papa Surya pada beberapa penjaga untuk menangkap Andra. Mereka pun langsung memegang kedua tangan Andra.
"Pa .. apa yang Papa lakukan?" tanya Andra sembari berusaha melepaskan diri.
Mama Amara pun menatap Papa Surya dan berkata, "Papa, apa yang Papa lakukan pada Andra?
"Kau bukanlah Andra, siapa kau sebenarnya?" tanya Papa Surya yang mengabaikan ucapan Mama Amara. Ia lebih fokus pada Andra yang baginya itu bukanlah Andra yang sesungguhnya.
"Pa … aku ini Andra anak kandung Papa dan Mama."
"Kalau kau Andra, kau tidak mungkin melupakan istrimu sendiri. Kau bahkan tidak ingat dengan istrumu, sudah jelas-jelas kau bukanlah Andra anakku. Karena itulah sekarang kalian bawa dia ke kantor polisi, biar dia mendapatkan hukuman!"
"Baik, Tuan Besar," jawab penjaga lalu melangkah membawa Andra pergi dari ruangan itu.
"Tidak, Pa! Jangan bawa aku ke kantor polisi, aku ini Andra anakmu!" teriak Andra sembari memberontak ingin melepaskan diri.
"Pa … Andra …," seru Mama Amara yang kembali meneteskan air matanya.
"Sudahlah, Ma. Dia itu pantas mendekam di penjara karena telah menipu kita berpura-pura sebagai Andra anak kita."
"Tapi, Pa. Dia itu benar-benar Andra anak kita."
"Bukan, Amara. Dia orang lain, orang jahat yang mencoba menipu kita dengan wajahnya yang mirip dengan Andra."
"Tidak, Pa! Dia itu memang Andra anak kita!" teriak Mama Amara lalu berlari mengejar Andra yang telah keluar ruangan.
"Andra … tunggu!" teriak Mama Amara yang menghentikan langkah para penjaga yang membawa Andra.
Andra pun menoleh ke belakang melihat Mama Amara pun berlari menghampirinya. Senyuman kembali terbit di wajahnya dan berkata, "Mama …."