Clara melepaskan ciuaman dan berkata, "Kau …."
"Kenapa?" tanya Andra yang bingung.
"Kenapa kau tidak …." Clara pun menghentikan ucapannya.
'Aku jangan sampai salah bicara karena aku tidak tahu dia itu benar Andra atau bukan. Tapi, kalau dia bukan Andra … aku telah menciumnya itu artinya aku mencium siapa? Orang lain?' batin Clara.
'Argh … memangnya kenapa kalau orang lain dan bukan Andra? Sama saja, Andra juga orang lain bagiku!' batin Clara lagi yang kesal.
Tanpa sadar Andra menatap Clara sedari tadi, dirinya melihat wanita yang menjadi istrinya itu. Clara pun menatapnya kembali mata mereka bertemu. Kedua bola mata itu saling memancarkan pandangan yang dalam.
"Kau kenapa berpura-pura seperti ini?" tanya Clara dengan nada kesalnya.
"Berpura-pura apa?" tanya Andra yang bertanya kembali padanya.
"Kau bertanya pura-pura apa? Kau berpura-pura melupakanku! Itu apa maksudnya?"
"Aku memang tidak ingat denganmu."
"Jangan berbohong di hadapanku, Andra!"
"Aku tidak berbohong, aku mengatakan apa adanya karena aku benar-benar tidak mengenalmu. Jangankan mengenalmu … melihatmu saja, aku baru kali ini."
"Andra, kau ini bicara? Kau bisa membohongi mamamu, tapi tidak diriku. Katakan padaku apa alasannya kau melakukan ini? Kau ingin kita berpisah?"
Andra pun menyerkitkan dahinya sembari berusaha mengingat siapa sebenarnya sosok wanita yang ada di hadapannya. Namun, hal itu justru membuat Andra kesakitan meraskan sakit kepala yang amat sakit. Tangannya memegang kepalanya dan merintih kesakitan. Hal itu membuat Clara panik dan keluar meminta bantuan.
"Ahk, sakit!" seru Andra yang merasakan sakit di kepalanya.
"Kau kenapa, Andra?" tanya Clara yang bingung.
"Kepalaku sakit sekali," jawab Andra sembari merintih.
"Kepalam sakit. Hm … kau tunggu di sini sebentar, aku akan meminta bantuan di luar."
"Ma … Pa … Andra kesakitan, dia butuh dokter saat ini," ucap Clara setelah membuka pintu ruang pemeriksaan.
"Apa? Kenapa bisa begitu, Clara?" tanya Mama Amara yang cemas.
"Entahlah, Ma. Aku tidak tahu, tadinya aku sedang bicara dengan Andra. Tapi, tiba-tibda saja Andra mengeluh sakit kepala," jelas Clara.
"Ya, sudah. Pa cepat panggil dokter sekarang!" ucap Mama Amara pada suaminya.
"Dia pasti hanya pura-pura saja," jawab Papa Surya yang sulit mempercayainya.
"Pa, sempat-sempatnya di situasi saat ini kau tidak mempercayainya."
"Sudahlah, bisa saya saja yang memanggilkan dokter," sahut komandan polisi.
"Iya, Pa. Terima kasih," jawab Mama Amara.
Komandan polisi pun memanggil dokter dan perawat. Mereka pun langsung memeriksa keadaan Andra. Tidak ada yang di perbolehkan untuk masuk ke ruang pemeriksaan. Semua keluarga pun menunggu di luar. Mama Amara yang sangat cemas pun sangat berharap kalau Andra baik-baik saja.
Tak beberapa lama kemudian dokter pun keluar dari ruang pemeriksaan menemui semua keluarga di luar. Raut wajah sang dokter sedikit cemas membuat Mama Amara semakin khawatir. Langsung saja Mama Amara yang sangat khawatir pun bertanya, "Bagaimana kondisinya, Dok?"
"Sepertinya saraf otaknya bermasalah," jawab dokter itu sembari menyerkitkan dahinya dan menatap Andra.
"Maksud Dokter apa?"
"Saya rasa ada masalah di bagian saraf otaknya. Dia merasakan sakit kepala yang tidak biasa."
"Lalu bagaimana, Dok?"
Dokter memegang dahi Andra dan bertanya pada Andra. "Coba katakan padaku. Seperti apa sakit kepalamu?"
"Kepalaku sakit sekali rasanya sangat sakit," jawab Andra sembari menahan rasa sakitnya.
"Tadi siapa yang sedag bersamanya?" tanya dokter pada semuanya.
Clara pun mendekat pada dokter dan berkata, "Aku, Dok. Tadi, aku yang sedang bersamanya."
"Baiklah, kalau begitu aku ingin bertanya kenapa dia menjadi sakit kepala seperti itu?"
"Aku tidak tahu, Dok. Tiba-tiba saja dia sakit kepala."
"Sebelum itu?"
"Sebelum itu? Maksudnya?"
"Sebelum merasakan sakit kepala apa yang kalian lakukan?"
"Kami hanya bicara."
"Hanya bicara, tidak melakukan hal lain?"
'Astaga … dokter ini menanyakan hal lain? Apa ciuman itu bermasalah? Sehingga membuatnya sakit kepala? Tapi jika seperti itu harusnya aku juga sakit kepala, bukannya kia berdua yang ciuman. Argh … apaan kau Clara? Kenapa kau berpikir seperti itu? Kau pikir bibirmu itu beracun sehingga ciuman yang membuatnya sakit kepala.' Batin Clara.
"Nyonya Muda, apa kau mendengarku?" tanya sang dokter.
Clara pun menoleh padanya dan menjawab, "Iya … aku mendengarkanmu, Dok."
"Bagaimana? Apa yang kalian lakukan sebelum bicara? Mungkin tadi sempat terbentur kepalanya?"
"Ahk, tidakn … tidak, Dokter. Sedari tadi dia terbaring di ranjang. Kita bahkan bicara di ranjang, maksudku tadi kita bicara di sini dan Andra tetap di ranjang. Kita hanya bicara biasa, tapi Andra lalu mengeluh sakit kepala di tengah perbincangan kami," jelas Clara.
"Kalau boleh tahu, memangnya apa yang kalian bicarakan?"
"Hm …." Clara pun menghentikan ucapannya.
Clara pun menceritakan beberapa kejadian sebelum Andra merasakan sakit kepala. Sebelumnya memang Clara tengah membahas masalah Andra yang tidak mengingat dirinya. Saat itu Clara berusaha mendesak Andra untuk mengatakan kejujuran bahwa dirinya hanya bersandiwara tidak mengenalnya. Namun, hal itu justru sebagai pemicu sakit kepala pada Andra.
"Jadi … tadi kau mendesaknya untuk jujur padamu?" tanya dokter pada Clara.
"Aku tidak mendesaknya, hanya saja kau memintanya untuk jujur padaku. Aku pikir dia berbohong tentang melupkan aku karena hanya aku saja yang tidak dia ingat," jawab Clara yang berusaha mengelak.
"Jadi, dia hanya tidak mengenalmu. Tapi dia mengingat seluruh anggota keluarga. Lalu ingatkan terakhir dia tentang apa?"
Clara yang menggelengkan kepalanya, "Ingatan terakhir? Aku tidak tahu, hm … tapi harusnya saat kecelakaan itu, tapi Andra justru juga tidak mengingatnya."
"Dia melupakan ingatan terakhir, apa mungkin dia amnesia? Melihat luka di kepalanya dan rasa sakit yang dirasakannya. Bisa jadi, dia mengalami amnesia."
"Amnesia? Bukankah jika amnesia dia melupakan semua ingatannya?" tanya Papa Surya yang menebak.
"Iya, Tuan Besar. Memang amnesia itu lupa ingatan, tetapi tidak semua amnesia itu lupa dengan semua ingatan. Memang ada sebagian kasus seseorang yang hanya mengalami amnesia sebagian saja. Jadi, hanya sebagian ingatannya saja yang hilang tidak secara keseluruhan. Mengingat kondisi Tuan Muda saat ini, kemungkinan dia mengalami amnesia sebagian," jelas dokter tersebut.
"Apa … jadi Andra lupa ingatan?" seru Mama Amara yang tidak percaya.
"Itu hanya dugaan belum dapat di pastikan karena kita harus menunggu hasil CT Scan nanti."
"Baik, Dok," jawab Papa Surya.
"Kalau begitu saya permisi," pamit sang dokter yang lalu melangkah pergi.
Semua terkejut mendengar hal itu, jika benar Andra mengalami amnesia wajar saya kalau dirinya tidak mengenal Clara. Semua semakin penasaran dengan hasil CT Scan dari dokter. Bahkan Clara pun sudah sangat tidak sabar karena ingin tahu semua kebenarannya.
'Sungguh aku sudah tidak sabar lagi. Apa benar kalau Andra itu amnesia? Kalau benar begitu, artinya Andra lupa denganku dan melupakan semua apa yang dia lakukan dulu. Jika iya … berarti Andra juga melupakan Sheira?' batin Clara yang terus berpikir.
'Kalau Andra lupa dengan Sheira, bagaimana aku membalas dendamku pada Andra? Mana mungkin aku harus menunggu Andra ingat kembali. Butuh waktu lama untuk itu, aku harus bagaimana? Ini semua membuatku sangat pusing, kenapa harus seperti ini? Kenapa Andra harus lupa ingatan, ya walaupun hanya amnesia sebagian saja. Tapi, itu juga butuh lama untuk sembuh dan pulih kembali ingatannya.' Batin Clara lagi.