PROLOG
Gemuruh suara guntur saling bersahutan. Hujan deras bercampur angin mengguyur desa. Tempias air membasahi paving teras. Cahaya kilat masuk ke dalam ruangan melalui kisi-kisi jendela. Memberikan seberkas cahaya pada gelapnya malam, sudah satu jam lebih listrik terputus karena hujan deras. Buncahan air seakan tak mau berhenti, terus menghujam bumi.
"KYAA!!!" Seorang gadis berteriak histeris pada pojok ruangan. Sudah satu jam ia meringkuk, bergelung memeluk lutut sambil menutup telinga. Ketakutan.
Udara dingin, suara guruh, dan keclapan cahaya membuat ketakutannya semakin besar. Tubuhnya yang ramping terus bergetar. Peluh yang bercampur dengan air mata mulai mengalir, membuat wajahnya terlihat kacau. Bibirnya terus mencicit lirih, "kotor, aku kotor."
Jari jemari yang kurus tak lagi menutup telinga namun beralih untuk menjambak rambut. Membenturkan kepala ke dinding. Sesekali ia mengusap kasar lengannya. Sangking kasarnya, kulit putihnya mengelupas, lecet.
Terluka, sakit, perih, namun rasa perih yang mengesut fisik itu tak sebanding dengan rasa perih yang bergejolak di dalam hatinya saat ini. Perih yang mengiris-iris jiwa, menghujaninya dengan rasa bersalah dan kotor. Kenangan akan sebuah kejadian yang menuntunnya pada penyesalan yang tak berujung. Rasa sesak yang tak terkira terus menekan dadanya.
Tangan kurus itu mulai mencakar permadani lantai, meremat apapun yang bisa ia remat untuk menghilangkan kekesalan, kesedihan, malu, dan penyesalan.
Terus bermain di dalam benaknya kejadian laknat kala itu, bagaimana cara lelaki itu mempermainkan tubuhnya. Menghujamnya dengan kasar dan merenggut mahkota paling berharga. Kesucian milik seorang wanita.
"TIDAK!!! Jangan!! Jangan lakukan ini padaku!" teriaknya pilu. Tangannya bergetar hebat, tubuhnya menggigil ketakutan. Sosok mengerikan itu sekonyong-konyong muncul di hadapannya, menyeringai.
Flash back kejadian demi kejadian yang menyakiti jiwanya itu terus terulang. Lagi dan lagi, berputar selama hujan deras itu mengguyur desa. Tanpa henti, tanpa ampun. Meski ia terus mengucapkan kata ampun dan ingin menyerah. Nyatanya takdir tetap terlalu kejam padanya, ia tetap tak bisa mengubah segalanya. Post-traumatic stress disorder yang ia derita tak semudah itu dihilangkan.
Gadis itu tengah berada di titik terendah dalam hidupnya saat ini. Kecewa, sakit, dan menderita.
— Bahasa Bunga —