Chereads / BAHASA BUNGA / Chapter 2 - DAISY

Chapter 2 - DAISY

DAISY

Lambang kesederhanaan, kepolosan, kemurnian, dan persahabatan.

***

Kabut tipis perlahan menghilang, sinar matahari mulai menghangatkan pagi di sebuah desa yang tenang, terletak di barat Ibu kota. Butuh setidaknya 6 jam dengan kereta api atau sekitar 10 jam berkendara dari Ibu kota. Desa di bawah kaki pegunungan dengan pemandangan alam yang indah dan warga yang hidup saling berdampingan dengan rukun. Sungguh sebuah desa yang ideal untuk menghabiskan masa tua dengan tenang.

Bunyi lembut lonceng tembaga menyambut kedatangan seorang gadis pada sebuah toko bunga. Ia meraba-raba gagang pintu untuk kembali menutupnya. Pandangan matanya menerawang kosong, namun senyuman dari bibir tipisnya ketara begitu manis. 

"Dari mana kamu, Sayang?" tanya seorang wanita paruh baya dengan lembut. Ia meletakan kembali gunting juga beberapa tangkai bunga pada nampan. Gaun hitam longgar yang ia kenakan begitu serasi dengan anting dan kalung mutiara putih.

"Lily pergi membeli roti dan susu coklat, Bi," jawab gadis itu sembari mengangkat kantong kertas coklat berisi sarapannya pagi ini. Nama gadis itu adalah Lily, Lily Fanning.

"Masih hangat?" 

"Tentu saja, Bibi mau mencobanya? Roti buatan Bibi Joel sangat enak," tanya Lily balik, ia menganyunkan tongkat kayu sebelum melangkah maju. Gadis itu rabun, hampir buta total, jarak pandangnya mungkin hanya sejengkal. Itu pun buram, jadi Lily butuh tongkat untuk membantunya berjalan. Mengecek ada atau tidak benda yang akan mengganggu langkah kakinya.

"Kemari, Sayang!" Helen — nama wanita paruh baya tadi — menggandeng keponakannya untuk duduk. 

Lily meraba tempat duduk sebelum menghenyakkan pantat dengan nyaman. Sementara Helen, ia menuju ke pantry di belakang area toko, mencari sesuatu pada rak penyimpanan.

"Tumben Bibi datang sepagi ini?" Lily mengeluarkan sebotol susu coklat dan juga beberapa roti croisant yang masih mengepul. Semenjak kepergian suaminya sebulan yang lalu, Helen memang sering terlambat datang ke toko, mengunjungi makam terlebih dahulu.

"Ada yang ingin Bibi sampaikan padamu, Ly." Wanita bertubuh gemuk itu kembali ke hadapan Lily lengkap dengan sebotol saus coklat dan madu. Lily menggeser posisi duduk, bersiap mendengarkan.

"Madu atau coklat?" 

"Keduanya." Senyum Lily, manis sekali.

Helen tercekat, mata tua itu berair hampir menangis saat melihat senyuman terkembang di wajah cantik Lily. Helen mengusap rambutnya yang telah memutih ke belakang, mencoba tegar. Ia tak ingin terlihat rapuh di hadapan Lily. Bagaimana pun Lily telah sembuh, setidaknya itulah yang wanita tua ini coba yakini selama ini.

"Kau tidak takut gendut?" sergah Helen, namun ia tetap menuang kedua cairan manis dan pekat itu ke atas croisant.

"Tidak, Bi. Lily lebih takut kelaparan." Kikih Lily.

Sekali lagi, Helen melihat ke arah keponakannya. Menatap perempuan cantik itu lamat-lamat. Dulu, mata bulat zambrutnya yang cemerlang selalu membuat Helen terkagum. Sayang sekali, mata itu tak lagi bisa melihat dengan jelas. Binarnya mulai redup, tertutup oleh buramnya masa lalu.

Kejadian setahun lalu membuat gadis itu harus kehilangan indra pengelihatan. Ia menjadi trauma dan terus merasa  sedih. Tak jarang Lily mencoba untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Helen lah yang membantunya bangkit, membesarkan hati Lily. Menyayangi dengan tulus bagaikan anak sendiri. Kini Lily sudah berhasil mengusir depresi dan ketakutan setelah setahun pasca kejadian. Mungkin saat ini, tidak ada salahnya kembali ke kota, membawa Lily kembali untuk hidup bersama kedua orang tuanya.

"Well, Dear ... Bibi tak tahu harus memulainya dari mana?!" Helen mendesah panjang. Bibirnya terkatup, tenggorokkannya seakan tercekat.

"Apa Bibi akan pergi?" Lily menuang pelan susu coklat panas ke dalam cangkir, memberikan sebuah pada Helen dan sebuah lagi untuknya. Lily sudah bisa menebak, cepat atau lambat Helen pasti akan pergi.

"Benar, Kak Rose akan memiliki bayi bulan depan. Sebagai ibu, Bibi harus mendampingi dan membantu Kak Rose untuk merawat bayi itu." Helen mengelus punggung tangan Lily, mengatakan rencana kepergiannya selembut mungkin.

"Kapan Bibi akan berangkat?" Lily menunduk, begitu berat melepaskan bibi yang telah merawatnya setahun belakangan. Hanya Helen yang bersedia menampung gadis cacat seperti Lily. Merawat, membimbing, dan mengarahkan hatinya sampai kembali pulih. Helen juga mengajarkan keterampilan merangkai bunga pada Lily, memberikan gadis malang itu penghasilan.

"Selasa besok. Kak Rose sudah mengirimkan tiket lewat pos." Helen mengangkat dagu Lily, membuat wajah itu terangkat. Walaupun tak bisa melihat dengan jelas, tapi Helen yakin bahwa Lily bisa merasakan kesungguhan hatinya.

"Apa kau mau ikut pulang ke kota, Sayang? Kau sudah sembuh, tak ada yang perlu ditakutkan lagi." Helen mengelus rambut coklat kemerahan Lily yang panjang dan ikal.

"Tidak, Bibi!" seru Lily keras, "Lily tidak mau kembali ke sana lagi! Tidak! Lily tidak mau. Lily mau tinggal di sini saja." Wajah Lily memucat tak kala membayangkan ia harus kembali ke kota kelahirannya itu. Kembali ke tempat penuh kenangan pahit itu.

Lily mulai terisak, membuat Helen merasa bersalah. Mengajak Lily kembali ke kota sama saja menguak kisah sedih dan mengorek lagi luka lama. Lily kehilangan segalanya di kota itu satu tahun yang lalu. Mahkotanya, bayinya, pengelihatannya, kasih sayang orang tuanya, juga masa depannya. 

Helen menggigit bibir, betapa bodohnya ia mengusulkan hal itu kepada Lily.

"Berapa usiamu tahun ini, Nak?" tanya Helen.

"Sembilan belas tahun," jawab Lily.

"Kau sudah dewasa, Lily. Kau bisa memutuskan segala sesuatu seorang diri. Bibi salah, tak seharusnya Bibi menyuruhmu kembali ke sana." Helen tersenyum, ia menepuk pundak Lily supaya jauh lebih tenang.

"Hiks ... Lily mau di sini saja, Bibi. Mengurus toko bunga ini. Merawat bunga-bunga yang ada di sini." Lily mengusap sudut matanya yang berair.

"Tentu saja, Lily. Kau begitu berbakat dalam merangkai bunga. Aku tak perlu cemas meninggalkan bunga-bunga ini karena ada kau di sini." Helen menghela napas panjang. Mungkin tak ada salahnya membiarkan Lily mengurus toko. Walaupun buta, Lily bukan gadis manja yang minta dikasihani. Selama ini dia begitu mandiri juga rajin bekerja. Hampir semua orderan toko bunga dikerjakan oleh Lily. 

Lily sangat menyukai seni merangkai bunga. Buket bunga yang dirangkainya selalu membuat pelanggan puas. Gadis itu akan mencium aroma bunga untuk mengetahui jenis bunga apa yang ada di tangannya. Walaupun buram Lily juga masih bisa membedakan warna bunga-bunga itu dari jarak yang sangat dekat.

"Bibi sebenarnya resah meninggalkanmu sendirian." Helen memeluk Lily.

"Lily akan lebih baik sendiri di sini dari pada bersama banyak orang di kota, Bi." Lily mendekap pelukan hangat itu dengan erat.

"Iya, Bibi tahu. Lagi pula ada Noir atau Bella yang bisa membantumu. Jangan sungkan meminta bantuan mereka, Ly. Kalian seumuran, bukan?" Helen mewanti-wanti Lily sambil menahan air mata.

Ada banyak tetangga yang bersedia membantu Helen mengawasi dan membantu Lily bila ia butuh sesuatu. Helen tak perlu cemas. Lily pasti akan baik-baik saja.

"Jangan sampai terlambat makan dan hati-hati bila berjalan. Jangan pergi terlalu jauh, jangan sampai terjatuh, jangan sampai terantuk." Helen menangkup pipi Lily, memberikan wejangan demi wejangan seakan-akan Lily adalah anak berusia lima tahun.

"Iya, iya, Bi. Lily bukan anak kecil lagi. Lily bisa jaga diri." Lily mengangguk paham.

"Jangan lupa hubungi Bibi bila kau sakit atau butuh sesuatu," tukas Helen penuh penekanan.

"Bibi juga jangan lupa tulis surat untuk Lily." 

"Tentu saja, Sayang. Tentu saja."

—Bahasa Bunga—