"Kenapa kau baik padaku, Isaac?" tanya Lily menyelidik.
Isaac lagi-lagi hanya diam, pria itu masih menatap lamat Lily. Mengamati wajah cantik Lily, rambut coklat kemerahannya yang panjang dan indah, juga matanya yang berwana zambrut. Sisi depan telinganya dipenuhi dengan anak rambut ikal, membuat Lily terlihat begitu manis. Hidungnya yang mungil, mencuat mancung, ditambah dengan bibirnya yang terlihat merah dan ranum. Isaac menelan ludah dengan berat, Lily begitu mempesona.
"Karena kau gadis yang baik, Ly," jawab Isaac. Lily terdiam.
"Juga cantik." Wajah Isaac merona saat mengatakannya. Andai saja Lily bisa melihat, sudah pasti mereka akan sama-sama terpesona.
[Ya Tuhan, rasanya sangat aneh, dadaku berdebar kencang sekali,] pikir Lily.
Lily menangkup wajah, tak ingin Isaac melihat rona kemerahan yang timbul karena luapan perasaan. Jantung Lily bergedup kencang dan desiran halus merambat sampai ke ujung jari. Tak cukup dengan memuji secangkir teh buatan Lily, Isaac juga memuji wajahnya yang cantik.
"Kenapa kau malu?" Isaac terkikih.
Lily menurunkan tangannya perlahan, menaruh di atas paha. Sungguh Lily tak bisa menjawab pertanyaan Isaac, gadis itu kehabisan kata-kata.
"Katakan sesuatu, Lily." Isaac melipat tangan di atas meja, senyuman terkembang hangat.
"Eh, apa ya?" Lily kikuk dan bingung.
"Apa saja."
Belum sempat Lily mencari bahan pembicaraan. Hujan geremis mulai bertambah deras. Gumpalan awan tebal menutupi cakrawala. Menghalangi sinar matahari, membuat desa diselimuti kegelapan. Tidak terlalu gelap memang, tapi cukup membuat para manusia menengadah untuk melihat langit, berhenti dari aktifitasnya.
Gemuruh mulai terdengar. Kilatan cahaya masuk melalui kisi-kisi jendela.
GLEGAR!!
Tiba-tiba saja bunyi petir besar terdengar keras, dentumannya membuat dinding kaca ikut bergetar. Hujan deras menyusul kemudian, menimbulkan suara bergemeretuk saat ribuan tempias air kencang menghujani atap toko.
Lily berjengit kaget, wajahnya terlihat pucat pasi.
"Tidak!! Jangan!!" Lily mulai merancau.
"Lily?? Kau kenapa? Tenang, itu hanya suara petir." Isaac bangkit, ia mencoba menyentuh tangan Lily, namun gadis itu menepisnya.
"Lepaskan! Jangan sentuh aku!!" seru Lily histeris.
GLEGAR!
Gemuruh petir mulai kembali terdengar —bersahutan. Seberkas cahaya menyilaukan selalu menyertai, muncul sebelum suara gelegar keras itu terdengar. Tak bertahan lama, lalu langit kembali abu-abu, kelam. Selama hujan masih turun, selama angin dingin masih berhembus kencang, langit masih akan terus mendentumkan kilat yang disambung dengan bunyi guruh. Selama itu pula, Lily akan meronta dan menjerit histeris. Meratapi kenangan terpahit dalam hidupnya.
"Pergi!! Pergi dari sini, Isaac!! Aku mohon!" Lily menutup telinga, mundur sampai membentur lemari pajang. Seluruh isinya bergoncang. Keringat dingin mulai membasahi pelipis Lily, hampir sebesar butiran jagung.
Isaac ikut panik, pria itu terlihat bingung. Lily begitu ketakutan hanya karena suara petir dan hujan. Isaac yang tidak pernah tahu akan trauma Lily malah mendekat, menyentuh tangan Lily.
"Lily, kau kenapa?"
"Tidak!! Jangan!! Pergi!!" Lily berteriak kalap. Lantas menangis, gadis itu menghardik Isaac supaya pergi meninggalkannya.
Lily mendorong tubuh Isaac agar menjauh. Lily dengan separuh kesadarannya mengusir Isaac keluar dari toko bunga. Mendorong sekuat tenaga tubuh jangkung Isaac keluar dari pintu masuk. Isaac terjungkal, ia mencoba bangkit dan menggedor pintu. Namun Lily sudah menguncinya.
"Lily!! Lily! Apa yang terjadi? Buka pintunya!!" Isaac terlihat kaget.
Lily menatap nanar ke arah jendela, menerawang kosong. Mungkin yang terlihat saat ini hanyalah keclapan-keclapan seberkas cahaya kilat yang buram.
"LILY!!" Isaac menekan paksa gagang pintu.
Lily menangis, ia meraung, dan berteriak kalap, sekejap kemudian gadis itu mulai mencakari dirinya sendiri. Menimbulkan luka lecet, darah segar terlihat merembes dari luka-luka itu. Lily terjatuh, meringkuk di atas lantai kayu yang dingin. Berkelung di samping pot-pot bunga dan tanaman hias. Lily menangis, terisak keras, ia memeluk lututnya sendiri seakan sedang mencari perlindungan.
Isaac hanya bisa melihatnya dari balik dinding kaca, mengawasi gadis itu dari kejauhan, menatap jeri. Siksaan yang dilakukan Lily pada dirinya sendiri membuat Isaac melongo, tercekat, sesuatu rasa sesak membekap napasnya. Air mata Isaac turun, membasahi wajah, turun pada garis rahanganya yang tegas, lantas menetes dari dagu. Penderitaan Lily seakan ikut menjalar ke dalam hati Isaac.
Rahang Isaac mengeras, otot lehernya menegang. Isaac memukul pintu sambil berteriak, "LILY!!"
"SIALAN!!" Isaac kembali berteriak, menyalahkan dirinya yang tak berdaya.
Teriakan Isaac dan tangisan Lily terbungkam oleh suara hujan deras di akhir musim semi.
Mata Isaac lagi-lagi membulat saat melihat Lily tengah mencengkeram lengannya sendiri. Menancapkan kuku tajam pada kulit dan daging. Gadis itu menjerit pilu, membuat hati Isaac terasa tersayat dari dalam.
Isaac terus mengoglak pegangan pintu, namun tetap saja tidak terbuka. Lily juga tak kunjung merespon panggilannya. Isaac mulai tidak sabar, ia berlari mengitari rumah, mencari cara masuk lain.
Kebetulan ada pagar besi di sekeliling pekarangan belakang rumah. Isaac memanjat pagar besi itu. Lengannya sempat tergores ujung besi yang tajam. Darah segar ikut mengalir bersama hujan, namun Isaac tidak peduli. Ia harus segera menemui Lily, mengetahui apa yang terjadi.
"Sial! Semoga tidak terkunci." Isaac mengumpat saat mendapati masih ada satu pintu lagi. Pintu itu menghubungkan teras belakang dengan dapur.
Grap!
Isaac meraih gagang pintu. Pintu kayu terbuka. Isaac menyeringai bahagia, dengan segera ia masuk ke dalam. Mencari Lily. Gadis itu tergeletak tak berdaya di lantai kayu, bahunya masih naik turun terisak, suara tangisan mulai sayup tak terdengar, berganti suara napas yang berat sehabis menangis.
"Lily, Lily!" Isaac memanggil nama Lily berkali-kali, Lily tidak menyahut, sepertinya kesadaran Lily mulai menghilang. Isaac bergegas menggendong tubuh Lily. Meletakkan gadis itu ke tempat yang lebih nyaman.
"Lily, apa kau bisa mendengarku?" Isaac menepuk pelan wajah Lily setelah meletakkan tubuhnya ke atas kasur.
Lily tidak menjawab, mungkin meronta, menangis, dan berteriak membuat tubuhnya lelah. Lily sepertinya pingsan, tapi tubuh ramping itu masih bergetar dan juga terasa dingin. Mimik wajah Lily bahkan masih terlihat tegang. Gigauan pelan tercicit disela-sela mata yang terpejam.
Isaac menjambak rambut, dalam keadaan seperti ini dia justru kehabisan ide. Tak tahu harus berbuat apa? Menunggu atau membawa Lily ke tenaga medis terdekat? Isaac memutuskan untuk menunggu sebentar lagi, kalau Lily bertambah parah maka Isaac harus membawanya ke rumah sakit.
Beruntung, setelah hujan mulai reda, wajah Lily mulai berangsur-angsur membaik. Tidak lagi pucat, sudah mulai berwarna kemerahan-merahan. Tubuhnya juga tak lagi gemetaran, otot-otot yang tadinya tegang mulai relaks. Isaac menghela napas panjang, lega.
"Sesakit itukah, Lily?" Isaac mengelus punggung tangan Lily, mengusapnya lembut, mencoba menyalurkan kehangatan padahal ia sendiri kedinginan karena pakaiannya basah.
Isaac mengamati sekeliling, ada perapian, lalu kursi goyang dan juga lemari penuh buku di sisi seberang ranjang. Sebenarnya dulu ruangan ini hanya berfungsi sebagai ruang baca. Tempat Helen dan Raft berbincang. Raft selalu duduk pada kursi goyang itu, membaca dan menghangatkan diri di samping perapian. Sedangkan Helen akan merajut atau menyulam sambil mendengarkan musik dari gramofon. Memutar piringan hitam kesukaannya. Kegiatan yang hangat untuk mengisi waktu disela-sela menunggu pelanggan.
Ruangan itu beralih fungsi saat Helen menampung Lily. Gadis itu tak bisa hidup bersama dengan suami Helen karena traumanya terhadap pria. Akhirnya Helen merubah ruang baca menjadi kamar untuk Lily.
Isaac memetik api di perapian. Mengisi lagi dengan beberapa potong kayu bakar. Bunyi gemeretuk bunga api terdengar saat kayu-kayu itu mulai terbakar sempurna. Isaac melepaskan kemejanya yang basah. Menggantung baju putih itu di dekat perapian agar segera kering. Isaac duduk, menikmati kehangatan yang menjalar cepat dari perapian ke seluruh ruangan.
Kursi bergoyang pelan di samping nyala api perapian, sisi wajah Isaac gelap terkena bayangan nyala api. Isaac diam mengamati Lily, gadis itu masih tertidur lelap. Wajah Lily terlihat tenang dan cantik. Sungguh Lily gadis yang cantik dan mempesona.
Isaac memejamkan matanya, ikut tertidur.
— Bahasa Bunga —